Selasa, 23 Agustus 2016

Lelah

Mataku tak sanggup untuk tidak terpejam. Lelah badan tak terelakkan. Padahal kenyataan kehidupan masih terbentang panjang. Masih banyak yang harus kulakukan.

Memang rasa lelah tak pernah menunggumu untuk bersiap-siap. Apalagi datang di saat yang kau inginkan. Yang kutahu, semakin hari semakin kurasakan kelelahan yang tak terelakkan.

Semakin hari kurasakan lelah badan, namun jiwa masih ingin tetap melanglang.

Aku tak tahu, hingga pada detik, menit dan pukul berapakah jam itu akan berhenti untuk diriku selama-lamanya. Lelah ia menghitung hari-hariku yang terkumpul dalam tahunan dan kasat mata dalam fisik yang temaram.

Yang kutahu, aku akan berusaha untuk mengalahkannya. Semampu dan sebisaku. Takkan kubiarkan ia menang walau sedikitpun. Takkan kubiarkan ia mengambil selisih waktu dariku. Menjadikanku kelam, silakan saja. Tapi aku takkan menyerah begitu saja.

Wahai fisik, bekerjasamalah dengan jiwa. Dan sesekali, bangunkanlah raksasa yang tertidur karena lelah yang mendera.

Kalaulah jiwa yang lelah, kehilangan semangatnya, lantas pada apakah ia nan ringkih itu akan bersandar?

Pada apakah ia nan tak bersua kawan lama itu akan bercerita panjang lebar?

Dan pada apakah, ia yang kehilangan pijakan itu akan berdiri dan menggantungkan badannya?

Senin, 22 Agustus 2016

Jejak Penantian

Berjalan langkah demi langkah kecil. Menyusuri jalan setapak. Walau gamang, tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi hanya satu yang tertancap dalam hati, "tetaplah bergerak, walau lambat seperti awan temaram yang menggelap."

Dan langkah kakiku akan tetap mengayun, hingga terhenti pada tujuan yang akan dicapai. Menapaki jalan-jalan kecil, berkerikil, dan berdesir bunyi setapak demi setapak jejak yang mengumpul dalam alunan waktu. Bak putaran roda sepeda kecil yang lemah gemulai memolesi bebatuan cadas rerumputan berembun tanah basah berbau gemericik hujan rinai semalaman.

Kakiku terhenti, tidak tahu apakah ini penantian itu ataukah masih sekumpulan terminal yang hanya akan menjadi persinggahan sesaat.

Aku sungguh tak tahu. Karena semuanya masih menjadi misteri yang masih tertutup oleh tabir waktu. Hingga kering tenggorokan berkata, merah mata menatap nanar, dan gersang hati memikirkan hal yang masih tak bertepi, oh, sungguhlah pada keyakinan ini sajalah kutumpukan segalanya.

Bahwasanya, Dia tak akan menyia-nyiakan kita. Dengan apa yang kita lakukan dan usahakan, apa yang kita tempuh sepanjang hari, apa tang menjadi harapan dalam setiap lirih-lirih doa yang kita panjatkan saban hari. Baik itu yang terucap ataupun yang tersirat dalam hati.

Batinku, menggebu dalam keinginan jiwa yang berkesangatan. Hanya saja, kutahu ada batasan yang harus kupegang teguh dan erat. Mengalah bukan berarti kalah. Diam bukan berarti tak tahu apa-apa. Aku hanya sedang menyusun rencana matang untuk persiapan di masa mendatang.

Dan sekali lagi, langkah ringkih ini harus terhenti untuk sementara. Sekedar menyiasati hati kecil untuk berintrospeksi. Apakah ada tertarung kaki dalam perjalanan? adakah semut-semut yang terinjak karena ketidaktahuan? Atau, adakah rumput yang meranggas mati karena kearoganan kaki kita melangkah?

Demi jiwaku yang dalam genggamanNya. Kalaulah bukan karena kebaikanNya, tak sanggup rasanya kaki ini melangkah. Terus bergerak memperbaiki diri. Sesekali, terinjak juga olehnya kotoran yang tanpa sadar, akan terbersihkan oleh langkah-langkah kaki selanjutnya. Walau masih tertinggal jejaknya yang takkan pernah menghilang seumur kehidupan.

Kalaulah bukan karena nikmatnya, maka tak akan sanggup kaki ini melangkah. Walau badan sehat, tanpa kekurangan satupun, namun jikalau hati yang sakit, tak akan tergeraklah ia. Terasa ada beban ribuan ton pada kaki.

Mentari pagi menelisik menusuk masuk ke dalam kelopak mata. Pagi ini indah, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hati ini merasakan, kelak dalam pencapaian masa depan, kaki ini akan terus melangkah dalam kebaikan.

Minggu, 21 Agustus 2016

Now and Forever

Aku meniti tiang dalam senyap. Menunggu malam menghilang dalam semburat cahaya di ufuk timur. Entah kapan. Yang kutahu, hanyalah waktu yang setia menemani. Dalam setiap hembusan nafas yang tiada henti-hentinya merongrong kesendirian.

Hanya ada aku dan suara nafas yang menderu. Ya, hanya itu.

Aku tak tahu, kapankah ia akan datang. Aku menunggu semuanya dalam kesenjangan yang tiada berkesudahan. Menjajaki setiap detik dan menit yang bergerak. Tak lelah.

Dan pandanganku tertuju pada awan yang mulai menggelap. Menggelayut di langit senja yang tak sempurna. Berat rasanya menitikkan air mata dengan situasi yang kuhadapi. Dunia dalam berita yang kini menjadi kenyataan menyakitkan.

Namun, tetap saja awan gemawan tak jumawa berhenti bergerak. Walau tertatih sungguh, perlahan tetaplah ia berpindah juga. Walau begitu, haruskah kita menantinya dalam diam? Menunggunya hingga ia datang menjelang?

Tetap saja, menunggu itu menyakitkan. Apalagi yang ditunggu adalah tentang masa depan yang masih gamang. Seperti halnya kesediaan yang tak berkesudahan. Membuat kita tergamang.

Aku mengerti, memahami. Hanya saja tak cukup kosa kata dan kamus permimikan yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Aku sangat mengerti. Karena pernah mengalami, tentu saja.

Sampai kapan terbelenggu dalam cerita tak berkesudahan? Berada dalam kondisi yang tak memungkinkan? Merasa tinggi dan jauh sekali, sakit jatuh terjerembab di atas tanah kering kerontang.

Sudahlah. Sudahi saja. Bagaimanapun, kita tak pernah mengharapkannya sama sekali. Inginnya sambil menyelam minum air, walau asin dan membuat gatal kerongkongan. Tetap saja, ada kata yang terucap, ada rasa yang tak tersampaikan. Begitulah.

Pahami saja selagi bisa. Apapun interpretasi anda, begitulah adanya.