Aku meniti tiang dalam senyap. Menunggu malam menghilang dalam semburat cahaya di ufuk timur. Entah kapan. Yang kutahu, hanyalah waktu yang setia menemani. Dalam setiap hembusan nafas yang tiada henti-hentinya merongrong kesendirian.
Hanya ada aku dan suara nafas yang menderu. Ya, hanya itu.
Aku tak tahu, kapankah ia akan datang. Aku menunggu semuanya dalam kesenjangan yang tiada berkesudahan. Menjajaki setiap detik dan menit yang bergerak. Tak lelah.
Dan pandanganku tertuju pada awan yang mulai menggelap. Menggelayut di langit senja yang tak sempurna. Berat rasanya menitikkan air mata dengan situasi yang kuhadapi. Dunia dalam berita yang kini menjadi kenyataan menyakitkan.
Namun, tetap saja awan gemawan tak jumawa berhenti bergerak. Walau tertatih sungguh, perlahan tetaplah ia berpindah juga. Walau begitu, haruskah kita menantinya dalam diam? Menunggunya hingga ia datang menjelang?
Tetap saja, menunggu itu menyakitkan. Apalagi yang ditunggu adalah tentang masa depan yang masih gamang. Seperti halnya kesediaan yang tak berkesudahan. Membuat kita tergamang.
Aku mengerti, memahami. Hanya saja tak cukup kosa kata dan kamus permimikan yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Aku sangat mengerti. Karena pernah mengalami, tentu saja.
Sampai kapan terbelenggu dalam cerita tak berkesudahan? Berada dalam kondisi yang tak memungkinkan? Merasa tinggi dan jauh sekali, sakit jatuh terjerembab di atas tanah kering kerontang.
Sudahlah. Sudahi saja. Bagaimanapun, kita tak pernah mengharapkannya sama sekali. Inginnya sambil menyelam minum air, walau asin dan membuat gatal kerongkongan. Tetap saja, ada kata yang terucap, ada rasa yang tak tersampaikan. Begitulah.
Pahami saja selagi bisa. Apapun interpretasi anda, begitulah adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar