Rabu, 21 September 2011

Satu Detik Saja...




Satu detik saja, ya baru saja, kulihat dia tersenyum padaku.
melemparkan senyuman terindahnya yang seolah-olah membuat duniaku berubah, indah...

Satu detik saja, ya, walau sebentar, sempat kulihat secercah bening embun turun mengaliri pipinya yang lembut, membuat duniaku seolah-olah menjadi mendung...

Satu detik saja, baru saja, kulihat dia menatapku sekilas.
terbersit dalam hati sanubari, ada apa gerangan? Tatapan mata elangnya seolah-olah melekat erat di hati ini.

Duhai Ibu,, aku pun tahu, berat rasanya hati ini melepaskan kebersamaan yang telah sekian lama terajut dalam ranah cinta. Tapi memang sulit menerima kenyataan bahwa kita tak bisa lagi bersama dalam suka dan duka.

Aku pergi, untuk kembali Ibu. Mengembalikan setiap detik waktu yang terlewatkan tanpa kehadiran semua orang yang mengasihi dan kukasihi.

Satu detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun pun rasanya tak akan cuukup untuk menggantikan ini semua Ibu...


Namun Bu, percayalah,, akan ada Satu masa dimana nanti kita akan bersama selamanya,,,


Mengenang Ibu yang melepaskan anaknya dengan untaian doa dan kata-kata penyejuk perjalanan panjang anaknya yang merantau, menimba ilmu demi masa depan gemilangnya.

Transparansi dalam "Siapakah Rektor Unand Selanjutnya?"



Sewaktu menulis ini, mungkin belum ada judul yang terpikirkan, tepatnya...
Tapi setidaknya ada sedikit uneg-uneg yang harus dikeluarkan, dan kadang inipun juga dapat menjadi permasalahan bagi sebagian besar kalangan yang namanya Mahasiswa.
Apa coba?? Masalah transparansi.

Coba kita berbenar2 dengan setiap hal yang dilakukan. apapun itu meskipun kecil, tapi akan mempengaruhi hal yang besar, bahkan sangat mempengaruhi seseorang. Memang mungkin bagi sebagian orang bisa menerima, tapi tidak seorang kritikal.

"Dimana letak transparansi itu?" dari hal yang kecil saja banyak yang masih menyepelekan, apalagi hal yang besar, di negeri besar ini transparansi memang bukanlah hal yang asing lagi untuk didengung-dengungkan. Namun aplikasinya??

Kembali lagi dg masalah tadi, kita sebagai mahasiswa sebenarnya butuh transparansi. baik itu dari kebijakan pihak kampus sampai kepada pemerintah. Kita tidak harus selalu berkutat dengan perkuliahan saja, sebab peran mahasiswa sebagai agent of change, dsb harus diperhatikan lagi. Sekali-lagi perhatikanlah apa yang ada di tv seputar masalah negeri ini, perpolitikan, agama, musibah dan bencana alam, dsb. Satu hal yang menginspirasi di akhir tulisan, yaitu "Siapakah Rektor Unand selanjutnya?". Ya, semoga akan ada transparansi disini, demi kebaikan kita bersama, dan demi kedjayaan bangsa.

Senin, 19 September 2011

Cerpen setengah jalan...^^




ROHIM & ROHIMAH

Di sebuah sekolah di kota kecil. SMA yang begitu terkenal di kota Bukitinggi ini. Dinamakan dengan SMA Landbouw, ya, sesuai dengan lokasinya yang berada di daerah pertanian. Landbouw, konon bahasa Belanda yang berarti daerah pertanian saat masa penjajahan dahulunya. Suatu hari, akan diadakan acara rapat besar-besaran oleh alumni, guna perbaikan mutu SMA tercinta ini. Salah satu koordinator acara, Hengky, dialah yang bersikeras mewujudkan acara besar ini, sehingga benar-benar terlaksana.
Hengky adalah alumni SMA angkatan ’08. sekarang dia masih kuliah semester 3 di UI, Depok. Dia salah satu alumni yang sukses menjalani studinya.

“Hengky, loe mau kemana? Kok beres-beres gitu?” kata seorang teman kostnya Hengky.

“Ini, gue mo pulkam. Ada acara alumni di SMA gue dulu,”selorohnya.

“Ooh… pulkam ya? Kemana? Gue boleh ikut gak? Mumpung libur seminggu. Kalo gue pulkam ke Malaysia gak mungkinlah. Kemaren kan baru aja pulang pas lebaran. Boleh ya?” Tanya temennya.

“Uhm…. Gimana ya? Boleh-boleh ja seh. Tapi jangan ngerepotin gue yah.”

“Oke lah. Beres… tarimo kasih yo,”jawab temennya sambil sedikit melantunkan bahasa Minang.

Teman Hengky, namanya Rohim. Rohim tak lain dan tak bukan adalah anak seorang raja, kesultanan Malaysia. Bisa dibilang dia seorang pangeran muda. Tapi, dia memilih kuliah di negara tetangganya, Indonesia. Selain itu, dia juga fasih berbahasa Indonesia, bahkan bahasa gaulnya pun. Dia juga tinggal di kost seperti mahasiswa- mahasiswa lainnya. Sehingga, hanya sedikit temannya yang tahu bahwa dia anak raja kesultanan Malaysia. Kebanyakan mereka hanya tahu kalau Rohim anak Malaysia yang merantau kuliah di Indonesia. Dia di sini tidak sendiri, tapi tentunya ditemani oleh beberapa orang ajudan, yang setia menemani dan mengawalnya.

Keesokan harinya, Hengky dan Rohim sudah bersiap-siap. Pukul 08.00 WIB, mereka lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, menuju BIM Padang. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Akhirnya mereka tiba juga di Padang sekitar jam 10 kurang. Rohim juga ditemani oleh seorang ajudannya, namanya Pak Ramos, biasa dipanggil pak Ram. Tapi menurutnya, ia kali ini beruntung karena hanya seorang ajudan. Jadi dia merasa lebih bebas menikmati liburannya kali ini.

Mereka menuju Bukittinggi dengan mobil Avanza yang telah disiapkan pak Ram.

“Makasih, ya Pak. Bapak jadi repot begini.”kata Hengky.

“Ah, gak apa-apa tuan. Memang ini sudah tugas saya,”jawab Pak Ram.

“Panggil saja saya, Hengky Pak.”

“Yuk kita langsung berangkat,”kata Rohim tak sabar karena tak tahan dengan panasnya kota Padang.

2 jam kemudian, mereka langsung tiba di kota Bukitinggi.

“Uhm…. Kota yang sejuk.” Kata Rohim.

“Gak seperti Padang ya. Kota Bukittinggi ne dingin juga.”tambahnya.

“Ya jelaslah. Padang di dataran rendah, dekat laut. Sedangkan Bukittinggi di dataran tinggi. Jadi jelas beda suhunya.” Kata Hengky sambil mengaplikasikan pengetahuannya. Maklum, ketua Mapala yang sudah sering melanglang buana.

“Ooh….. iya, ya. Gue juga tau kok.” Ucap Rohim.

“Maaf, tuan. Kita menginap di The Hill Hotel saja. Saya sudah check in tadi pagi,”kata Pak Ram.

“Oh, boleh juga tuh.” Kata Hengky bahagia.

“Ooh…. Yok lah. Lets go. Kita kesana.” Sambut Rohim.

“Iyalah. Emang mau kemana lagi?” seloroh Hengky.

“Huu…. “

Pagi hari, pukul 07.00 WIB. Mereka bersiap-siap menuju SMA. Mereka naik mobil Kijang Innova yang seperti biasa sudah dipersiapkan oleh pak Ram.

“Duh, Pak. Kok mobilnya ganti-ganti sih?” Tanya Rohim.

“Maaf, Tuan. Ini memang tugas saya. Apapun fasilitas untuk tuan, sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh Tuanku Raja,” jawabnya.
“Ah, gak pa pa lah, Im. Bersyukurlah, loe dilimpahi kekayaan yang lebih,” kata Hengky tersenyum.

“Iya, tapi gak kayak gini. Gue lebih suka hidup biasa-biasa aja, kayak loe. Gue gak suka pamer, sebab ne harta orang tua gue, bukan punya gue. Jadi apa yang musti gue bangga-banggakan,”jawab Rohim.

“Ini yang bikin gue bangga punya sobat seperti loe. Gue salut banget sama loe. Oya, kita langsung berangkat aja. Jam gak bakal duduk manis tersenyum menunggu kita yang dari tadi ngobrol aja.” Ucap Hengky.

Mereka langsung naik mobil, dari Hotel terus menyusuri Kampung China. Lalu belok melintasi BTC, Pasar Banto, terus simp. Mandiangin belok kiri. Lurus, kemudian belik kiri lagi di simp. Lambau.

“Uh…. Deg-degan neh. Dah lama gak ke sekolah,” ucap Hengky.

“Iya, sabar aja ya. Ntar lagi nyampe,” jawab Rohim asal.

Akhirnya, tiba jugalah mereka di depan gerbang SMA Landbouw. Lalu mereka masuk ke dalam, keluar dari mobil di tempat parkiran. Hengky dan Rohim segera menuju aula yang berada di belakang gedung utama. Tapi sayang, hanya siswa-siswi dan guru yang meramaikan sekolah. Belum tampak satupun batang hidung panitia beserta alumni lainnya.

“Yah, inilah kebiasaan orang Indonesia. Jam karet, sukar on time,” kata Hengky.

