Tak banyak hal yang harus diingat lagi tentang itu semua. Ya, semenjak aku memilih dan punya pilihan sendiri. Aku sadar bahwa ternyata aku sudah dewasa. Bebas menentukan pilihan, apapun, dimanapun dan kapanpun.
“Nak, ayo bangun… sudah setengah lima, nanti kamu terlambat sholat Shubuh”, kata Ummi seraya mengibas-ngibaskan selimut merah marun yang sedari beberapa yang lalu setia menyelimuti tubuhku yang kedinginan. “Kota ini begitu beku, sangat beku,” lirihku dalam hati.
“Ya Mi, bentar lagi…” sahutku persis seperti biasanya, tak ada yang berubah.
Dan hal itu terus berlanjut, terus, sampai suatu saat yang membuatku berubah,kurasa karena sebuah pilihan.
“kriing….kriing…kriing…”, ponsel ku berdering. Shubuh ini tak seperti biasanya, tak ada gelagat aneh siapapun yang berusaha mengetuk pintu kamarku, berkata lirih membangunkanku, seraya mengambil selimutku. Awalnya aku menyukai ini, karena aku bisa bebas melalang buana dalam dunia mimpiku yang begitu syahdu. Aku tenggelam dalam bisikan kalbu yang tak tahu malu. Entah kalbu siapa yang sesaat menyelimuti jiwaku. Hingga akhirnya aku terdampar dalam pilihan, yang sekali lagi membuatku terhenyak dari segalanya.
Ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di universitas ini. Lain daripada biasa, dimana setiap hari selalu saja rumput-rumput tak bersalah aku injaki, batu-batu tak berdosa aku lempar sana-sini dengan tendangan sepatu hitam putihku. Tapi kini, karena pilihanlah, yang membuatku ada di sini. Tak seperti dulu lagi.
Pilihan ini yang membuatku harus terpisah dari orang-orang terdekatku, dari Ummi, Abi, abang dan adikku. Tapi tak mengapa, aku menjalaninya karena itulah pilihan, aku memilih sendiri, karena aku sudah dewasa dan bebas menentukan apa yang ku mau.
Aku begitu antusias mengikuti berbagai macam kegiatan kemahasiswaan di kampus ini. Meskipun aku masih rapuh, tapi aku senang dengannya. Tak aral, aku sering terlambat kuliah, kadang bolos, bahkan titip absen. Itulah aku, tapi itu dulu, setelah aku memilih.
Sampai suatu ketika, aku bertemu dengan senior yang kurasa sangat menjengkelkan. Apalagi kami satu kosan. Dengan santainya aku selalu diam, bahkan berlalu meninggalkannya saat dia berbicara atau sekedar menyapa. “Aku gak butuh siapapun, aku kan udah dewasa”, lirihku dalam hati setiap dia ingin tahu tentang aku. Sikapku yang begitu ketus terhadapnya mulai berangsur-angsur sirna setelah aku mengalami musibah. Saat itu aku sakit, awalnya hanya demam subfebril dan kemudian berkomplikasi terhadap asma ku. Saat itu aku hanya teringat Ummi, aku hanya bisa menangis dalam kesakitan dan kerinduan akan belaian kasih Ummi yang setia menemaniku di saat sulitku seperti ini.
“Aku dimana? Ummii.. Abii.. “, aku terbangun dari tidur lemasku.
“Tenang dek, kita sekarang ada di RS. Jangan khawatir, kakak akan menjagamu. Tadi kamu pingsan tak sadarkan diri di kos, sontak saja langsung kak bawa ke sini,”jawabnya sambil berusaha menenangkanku.
Aku menangis dalam hati, “pantaskah aku untuk dikasihani seperti ini, setelah apa yang aku lakukan padanya?” Dan inilah titik balik pilihan itu.
“Kakak, aku sangat berterima kasih kepada kakak. Selain Ummi, Abi, ataupun keluarga dekatku, tak ada lagi orang yang begitu dekat denganku. Bahkan teman atau sahabatku, mereka hanya sebatas candaan, suka sama suka, senang sama senang. Sedangkan dibawa menangis atau bersedih mereka entah kemana. Sekali lagi, terima kasih banyak kak. Aku juga minta maaf atas segala sikapku selama ini kepada kakak,”kataku kepadanya tulus.
“Subhanallah dek, kakak tidak seperti yang adek katakan. Sungguh, kak ikhlas hanya ingin membantu karena Allah. Kak juga sama sekali tidak pernah merasa disakiti oleh adek. Malahan kak ingin minta maaf karena kakak kurang memperhatikanmu sehingga kamu jadi sakit begini. Maafkan kakak ya?” katanya sambil tersenyum, menambah rona kemerahan di pipinya, dibaluti oleh mahkota hijab.
“Terima kasih kak, kakak sungguh baik. Aku terlambat mengetahuinya. Maafkan aku kak,”lirihku tersenyum kepadanya.
Dan subuh itu, ponselku kembali berbunyi. Tandanya aku harus bangun untuk melaksanakan solat Shubuh. Meski tak terdengar lagi suara Ummi yang sangat aku rindukan. Aku berusaha bangun sekuat tenaga melawan rasa kantuk,sampai setengah menetaskan air mata mengingatnya.
“tok tok tok,”pintu kamarku ada yang mengetok subuh-subuh begini. Ternyata kakak seniorku.
“dek, yuk, kita bareng ke mesjid solat Shubuh berjamaah,” kata beliau, spontan saja mengingatkanku dengan Ummi dan Abi.
“Nak, ayo kita solat ke mesjid, berjamaah, pahalanya gede lhoh,” rayuan gombal Ummi sambil membentangkan kedua tangannya kilatan seperti gunung. Tapi, tak pernah aku gubris.
Masih dengan beragam pilihan, belum terhenti sampai saat itu.
Hingga akhirnya, tibalah masa itu. Setelah 6 bulan berlalu, aku kembali ke rumah, ke kampong halamanku. Ummi dan Abi, serta sanak family sudah terbayang-bayang di benakku. Tak sabar rasanya ingin segera sampai, sekali lagi membawa pilihan.
“Nak, Ummi dan Abi begitu bangga, bahagia karena bisa melihatmu lagi. Setelah sekian lama tidak berjumpa. Dan yang lebih Ummi banggakan, sekarang kamu sudah berjilbab nak, jilbab syar’i dan menghijabi dirimu dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Alhamdulillah ya Rabb, engkau mengabulkan do’a hamba. Orang tua mana yang tidak bahagia memiliki anak yang sholeh sholehah,” kata Ummi tersedu dalam rintihan tangis yang tak terbendung lagi.
“Iya Ummi, Abi. Maafkan segala dosa dan salah yang selama ini aku lakukan. Semua pilihan ini, aku pilih dan diiringi do’a Ummi dan Abi, aku tersesat di jalan kebenaran ini.”
Ini bukan pilihan kawan, bukan pilihan biasa. Ada kekuatan besar yang menuntun kita sehingga bisa berada di sini. Tak perlu seberapa bagusnya pilihanmu, tapi lebih baguslah pilihan Allah. Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan menyesatkan orang yang Dia kehendaki (Q.S Nuh 50). Beruntunglah kita, yang sempat tersesat dalam perjalanan hidup dan diberi kompas yakninya Al-Qur’an dan As-Sunah, sehingga kita kembali kepadaNya dan termasuklah kita kepada orang-orang yang beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar