Senin, 25 Agustus 2014

ycallmymind: Perjalanan Ini

ycallmymind: Perjalanan Ini: Setiap orang unik dengan jalan pilihannya masing-masing. Ada yang mengikuti jalan sesuai keinginannya, ada yang tersesat di jalannya, ada p...

Perjalanan Ini


Setiap orang unik dengan jalan pilihannya masing-masing. Ada yang mengikuti jalan sesuai keinginannya, ada yang tersesat di jalannya, ada pula yang stagnan, hanya berjalan disitu saja. Setiap orang unik, dengan keberaniannya memilih jalan baru yang sama sekali belum ditempuh. Setiap risiko yang akan muncul, suka atau tidak suka tetap saja ditempuh. Ya, sekali lagi karena setiap orang unik.

Sempat terlintas di pikiran, apa jadinya jika aku, diriku ini memutuskan untuk keluar dari jalan, atau melawan arus. Pernah terbersit juga, seandainya aku melawan arus jalan akankah aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari. Karena selama ini aku hanya berjalan di jalan yang itu itu saja, melewati persimpangan jalan dan kerikil yang itu itu saja. Coba saja kalau aku melewati jalan lain atau stagnan di tengah jalan, apa yang akan terjadi?

Kurenungkan dalam hati, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan jalan ini. andai aku lewat jalan lain, akankah kutemukan jalan pintas atau malah tersesat? Atau kalau aku stagnan di tengah jalan, akankah aku terombang-ambing oleh ribuan massa di jalanan yang tetap berjalan sesuai pilihannya? Atau apakah aku akan menghilang dari jalanan yang menyebalkan itu?

Ah, jalan pikiran ini saja sudah terlalu rumit. Apalagi menempuh jalan kehidupan yang lebih rumit lagi. Aku terlalu banyak berpikir rumit, membiarkan diri tenggelam dalam keasyikan imajinasi yang melenakan dan menakutkan. Sulit bergerak karena takut akan pikiran yang menyesakkan yang bahkan setelah dijalani tak seperti yang dibayangkan. Jalan di tempat, bersiap saja untuk mati di tengah jalan. Ditabrak ribuan pengguna jalan lainnya, atau disingkirkan paksa dari jalanan. Bukankah lebih sulit lagi untuk memasuki jalanan setelah tertimpa trauma yang cukup besar?

Minggu, 24 Agustus 2014

Hanya Permainan


Huft,,, lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas dalam. Telak dalam kekalahan hati. Apa salahnya mereka menyembunyikan kebahagiaan fana mereka itu rapat-rapat. Serapat mereka menyembunyikan yang lainnya. Nyaris tak ada apa-apa, kelihatannya hanya sunyi senyap saja. Tapi kelihatan menusuk dalam, sedalam belati terbelah dua belas. Apa tak bisa mereka menenggang perasaan yang lain? Atau merasakan yang lain rasakan? Atau setidaknya, ikut menyembunyikan yang selama ini memang sudah disembunyikannya sejak awal? Ah, manusia memang begitu.

Apalah itu, sekedar kejutan kecil yang tersingkap di siang hari. Menyejukkan dada sebagian orang, melelehkan keyakinan sebagian orang lain. Melewati batas sensitivitas yang terjangkiti dalam beberapa dekade. Bukankah ini hanyalah sebuah permainan kecil? Ada aku, kamu, dia, dan mereka yang terlibat di dalamnya? Lalu kenapa, kenapa kau bergegasb pergi meninggalkan arena permainan, lalu tiba-tiba saja muncul dengan kemenangan?

Ah, lagi-lagi aku harus berkeluh kesah dengan keadaan yang menyesakkan dada ini. berada dalam kenyataan bahwa kita tak lagi sama. Seolah ada strata lain yang membuat kita berbeda. Bahkan membuat tatapanku padamu terlihat aneh, atau tatapan mereka padaku lain, seolah mengiba. Dan lagi-lagi aku benci dengan keadaan ini.

