Setelah melewati waktu-waktu yang hectic, finally, i can do it. Ya, meski di awal semangat itu membara. Aku membaca ayat-ayat cinta tentangnya. Tak perlu beberapa kali, cukup sekali, dan ditanya beberapa hari kemudian, masih terselip dalam ingatan. Tanpa beban, tanpa rasa keberatan, semuanya terjalani karena sukarela.
Hey, betapa waktu yang sedikit itu sangat berharga! Andaikan bisa kutepis segala rasa mengulur waktu, kan kutamatkan ayat-ayatnya. Andai saja aku tak terlena dengan waktu yang santai sesaat tanpa beban fisik dan mental, akan kugenggam cahaya cintanya, seerat mungkin, sebanyak mungkin. Tapi itu andai. Masih berandai-andai.
Dan pada waktu jugalah akhirnya rasa ini terselip. Terhimpit. Jatuh tersungkur karena tak mampu merasa lagi. Saat jiwa lelah dengan segalanya. Saat raga tak lagi mampu menolak ketidakadilan rasa. Saat itulah, kekokohan hati teruji nyata. Senyata yang terasa saat itu juga.
Aku menangis, tak sanggup menjalani ayat-ayat cinta yang terkikis karena penggabungan yang entah. Aku lemah, memang. Terlalu memikirkan banyak hal. Terlalu rumit. Dan saat aku kembali, tampaklah kerapuhan itu semakin menjadi-jadi.
Hey, sungguh jiwa yang menggoncangkan jiwa. Sungguh jiwa yang memaksa ingatan kembali ke masa lama. Membuatku teringat masa lalu, saat semuanya terasa sulit. Saat memulai lafal tak lancar. Saat memulai suara tak terpapar.
Aku hanyalah rintik air di dedaunan.
Hanya setitik debu di tepi pantai.
Juga sebutir embun di kaca buram.
Tapi aku ingin, kelak jiwa yang sunyi ini bisa bertahan dalam keutuhan. Tak roboh karena terpaan angin semata wayang. Tak hilang karena hembusan topan.
Hanya ingin menjadi diri sendiri. Dan masih berusaha untuk tetap istiqomah dengan yang ada pada diri sendiri.