by: Yessi Arsurya
Hawa itu menelisik di sudut-sudut hatiku, seolah-olah ingin mencabik jiwaku. Pagi sesunyi dan sedingin ini, seolah mereka kompak untuk semakin menenggalamkanku dalam kesedihan yang teramat dalam. Aku yang sejak entah berapa lama sudah berdiri di sudut kamar dekat jendela yang sengaja kubuka lebar, mematung menatap kilau gemerlap dunia. Padahal ini masih pagi, seharusnya aku mulai hari yang berkah ini dengan bismillah dan senyuman terbaik. Pun Rasulullah seringkali mengingatkan betapa pentingnya suasana shubuh. Mengawali pagi dengan kesungguhan dan rencana terbaik. Bahkan kata sebagian orang kalau pagi buta saja masih bermalas-malasan maka jangan salahkan rezeki dipatok ayam.
“Aku tau itu semua, tak usah lagi kau ceramahi aku sepagi ini”,kataku berontak dengan hati kecil. Sudah kucoba untuk melupakan kejadian kemarin, tapi tetap saja. Dengan langkah gontai kuayunkan kaki sekuat tenaga untuk berwudhuk, hampir beberapa pintu yang harus kulalui menghabiskan seluruh tenagaku. Padahal aku sudah bangun jauh sebelum adzan shubuh berkumandang, tapi tetap saja. Dengan sisa-sisa tenaga itu kukuatkan hati dan berharap semoga setelah sholat mungkin aku bisa mendapatkan jawabannya. Ya, jawaban yang membingungkan dan membuatku bahkan tak lagi mengenali siapapun.
Ribuan kilometer terasa perjalanan yang kutempuh hingga aku bisa kembali ke kamar dan sholat. Nyaris saja aku beberapa kali tertilang karena ketidakmampuanku. Ektremitas yang kaku menyulitkanku, tapi sekali lagi, aku gunakan sisa-sisa yang ada itu hanya untuk tetap melaksanakan kewajiban pagi ini. Sesunyi atau setemaram apapun suasana perasaanku pagi ini. Di kamarku yang kecil mungil, hanya sepertiga bagian dekat pintu saja yang biasa aku gunakan untuk sholat. Seharusnya kalau aku tidak begini, sedari tadi aku sudah melesat menuju surau dekat rumahku yang letaknya hanya sejangkal dengan jarak tempuh beberapa menit untuk sholat berjemaah. Tapi sekali lagi, tak kuasa aku melakukannya.
Tak terasa pipiku sudah basah sekali, pelupuk mataku memberat sehingga aliran deras cairan hangat itu tak kuasa kutahan. Masih dalam doaku pagi ini, aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Dalam pagi yang berkah ini, aku berharap bisa mendapatkan jawaban yang pasti walau tak langsung kudapatkan. Sungguh, perasaan ini seperti membunuhku perlahan-lahan, menganestesi rasa yang sudah lama kubangun dan akhirnya harus roboh dalam sekejap.
Dia yang dulu tak lagi dia yang kini. Aku yang dulu, kini, masih saja sama, terlalu rapuh. Rapuh menjalani hidup yang keras ini jika tanpa dukungan dan motivasi dari dia. Sulit bagiku untuk mempercayai bahwasanya dia yang dulu kukenal kuat kini menjadi sangat rapuh, tak sanggup melawan jutaan bahan-bahan kimia yang setiap hari diinjeksikan ke tubuhnya. Bahkan untuk melakukan aktivitas kecil saja seperti berjalan atau ke kamar mandi dia tak bisa. Yang membuatku kecewa, kenapa aku harus jadi orang terakhir yang tahu kondisinya? Kenapa dia tak pernah jujur padaku tentang satu hal itu saja? apa aku begitu rapuhnya hingga hal seperti itu tak boleh kuketahui barang sedikitpun?
“Apa artinya persahabatan atau ukhuwah yang selama ini dibangun antara kau dan aku?” lirihku dalam hati. Yang kubutuhkan saat ini adalah jawabmu, jawaban yang keluar dari bibir kelu dan pucatmu itu, tidak, aku tak ingin mendengarnya. Atau aku ingin tau jawabmu dari wajah dan pancaran matamu, tidak, aku juga tak sanggup melihatnya. Bahkan aku tak bisa melakukan apa-apa untukmu sahabatku. Kenapa kau, kenapa kau begitu tega membuat aku seperti ini?
Dari diagnosa dokter, sahabatku divonis menderita limfoma maligna stadium akhir. Dan kini dia harus menjalani kemoterapi yang memang sungguh menyakitkan baginya. Tak ada pilihan lain selain memasukkan cairan beracun tersebut untuk membunuh sel-sel kanker di tubuhnya, yang tak ayal juga perlahan membunuh sel-sel yang sehat. Aku tak sampai hati melihat keadaannya saat ini. Ya Allah, kenapa harus dia? Kenapa tidak aku saja yang memang rapuh ini menderita penyakit yang bersarang di tubuh sahabatku? Jika saja aku dapat menggantikannya.