“Loe kan orang Indonesia juga. Berarti loe jam karet, gak on time donk,” seloroh Rohim cengengesan.

“Eeh.... tapi gue gak loh. Gak semua orang Indonesia kayak gitu. Contohnya neh, gue,” jawab Hengky bangga campur kesal.

Sembari jalan menuju aula, Hengky dan Rohim mulai dikelilingi banyak siswi. Tapi kayaknya yang menjadi objek sasaran hanya satu, siapa lagi kalo bukan Rohim. Mereka bilang Rohim tu mirip artis Korea yang lagi ngetop itu. Wuahaha, Hengky langsung saja berlari menghindari amukan masa, sambil menatap sobatnya yang tengah kesusahan.

“Itulah susahnya jadi orang keren, tapi wajahnya pasaran. Eeh...maaf ya Im.”kata Hengky membathin sambil tersenyum geli melihat temennya.

“Ky, Hengky... Tolongin gue dunk!” teriak Rohim.

Akhirnya, Rohim bisa juga lepas dari amukan masa. Dia bersyukur, dan terus berlari menuju aula secepatnya. Tapi, tiba-tiba aja dia nabrak seorang siswi.

“Duh...eh, maaf ya, gue gak sengaja,” ucap Rohim bersalah.

“Bantuin dunk. Jangan ngeliat aja. Neh, buku udah pada tumpah ruah,”katanya.

Sekilas Rohim menatapnya, sambil membantu membereskan buku- bukunya yang terjatuh. Entah kenapa, tiba-tiba saja Rohim merasa jantungnya berdetak kencang. Dilihatnya nama di buku yang dipungutnya “Rohimah”.

“Oh, namanya Rohimah,” kata Rohim dalam hati.

“Hey, ngelamun aja.... makasih ya udah ditolongin. Bye,”katanya sambil berlalu tergesa-gesa.

“Eh, tunggu...!”teriak Rohim, setelah Rohimah jauh.

Rohim langsung sja menuju aula. Dia gak mau diamuk masa lagi. Dia masih mikirin kejadian tadi sewaktu nabrak Rohimah.

“Kenapa ya, pikiran gue ke dia melulu? Tapi emang dia tu berbeda dari cewek-cewek yang pernah gue temu. Dia.... dia gak histeris ngeliat gue kayak siswi-siswi tadi yang mungkin temennya. Atau, dia gak tau ya kalo gu mirip artis Korea kayak yang dibilang siswi-siswi tadi?” tanyaku dalam hati.

“Ah, udahlah. Gue penasaran banget sama dia. Ntar gue cari tau deh,”tambahnya.

Memang itulah sifat Rohim yang kalo lagi penasaran sama sesuatu, pengennya segera cari tau. Dia gak suka berlarut-larut dalam rasa penasarannya.
Rohim segera saja calling Pak Ram. Tak lama kemudian, Pak Ram pun datang.

“Maaf, ada apa ya, Tuan memanggil saya?” tanya Pak Ram.

“Gini, Pak. Bapak bisa cari informasi tentang seorang siswi di sini? Namanya Rohimah. Kalo bisa, sekarang saya butuh no. HP nya aja Pak. Gimana?” kata Rohim meyakinkan.

“Baiklah, Tuan. Bapak usahakan secepatnya,” jawabnya tegas.

“Makasih ya Pak,” jawab Rohim senang.

Selang beberapa waktu kemudian, saat acara alumni telah berakhir, Pak Ram pun datang menemui Rohim.

“Tuan, saya sudah dapat sedikit info tentang Rohimah. Dia siswi kelas XII IA SBI. Dan ini no. HP nya,” kata Pak Ram seraya menyodorkan secarik kertas berisi angka-angka.

“Oh ya. Makasih ya Pak atas bantuannya,” kata Rohim antusias.

“Im.... Im, dari mana ja sih loe?” tanya Hengky tergopoh-gopoh.

“Ah, gak dari mana-mana. Yuk kita balik ke hotel,” kata Rohim sambil tersenyum.

“Yuk lah. Oya, ada pertambahan jadwal ne. Acaranya ditambah 2 hari lagi. Coz, masih banyak yang perlu didiskusikan n dirapatkan. Gue juga belum memperkenalkan loe di depan publik. Sedari tadi banyak yang nanya loe siapa ke gue. Besok deh, sekalian loe ikut juga diskusi ya, kasih solusi terbaik buat SMA gue, hehe,”kata Hengky tertawa kecil.

“Oh, baguslah. Kita bisa lama-lama di sini,”jawab Rohim.

Akhirnya, mereka segera balik lagi ke hotel, meninggalkan SMA dengan Kijang Innova.


To be Continued...^^

Serpihan Hati (cerpen blom jadi...)



Serpihan Hati


Tak seperti biasanya, aku melangkah bimbang menuju kampus. Kampus yang baru pertama kalinya aku injak, kampus yang aku idam-idamkan sejak SMA. Inilah hari pertama aku akan memulai proses belajar mengajar setelah menjalani OSPEK beberapa minggu yang lalu.

Akhirnya, tibalah aku di depan Fakultas Kedokteran, fakultas yang kini akan aku tempati. Tak sengaja kulihat ada bayangan yang begitu cepat melintas di depan pakiran dekat fakultas. Karena penasaran, aku pun berlari dan melihatnya.

“Hai, tunggu!” kataku.

“Eh, ya. Ada apa ya?” tanyanya.

“Ah, tidak, aku tadi lihat kamu lari tergopoh-gopoh,”kataku.

“Biasa, sibuk ngejar dosen, buat setor tugas,” jawabnya.

“Oh ya, kenalin aku Ricky, kamu siapa? Baru ya di sini?” sapanya.

“ Iya, namaku Richa, baru kuliah di sini. Oh, maaf ya aku harus pergi sekarang, aku takut terlambat,” kataku sambil melirik jam di tangan.

“ Oh, tidak apa-apa, sampai ketemu,” kata Ricky sambil melayangkan senyumnya padaku.

Aku masuk ke dalam kelas. Entah mengapa sosok Ricky selalu muncul dibenakku. Senyumnya, cara bicaranya, dan gayanya mengingatkan aku pada seseorang.

“Astaghfirullah…,” bisikku dalam hati.

“Ah, sudahlah, mengapa aku masih memikirkan dia. Tidak, aku tak boleh mengingat semua itu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tak akan melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Aku harus ingat pesan orang tuaku di kampung. Aku jauh- jauh kuliah di sini untuk menimba ilmu, menambah pengalaman, juga untuk menghilangkan semua kenangan pahit itu”.

***
Teng…. Teng…. Bel kampusku berbunyi. Menandakan waktu perkuliahan telah usai. Bunyi bel yang cukup memecahkan telinga, sungguh berbeda dari bel di sekolahku dulu. Aku dan teman baruku, Rena berencana mengelilingi kampus yang cukup luas ini sambil mencari kantin untuk mengisi lambung kami yang sedari tadi memanggil-manggil.

Di luar kampus,kami melihat pemandangan yang cukup indah. Sebuah kebun bunga yang terletak berseberangan antara fakultas kedokteran dengan fakultas teknik ini cukup menarik perhatian kami. Berbagai jenis bunga ada di sini, seperti mawar, rose, dahlia, kembang sepatu, dan lainnya. Rasanya aku ingin sekali berlama-lama berada di sana. Tapi, kami harus tetap melanjutkan perjalanan mengelilingi kampus ini.

Kemudian, kami terus berjalan menelusuri sisi- sisi kampus yang masih belum kami jamahi. Di bagian utara fakultasku, tepatnya di sebelah fakultas teknik kami menemukan sebuah kantin yang cukup unik. Kantin bercat norak itu ternyata bukan sembarang kantin. Itu merupakan kantin tempat mahasiswa teknik biasa nongkrong. Mereka menyalurkan kreatifitas dan imajinitas mereka di sana. Sampai –sampai benda listrik atau elektronik pun ada di sana, entah siapa yang membawanya ke dalam kantin.

Akhirnya, kami sampai juga di kantin fakultas kami. Memang agak susah mencarinya, karena terletak di sebelah belakang agak pojok fakultas. Bruuk…. “Aduh!” timpalku kesakitan. Tiba- tiba saja tubuhku bertubrukan dengan seseorang saat akan memasuki kantin. Ternyata dia.

“Duh, maaf ya. Eh, kamu kan yang tadi pagi?” katanya.

“Eh, iya. Gak apa-apa kok,” sahutku.

“Oh ya, aku lupa tadi. Kamu di fakultas mana?” tanyanya.

“Aku di FK,” jawabku ringan.

“Oh, kalau begitu kita sama dong, sekarang aku semester 3, kamu pasti baru di sini ya, Richa?” tanyanya.

“Iya. Kenalin ini Rena, temanku.”

“Rena…,” sambil menyodorkan tangannya.

“Ricky…, salam kenal ya. Panggil aja Ricky, ga usah panggil kakak atau abang dan sebagainya, ok! Umur kita ga beda jauh kan,” balas Ricky.

“Begitu ya. Oh ya, Ky, maaf sebelumnya. Kami mau ke kantin dulu, bagaimana kalau kita ngobrol di dalam aja?” kata Rena.

“Makasih. Ga apa- apa kok. Tapi maaf ya, Ky ga bisa lama-lama, soalnya masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Lain kali aja kalau ada kesempatan, sekali lagi maaf ya Richa, Rena.” Kata Ricky.

To be Continued…….^,^