Suatu ketika, saat aku masih kecil. Saat itu, ada sebuah cermin. Aku melihat kesana. Tampak bayanganku. Jelas, nyata. Kulihat lamat2. Masih jelas dalam ingatan. Pertanyaan paling aneh itu pun muncuk. Untuk pertama kalinya.
Siapa aku? Kenapa aku ada di dunia ini? Kenapa bentukku seperti ini? Kenapa aku dilahirkan sebagai manusia? Sampai kapan aku akan ada disini?
Pertanyaan itu muncul begitu saja.
Hatiku tercekat.
Aku takut. Pada diriku sendiri. Pada dia yang ada di dalam cermin.
Aku tak tahu, sama sekali.
Dan itu terasa menyesakkan hati.
Hey, kenapa aku tidak menjadi burung saja? Yang bebas terbang kemanapun dia ingin? Yang tampak tak ada beban satupun dalam hidupnya?
Kenapa pula aku tak menjadi seekor cicak di dinding?
Yang hanya menempel diam disana sembari menunggu mangsa? Hanya butuh sedikit usaha, tak perlu macam2 susahnya?
Dan pertanyaan itu tak terjawab. Aku pun melupakannya. Setiap kali melihat cermin, kuabaikan bayangan semu yang ada disana. "Ah, sudahlah. Barangkali itulah takdirku," beberapa waktu kemudian pernyataan itu terlontar begitu saja. Ya, takdir.
Berada dalam dimensi ruang dan waktu. Gerigi digital yang hilang timbul diantara kerumunan manusia.
Itulah perasaan yang muncul kali kedua saat aku sudah beranjak dewasa.
Kreativitas dan keingintahuan anak kecil yang luar biasa, menurutku. Terkadang, banyak hal yang terlupa. Padahal esensinya sungguh nyata.
Aku termangu. Pagi ini, dalam barisan shaf yang rapi, ingatan itu terlintas. Memaksaku untuk kembali. Ya, mengingat semuanya.
Setidaknya aku tak lagi lupa diri.
Setidaknya aku tak lagi mengkhianati diri.
Dan setidaknya, aku masih ingat akan tugas dan kewajibanku. Suka atau tidak suka.
Its hard. But, I will, and I should do it.
Terimakasih masa kecilku. Sepotong ingatan yang mengingatkanku akan arti hidup. Takdir manusia untuk berusaha semaksimal mungkin. Takdir manusia untuk mengemban amanah luar biasa dari-Nya. Ya, hanya manusia.
Wallahu a'lam.