Salah siapa coba, kuakui memang aku yang salah. Tapi juga tidak sepenuhnya salahku. Aku sadar, selama ini terkungkung dalam dunia lain, dunia yang bukan aku. Apa salahnya aku keluar sejenak dan memandang dengan berbinar-binar dunia luar. Tapi salahnya, aku terlarut tenggelam dalam dunia imajinasi yang kubuat sendiri. Aku terlarut, berlarut-larut dalam kemelut.
Dan akhir kata, aku hanya bisa menelan sendiri kepahitan dunia ini. pahit karena bukan tipikal aku yang harus mengalah dan terkalahkan dalam arena permainan itu. Aku hanya keluar sebentar, mencari permainan lain untuk menghibur diri yang sayangnya membuat efek adiktif tak tertahankan sehingga sulit tuk lepas darinya. Dan kini, aku sudah bersiap tuk kembali lagi dalam arena pertempuran yang sebenarnya. Merebut kembali harga diri, membayar semua kekeliruan mereka dan juga kebodohanku. Saksikan saja, kelak, aku hanya butuh beberapa kejap mata saja tuk mengakhiri permainan lama itu. I will do whatever I want, baiklah, kalau kau mau kutunjukkan bagaimana permainanku. Lihat saja, sebentar lagi aku akan berada disana. Secepatnya.

Kamis, 21 Agustus 2014

Veruka


Veruka mengira-ngira bahwasanya hari itu akan segera datang. Hari yang ditunggu-tunggu, nyaris setahun lamanya. Sembari dalam masa penungguan itu, banyak hal yang sudah terlewati dan terjadi dalam kehidupannya. Untunglah Veruka tak harus bermutasi secepatnya, apalagi menanggapi krisis waktu yang semakin mengikis percaya dirinya, mengobrak-abrik idealisme dan karakternya selama ini.

Adalah garis takdir yang mempertemukan cerita mereka. Awalnya Veruka hanyalah seorang gadis biasa yang mencoba ingin menjadi luar biasa. Entah seperti apa kriteria luar biasa yang ada dalam pikirannya. Apakah menjadi seperti orang lain, atau berusaha mati-matian menjadi sosok yang lain daripada yang lain?

Veruka hanyalah gadis yang polos. Saking polosnya, dia selalu saja gagal move on. Seringkali menganggap semua orang akan baik padanya, akan setia bersama-sama dengannya. Ah, Veruka, khayalanmu terlalu panjang tak berujung. Bayangkan saja, satelit saja lintasan orbitnya enggan berdekatan satu sama lain apalagi sampai bersingggungan, spaghetti dan meatball memang menggiurkan tapi untuk mencampurnya entah bagaimana bentuknya.

Perlukah aku tunjukkan pada dunia sisi gelapmu Veruka? Oh, ya, sebelum menyadarinya aku harus bertanya pada kemungkinan-kemungkinan yang biasa terjadi. Apakah aku harus bertanya pada Mr. Lowenstein Jensen tentang kultur budayamu? Atau pada si penarik hati Mr. Ziehl Neelson tentang warna kesukaanmu? Oh, tentu saja kau bukan Mrs. Tb. Kau hanyalah seorang gadis biasa bukan.

Ya, aku ingat siapa kau sesungguhnya Veruka. Kau adalah satu-satunya orang yang tega mengkhianatiku. Meskipun saat ini kau tengah berbahagia karena dipertemukan dengan lorong waktu penantianmu, tapi sayangnya kebahagiaanmu tak akan bertahan lama. Saat kuhadiahi kau dengan gelar Common Wart, saat itulah matamu bergidik ngeri menatapku. Aku tahu, kau akan takluk padaku suatu saat nanti.

Lets Play!


Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup
Kalau bekerja sekedar bekerja, kera di hutan juga bekerja


Setiap manusia punya perannya masing-masing. Tak peduli apakah orang lain memperhatikannya, tak peduli apakah orang lain memberikan apresiasi padanya, dan tak peduli apakah orang lain akan memujinya. Seperti apapun peran manusia, sekalipun tak kasat mata, seperti menyingkirkan kerikil di tengah jalan, atau menatap langit temaram, yang pastinya akan selalu ada manfaat walau harus sepersekian juta detik lagi hasilnya dirasakan.

Kalau poin penting keberhasilan kita harus seperti mereka, atau seperti dia, apalah artinya seonggok ikan di lautan. Tak semua nelayan akan mendapatkan hasil yang sama, karena ikan teronggok dengan sendirinya, dikendalikan oleh kekuatan alam atau kekuasaan Tuhan. Begitulah kehidupan berjalan. Kadang roda tak selalu berjalan di jalan mulus. Kadang harus melewati jalanan berkelok, penuh kerikil, becek, dan licin. Itulah kehidupan, dan tak semuanya bisa dilihat dengan pikiran-pikiran kasat mata manusia.

Kata Terserak dalam Benak


Ah, harus berapa kali sih makan hatinya?

Siapa juga yang nyuruh makan hati berkali-kali? Nanti bisa sakit sendiri, entah sakit liver atau sakit hati dalam istilah lain. Belati yang bengkok, yang ditajamkan pelan-pelan oleh pusaran waktu, melibas sendi-sendi ketajaman akal. Akal yang tak diasah, membuat bengkok hati. Semua serba salah, serba tak menyenangkan, lebih tepatnya menjengkelkan.

Siapa suruh, cinta diam-diam. Menabur benih kasih dan sayang yang semakin dipupuk semakin tumbuh subur cintanya. Tapi cinta yang teramat sangat, posesif namanya, tak rela dia didekati orang lain. Selalu berharap dia akan memberikan pandangannya hanya pada kita. Ya, hanya kita saja.

Kenapa cinta itu seperti hati? Dan aku harus makan hati karenanya? Karena makan hati itu menyakitkan, menggores dan mencabik-cabik perasaan. Hingga membuat pandangan menjadi sayu dan tak menentu. Ah, barangkali dia yang disana tak merasakan sama sekali.

Kau yang Berasal Dari Mars



Bukan kesukaaanku memperhatikan detail, apalagi yang kuperhatikan ini bukan benda. Dia adalah sejenis makhluk hidup teraneh yang pernah kutemui. Awal pertemuan itu terasa biasa-biasa saja, tak ada yang spesial. Makhluk aneh ini bisa dibilang “Mars” yang konon katanya merupakan pelengkap dari medan magnetnya Venus. Ajaib memang, ada makhluk seaneh itu berkelana di dunia fana ini.

Dari pertemuan yang memang disengajakan itu, dalam waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu, ada beberapa Venus dan Mars yang berkumpul. Ah, ada-ada saja, sejak kapan pula Venus dan Mars jumlahnya lebih dari satu. Atau apa ada langit lain dengan galaksi lain yang susunannya mirip dengan galaksi Milky Way kita ini? Hmm, entahlah, seluas ini jagad raya, yang kutahu hanya kotaku saat ini dan kampungku nan jauh disana.

Aku, si Venus yang calming dan easy going, tak suka rempong dan cuek sekali, benar-benar tak habis pikir. Sebanyak ini Venus dan Mars yang berkumpul, bagaimana cara mengenal mereka satu-persatu? Dari seringnya frekuensi berkumpul dan gelombang yang sama dengan sesama Venus, mungkin tak terlalu sulit untuk saling mengenal, minimal dari mimik wajah dan kesan pertama. Hanya saja, bagiku, Mars umumnya sama saja, bahkan kulihat mereka semua mirip. Sulit membedakannya, belum lagi merapalkan nama mereka satu-persatu. Ah, masa bodohlah. Selagi bisa, menghindari mereka itu lebih baik daripada harus menambah kerempongan mengingat—ingat siapa saja mereka.
Seiring berjalannya waktu, Venus dan Mars dikumpulkan dalam sebuah wadah dunia gemerlap bintang. Cahayanya begitu terang-benderang , kilaunya menyejukkan dilihat dari Gunung sana. Ah, padahal mereka sama saja, tetaplah bintang, dilihat dari sisi manapun di dunia ini tetaplah sama. Hanya saja, sudut pandang yang berbedalah yang membuat kita berbeda.

Terlalu banyak asap rokok dan sepatah dua patah kata pada tuan rumah malam itu yang membingungkan. Diawali dari makan bersama yang diiringi obrolan-obrolan entah apa itu aku tak terlalu mengerti, sambung-menyambung kata-kata minang entah pantun entah petuah, semuanya disampaikan begitu saja dari mereka. Sampai pula ke pembahasan politik dan lainnya yang sedikit banyaknya ada sedikit ketegangan tapi berakhir dingin.

Ah, menurutku, dia sok tahu. Hanya saja, karena bukan bidangku jadi aku tak terlalu paham tentang itu. Setidaknya, aku mengerti apa yang disampaikannya. Mars itu, terlalu gampang emosinya sekedar memberikan contoh kongkrit dari apa obrolan yang dia sampaikan. Ya, terlalu mudah tersulut seperti sebatang rokok.

Mars yang satu ini berbeda, paradoks dari yang lainnya. Kenapa aku memperhatikannya? Entahlah, seiring perjalanan mungkin waktulah yang bisa menjelaskan. Aku tahu dia berbeda, dan itu terpampang nyata dari kata-katanya. Kau tahu, dia biasa saja, malahan menurutku kalau dibandingkan Mars-Mars yang biasa kulihat di jurusanku, dia seperti Mars yang terbuang. Maafkan aku, mungkin itu kesan pertamaku padamu yang tampil urak—urakan, apalagi rambut gondrong yang tak terurus itu.

Jarang menemukan seseorang yang aneh dalam kehidupan nyataku. Kali ini, Mars yang satu ini, masih dengan tampilannya yang urak-urakan mengingatkanku pada sesuatu. Ah, pada siapa ya? Yang pastinya, pertemuan yang tak dapat disangkal itu membuat frekuensi kami untuk saling berjumpa meningkat. Aku hanya tahu namanya saja, sekilas. Lalu jurusannya, dan juga rumahnya dimana. Kenapa aku tahu rumahnya? Ya, karena tempat tinggalnya memang cukup strategis dan punya plat namanya. Sudah beberapa kali aku lewat disana, tapi baru beberapa hari itu aku tahu. Selebihnya, tak ada yang kutahu, dan aku juga tak ingin tahu.

Menarik memang, melalui media yang digandrungi remaja tanggung saat ini. tak lewat mata ini memandang dan membaca tulisannya, lebih tepatnya update terbaru statusnya. Aku bingung saja, statusnya selalu panjang dan sulit dimengerti. Bahkan beda jauh dari orang-orang kebanyakan yang tak harus ambil pusing memikirkan status yang harus ditulisnya. Ya, biasanya berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini. Tapi beda dengannya, Mars yang satu ini sulit ditebak, dan aku penasaran.

Puisi Kolaborasi Lapang dan Sempit

Malam
Hanya ada satu malam, satu bintang, dan satu bulan
Bernaung di bawah rintisan cahaya kelabu
Bersatu padu memecah dimensi waktu
Tak tahu malu

Aku tergugu menatap langit
Membiaskan perasaan kerlap kerlip
Hingga tak sadar
Satu cahayanya berpendar terang
Menebas gemerlap malam tanpa sadar

Ah, bagiku semua malam sama saja
Sama pekatnya sepekat pikiran
Yang kini tengah mencabik-cabik ke dalam
Perih, remuk redam

Mentari
Aku bersikukuh dengan jalan cerita ini
Mengais puing-puing kesempatan
Cerita kita yang tak menentu
Mengharu biru

Kuperdaya lirik tajam matanya
Tuk menatap hangatnya mentari pagi
Tapi apa daya
Sekali lagi
Harus menyaksikan mentari terbit dari ufuk barat

Ah, lagi-lagi aku harus mengalah
Aku benci dengan ketidakpastian ini
Yang pelan-pelan membunuhku dalam diam
Ya, hanya terdiam

Lalu mati, tak bernyawa

Sajak dari Percakapan Singkat Malam Ini


Tak ada yang bisa membantu dirimu sebaik dirimu sendiri
Ah, orang hanya bisa berkata, tanpa apresiasi atau empati, kalaupun ada mungkin hanya secuil
Bukan apa-apa, aku berkata begini bukan karena kecewa
Hanya karena memang itu adanya.
Ah, lagi-lagi begini, selalu saja begini.

Pertanyaan-pertanyaan yang datang seolah menghakimi.
Bisa jadi si penanya berada dalam beberapa kondisi, bertanya karena tak tahu dan ingin tahu
Bertanya asal-asal bertanya saja, tak ada topik menarik awal pembuka percakapan (ah, lebih baik tak usah saja bertemu dengan orang tipikal begini)
Atau dia yang bertanya sekedar memastikan bahwa yang ditanya tidak lebih baik dari si penanya
Or, ingin bertanya untuk memastikan, apakah yang ditanya baik-baik sajakah
Atau, atau, atau, dan masih timbul atau yang lainnya

Yah, beginilah
Tenggelam dalam arus pusaran waktu
Saat kuda lain berlari kencang menerobos awan
Saat kuda tetap tertinggal di kandang
Atau kuda yang jalan terseot-seot karena ada apa-apanya

Ah, dunia
Tak cukupkah sekedar bercerita saja
Ceritakan yang baik-baik dari sekian banyak cerita naif
Tentang kepedulian, tentang kepedulian

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pilih Saja Duniamu


Hanya lewat untaian huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang bersatu padu membentuk sebuah cerita, aku bisa mengungkapkan segalanya. Saat mulut tak lagi sanggup berbicara, saat mata tak mampu lagi menatap, dan saat jiwa berjauhan meski raga dekat, di saat itulah, keteguhan hati yang dapat menjawab.

Setiap manusia punya pilihan. Bahkan untuk lahir ke dunia inipun memilih. Memilih untuk terlahir normal, terlahir cacat, atau mati sebelum menjajaki dunia. Ah, pilihan ini terkadang begitu mudah tuk diucapkan, tapi sulit dilakukan bagi beberapa orang. Pilihan setiap kita berbeda, sama seperti halnya kepala yang sama hitam tapi beda pikiran, sekalipun anak kembar siam. Dari sekian banyak planet yang ada di jagad raya ini pun, bumi dipilih untuk ditinggali oleh manusia. Yang konon katanya gemar sekali membuat kerusakan di muka bumi. Tapi apa daya, pilihan telah ditetapkan, sekalipun tak ideal sama sekali.

Pilihan yang tak layak tuk dipilih. Tidak memilih pun termasuk pilihan. Urusan ini memang tidak sederhana, tidak juga terlalu rumit. Hanya pikiran-pikiran yang teracuni lingkungan saja yang membuat segalanya terasa sangat sulit. coba saja kau lakukan tanpa terlalu berpikir panjang. Ah, bukankah pikir itu pelita hati. Tapi kalau kelamaan mikir tanpa aksi, juga tidak benar.

Alangkah indahnya dunia realita dalam sebuah pilihan. Apalagi kalau bisa memilih sesuai kehendak hati. Tapi sayang, tak semua yang nyata itu enak, tak semua yang menjijikkan itu buruk. Kadang , saat berada di posisi terpojok, di saat itulah muncul kekuatan lain. Orang bilang semacam emosi kekalutan. Emosi yang membuncah keluar setelah tertahan lama. Sama halnya dengan orang yang sedang patah hati, kekuatan dendam kesumat yang tak berkesudahan, apalah lagi yang bisa mendatangkan seribu watt kekuatan selain emosi yang tersulut.
Hanya sepersekian detik saja, pilihan yang tak dipilih menjadi bumerang menyakitkan. Gagal pilih lebih tepatnya. Atau menunda untuk memilih, lebih menyakitkan lagi karena jelas-jelas pilihan itu terpampang nyata. Waktu yang bisa berkata kenapa semuanya terasa memedihkan mata.

Jumat, 01 Agustus 2014

Cerita Kita (Part 2) Missing You



Tak perlu mengeluarkan sedikit tenaga untuk berjalan ke pohon seri, pun tak perlu bersusah payah mendaki bukit kecil di depan rumah abak. Hanya berdiam diri saja di sudut kamar kecil ini, tuk dapatkan kualitas tinggi sinyal internet.

Tak perlu mengeluarkan sumpah serapah pada sinyal telepon genggam, tak perlu bersabar hati saat tethering tak tercukupi. Kini tinggalah kenangan yang menjadikan segalanya serba mungkin, tuk diulang lagi.

Ah, aku hanya orang bodoh yang tak tahu rasa bersyukur. Aku merindukan suasana dimana segalanya serba butuh kreativitas tuk mendulang keinginan, butuh ide tuk mendapatkan sesuatu. Bukan hanya duduk manis di depan laptop lalu berselancar sesukanya, tak perlu banyak pikiran.

Ah, lagi-lagi saat kerinduan ini datang, aku harus tega membunuhnya dengan mengacuhkannya. Menganggap segalanya hanyalah rotasi waktu yang berjalan sesuai garis edarnya, dan suatu saat nanti akan kembali lagi pada titik asalnya menjadi sebuah kenangan biasa-biasa saja, ingatan ulang tahun.

Bukankah pernah kubisikkan pada semilir angin Gunung, atau pada gemerisik air di sungai dekat jembatan, bahkan pada anjing yang melolong tengah malam, bahwasanya suatu saat nanti, perlahan tapi pasti, aku akan meninggalkan kalian disini, dan kita akan bertemu lagi entah pada episode mana lagi.

Ah, aku hanya bisa menebak, betapa simpelnya sebuah pertemuan dan rumitnya perpisahan, yang kadang membuat hilang akal waras untuk beberapa saat.

Masih dalam memori seminggu yang lalu, tepat jam segini, aku mencurahkan segalanya, masih terpampang nyata dalam girus ingatan.

Ah, acapkali sesaat sebelum bangun tidur aku tersentak. Terbayang wajah-wajah mereka, ibu dan abak Gunung juga 12 laskar merah maroon.

Entah sampai kapan, cerita kita adanya akan bertahan. Entah pada malam, bintang, atau bulan yang mana cerita kita akan berakhir.