Dan hal yang paling kusesali hingga pagi ini, betapa naifnya aku. Harusnya aku tak lari kabur begitu saja meninggalkannya tadi malam. Begitu naifnya aku yang seharusnya menguatkan dia yang setiap hari selalu menguatkan aku, dan menemaninya tapi apa yang aku lakukan? Aku, ada apa denganku?! Kenapa aku begini? Ya Allah, sungguh aku tak bermaksud apapun terhadapnya, tak ingin membuatnya sedih atau kecewa. Hanya saja ya Allah, kenapa semua ini terasa begitu mendadak? Seperti kilatan petir yang menyambar di depan mataku, dan membutakan perasaanku? Ya Allah, kenapa ini harus terjadi? Ya Allah, kuatkanlah dia, sembuhkanlah dia, aku…, aku belum siap kehilangan dia secepat ini. Ukhuwah ini sudah terjalin begitu erat, antara aku dan dia. Walau tak terikat apapun, tapi aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Ukhuwah yang begitu indah ini tak ingin berakhir tragis seperti ini. Kabulkanlah doaku ini ya Allah….
Lamunanku terbuyarkan, jantungku berdegup kencang. Meski aku tak terkejut dengan alunan lagu Paradise dari Maher Zain yang samar-samar berbunyi dari ponsel, aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sepagi ini, jarang ada telpon, kalaupun ada itu hanya sms. Tapi, aku merasakan ada getaran yang mengalir di sekujur tubuhku, yang membuat kebekuan pagi ini bertambah parah. Terlintas di pikiranku sesuatu yang aku takutkan. Tanpa berpikir panjang aku langsung meraih ponsel dan berbicara dengan seseorang di tempat lain.
Tanpa berpikir panjang aku bersiap-siap secepat yang aku bisa dan melesat segera ke rumah sakit tempat sahabatku dirawat. Perjalanan terasa sangat lambat, aku takut hal yang tak baik itu terjadi. Bayang-bayang itu berkelabat dalam pikiranku, membuyarkan konsentrasiku untuk tetap fokus. Aku, bagaimanapun rapuhnya aku, kali ini aku harus terlihat kuat dihadapannya. Sekali ini saja, aku harus membuktikan kepadanya bahwa aku bisa, aku kuat, aku tak mudah goyah, dan aku sudah berubah. Ya, untuk kali ini dan seterusnya, aku ingin berubah untuk tidak menjadi gadis rapuh lagi.
Derap langkah terseok-seok di lantai berkeramik putih rumah sakit, ditambah aroma khas rumah sakit yang menusuk hidungku. Membuat aku berada di alam transisi antara kehidupan dunia dan akhirat. Masih dengan sisa-sisa tenaga kupercepat langkah kaki menuju kamar pasien di lantai 2 yang mana untuk menemukannya harus melewati beberapa lorong yang sesak dengan keluarga pasien dan penjajal makanan. Akhirnya aku menemukan kamar rawat yang pernah kulihat sekali sebelumnya, kamar yang begitu enggan untuk kumasuki lagi, karena aku takut tak dapat lagi keluar dari sana dengan akal sehatku. Tapi, ya Allah, aku harus kuat demi sahabatku, ya, aku harus kuat demi dia.
Tampak sahabatku yang diam membeku di sudut kamar. Tak sanggup melihat keadaannya yang membuat hatiku sangat miris. Tapi di sudut bibirnya aku masih bisa melihat senyuman kekuatan yang tetap bergulir dari dirinya. Aku merasakan kehangatan sambutan kedatanganku darinya yang tidak berdaya. Aku mendekat padanya dan berbisik lembut di telinga.
“Assalamu’alaikum, ukhty. Maafkan aku, sahabatmu ini yang tak berguna di saat kau membutuhkan seorang sahabat”, jawabku lirih sambil menggigit bibir, menahan isak tangis yang sedari tadi ingin memuntahkan segalanya.
“Sahabatku, aku ingin sekali lagi mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu ukhty, aku sungguh mencintaimu karena Allah. Allah yang telah mempertemukan dan menguatkan kita, dalam cinta dan kasih sayangnya. Oleh karena itu, ukhty, kau harus berjuang untuk sembuh demi orang-orang yang engkau kasihi…” kataku perlahan padanya.
Senyumnya semakin mengembang dan perlahan-lahan mulai memudar. Dia tak bisa berkata apa-apa padaku. Pancaran matanya menandakan keikhlasan dan ketulusan, dan kesabaran atas sakit yang dirasakannya. Baru kusadari, kau memang kuat wahai sahabatku. di tengah kelemahanmu kau tetap kuat menghadapinya, bahkan menguatkan bagi orang yang melihatmu. Sungguh, aku malu pada diriku sendiri. Sekali lagi maafkan aku sahabatku.
Innalillah, Allah sungguh sayang padamu sahabatku. dalam senyuman terindahmu kau mengakhiri segalanya dengan indah. Aku mengerti, aku tak butuh jawaban apa-apa lagi saat ini sahabatku, maafkan aku yang terlalu naif menilaimu malam itu. Ya Allah, limpahkanlah rahmatmu kepada sahabatku, mudahkanlah dia ya Allah. Dalam pelukan ukhuwah dan cinta terakhir ini kuakhiri kerapuhanku, aku akan kuat ukhty, aku berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar