Sabtu, 26 Juli 2014

Cerita Kita (Part 1) Dini Hari Nan Dingin



Hanya ada satu malam, satu bintang, dan satu bulan. Ini bukan tentang sesuatu, tapi tentang cerita kita adanya. Banyak hal bodoh yang terjad dan berkecamuk sendiri dalam hati. Tapi di luar sana tetap saja berusaha untuk bersahaja, menjadi sesuatu yang luar biasa. Padahal, di dalam entah seperti apa.

Dalam puing-puing kata, tersemat sejuta rasa. Sihir untaian kalimat demi kalimatnya yang mengalir deras begitu saja, membangkitkan lagi perasaan tak menentu. Ingin kuakhiri saja semua ini, tapi aku berada dalam posisi yang salah. Bukan apa-apa, bukan aku menyalahkan suasana, atau tak berpikir tentang logika. Hanya saja aku yang kurang beruntung, terjebak sendiri dalam ketidakpastian, salah karena membiarkan segalanya terapung, tercabik dalam asa.

Percikan asa tercerai berai, riuh rendah sorak sorai terpecah belah, melambung tinggi ke udara, terbang disapu angin, tenggelam dalam percikan air embun dini hari. Aku termangu sendiri, menyadari yang hilang.
Bukan cerita namanya jika tak ada yang hilang. Setiap kenyataan yang tampak, akan ada kehilangan walau secuil. Sejarah pun telah membuktikan, betapa sulit mengumpulkan cerita lama yang termakan zaman, terserak begitu saja dalam kehidupan manusia. Betapa banyak sejarah yang faktanya diputarbalikkan semata demi kepentingan elite tinggi. Ah, dunia, selalu saja begitu.

Cerita kita, ya, cerita kita lagi. Masih berbusa-busa dengan cerita. Tersusun rapi dalam arus waktu, tertata indah dalam kotak kehidupan. Ditambah ketawa disana sini, bernyanyi apa saja asal bisa. Abadikan momen dalam foto-foto. Kisah biasa saja yang disulap jadi luar biasa. Aku terpaku lama, membayangkan betapa kerasnya kehidupan. Butuh pengorbanan untuk pembuktian, butuh kesabaran untuk kebersamaan, butuh lawan untuk bisa jadi kawan. Bukan cerita yang asli adanya, mengalir begitu saja seperti air.

Dan kini masih saja sama. Ada cerita lain dalam cerita kita. Ibarat dia dan mereka, aku, kamu, dan kita bersama. Ada satu hati yang menyatu, ada raga yang bersama tapi tak bermakna. Ada senyuman palsu yang terpasang, ada gelak riang yang tertuang demi pembuktian jati diri masing-masing. Sifat dasar manusia yang butuh pengakuan dalam komunitas.

Mereka sama, kami sama, merasakan kedinginan malam disusupi panasnya bara api unggun. Nyalanya aneh, berpendar-pendar puing beterbangan. Indah tapi menyakitkan. Kumainkan saja sedikit bara api perlahan menusuk kulit, panas, meleleh di tangan. Biarlah jagung saja yang terbakar, jangan biarkan fisik bahkan hati terbakar aroma neraka kecil.

Biarkan, yang merasa kreatif dengan idenya. Tapi membiarkan temannya sendiri tenggelam beberapa hari dalam ketidakpastian. Membiarkan yang lain menjadi korban hati yang menyakitkan, salah paham teramat lagi.
Biarkan, yang membuat poros kehidupan lain. Merasa pahlawan menjadi sesuatu yang beda, tapi tak menenggang pada mereka yang terbawa duka, hanya mampu menangis dalam hati saja. Ingat kawan, betapapun kerasnya kehidupan, lebih teramat keras nada-nada sumbang yang terdengar di telinga. Lebih menyakitkan daripada kata-kata kasar yang terucap, yang akan hilang sesaat meski meninggalkan kesan lama, bahkan seumur hidup. Biarkan kreativitas mereka saja untuk menyampaikannya tanpa menyinggung yang lain. Bukankah kita diberi logika dan hati untuk sama-sama merasakan yang alur dan patut?

Cerita ini barangkali berakhir dalam formalitas belaka. Tak akan pernah berakhir selama badan masih bersama jiwa. Tentang kita, mereka, dan kita semua. Bukan bumbu pemanis yang aromanya bisa kucium jelas. Sekedar beretorika atau menjadi yang utama, hanya dia yang tau jawabnya.

Gamang, emosi, dan semua rasa bersatu padu, bercampur sesukanya. Hal yang tak logis lagi dalam pikiran kadang muncul menganak sungai. Kalau bukan kita yang berkeras-keras pada diri sendiri, lantas siapa lagi. Daripada terombang-ambing dalam gelombang pemecah sunyi.

Cerita ini hanya cukup sampai disini, kita akhiri saja saat ini. Muncul lagi ide untuk membuang semuanya, menguap begitu saja perbincangan kita malam ini di udara. Ada lagi keinginan membakar dan menguburnya dalam-dalam, tak berbekas. Intinya, tak lagi nyata di mata.

Biarkanlah saja, semua kalau terjadi memang akan terjadi. Kadang kita terlalu lebay menyikapi sesuatu hal, bahkan berlebihan dalam mengambil peran poros kehidupan. Tak ada satu pun kesamaan manusia bahkan anak kembar identik. Bukan kita saja yang berperan, tapi kita semua.

Tidak ada komentar: