Selasa, 29 Desember 2015

Kill Him

Rasa2nya tadi itu hampir meloncat emosi. Lantaran orang yang sok tahu, tak melihat dengan matanya sendiri apa yang dikerjakan orang lain. Hanya pandai memerintah saja. Padahal kalau matanya sedikit jeli, pastilah dia tahu sudah kali kedua aku melakukan hal itu. Dan dia, dengan gaya parlentenya yang tinggi menyuruhku lagi melakukannya.

"Hello, kemana aja dari tadi?" cercaku dalam hati.

Secara, hari sudah tengah malam. Sudah banyak hormon melatonin yang tersia2kan. Kortisol juga sudah menurun. Apalagi endorfin. Semakin pupus.

Ditambah lagi orang, yang entah siapa, mencoba mengatur kehidupanku. Okay, jika memang dia punya wewenang atau setidaknya bertanggung jawab. Tapi ini? Nggak ada hubungannya sama sekali.

Ya, mungkin sensitivitas malam ini meningkat berlipat2. Yang awalnya hany ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat, eh, malah disusupi aroma menyengat. Apa boleh buat. Matanya terlalu gatal untuk tak berkomentar. Apalagi di tanganku, yang penuh alat dan sudah memerah pekat. Mau lah di kata apa. Tak bisa melakukan seperti yang dia mau. Dan tak seharusnya pula dia berkata seperti itu. Mengkritik atas ketidaktahuan dia sendiri. Dan itu teramat sangat menyakinkan bahwa hanya untaian kekosongan yang ada dalam kepalanya. Kecamuk di jiwanya yang sudah tak tahan lagi untuk dikeluarkan.

Sabar saja. Bahkan yang berwenang atas waktu kami yang lama ini saja, memakluminya. Yang bahkan kecepatannya di atas dia yang merongrong usaha seseorang, sangat jauh, kalah. Biarlah. Masih segar dalam ingatan, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.

Sudahlah. Tak perlu menambah banyak ingatan tentangnya. Hanya menambah luka sukma. Sadari saja, sesuatu yang tak membunuhmu akan menguatkanmu. Itu saja.

Pre- Syndrome

Hanya ada satu cara untuk mewujudkan semua mimpi. Dia datang silih berganti dalam setiap detik waktu. Tanpa menunggu. Terlintas sejenak dalam benak. Kilauan cahaya yang masuk ke dalam mata menambah asa. Berada kembali di tempat2 penuh pengharapan, seolah membangkitkan cerita lama. Saat dimana, begitu kerasnya keinginan menjadi.

Hanya ada lorong-lorong waktu yang membersamai. Kata-kata tanpa arti. Sejumput ingatan membakar, nyeri. Entah sampai kapan, luapan rasa itu akan berhenti. Hanya Dia yang tahu pasti.

Hey, bukankah sudah kukatakan. Tak baik terlalu suka bawa perasaan. Sesekali perlu rasanya mengacuhkan keadaan. Jangan semua hal yang dikatakan orang dimasukkan ke dalam dada. Apalagi tentang kita seperti apa. Ingatkah, cerita tentang seorang bapak dan anaknya yang berjalan dengan seekor keledai melintasi negeri. Tak peduli siapa. Kenal tidak. Setiap kritik dan cibiran akan datang. Entah membangun, entah meruntuhkan. Terserah kita.

Hey, ingatkah? Beberapa tahun silam saat tangis sesenggukan itu datang begitu saja. Kecewa akan pengharapan yang tak berkesampaian? Masih ingatkan? Terbalut dalam baju kuning berbunga putih, dan koin 500 perak yang menghancurkan lem yang mengeras di sudut2 tempat tidur. Menganak sungai air mata banjir. Ah, sudahlah. Ingatan itu datang sepintas lalu. Begitu saja.

Aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. Saat ini. Hanya tak bisa membayangkan, sejak kapankah rasa itu mulai berubah. Aneh. Tak tahulah. Menggampangkan segala hal, termasuk perasaan.

Minggu, 13 Desember 2015

Nothing

Rasanya sudah lama sekali, nggak nulis. Nggak cerita. Akhir-akhir ini terlalu sering mengeluh. Banyak godaan. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran, namun hanya terlewat begitu saja. Hanya sepersekiannya saja yang dinyatakan. Selebihnya, hilang, ditelan kegelapan.

Padahal, baru beberapa saat yang lalu berdeklamasi dalam hati ingin menulis everyday. Apapun yang terjadi, harus nulis apapun dan dimanapun, pokoknya setiap hari ada. Asal gak ada tsunami atau apapun musibah yang melanda, bahkan sepatah hati dan sehabis sehilang apapun mood hari itu, harus tetap nulis. Yap, hanya menulis dan setiap hari, sulitkah?

Sulit memang. Apalagi kalau belum memantapkan hati 100% untuk itu. Berupaya sajalah untuk selalu ingat tanpa perlu diingatkan. Entahlah. Kadang perasaan yang tak menentu, memaksa hati untuk tak berbuat sama sekali. Miris.

Ah, entahlah. Sehabis sehilang apapun ditelan kesibukan, setiap kali menulis, setiap itu pula berkurang beban di hati. Ada rasa yang terobati. Ada rindu yang tersampaikan. Sungguh membuat hati menjadi lebih tenang. Power of writing.

Keep menulis saja, mencari inspirasi. Menulis sama saja dengan menarik nafas dalam (inspirasi), dan melepaskannya dalam-dalam. Lega rasanya. Selega melepaskan beban berat yang berkesangatan.

Mencoba-coba menghibur hati yang tak kentara karena tak mampu mengobati penat hati. Lega sekali. Rasanya tak mengapa, mencoba menghibur diri. Beberapa saat tidak menulis, dan baru memulai lagi saat ini. Membuat setidaknya perasaan yang berkecamuk tadi menghilang.

Tak mengapa juga tak punya waktu untuk membaca buku lain. Bukan bacaan yang everytime wajib dibaca berulang-ulang dan dipahami bahkan dihafal. Tapi buku lain yang menutrisi jiwa dan raga.  Tak mengapa. Asal bisa mencurahkan jiwa, rasanya cukup sudah.

Its nothing right now, right??

Hanya ingin melukiskan keadaan jiwa di tengah malam yang dingin ini. Sunyi dalam keramaian. Lengang dalam kebisingan. Kadang butuh me- time juga. Dan ini membuat dunia kita terkadang terpisah dari dunia luar. Hanya aku dan beberapa orang dengan tipe yang sama saja, yang bisa memahami.

Rabu, 09 Desember 2015

Today Wanna

Pagi2 sekali. Rasa malas itu kembali muncul. Dialah syndrome. Sekumpulan gejala yang hanya terjadi pre dinas. Segala ketidakpastian membuat diri ini sulit melangkah. Ini bercerita tentang kisah orang yang tidak dapat disebutkan namanya. Hanya menceritakan kembali.

Pagi2 sekali sudah sibuk dengan kegiatan. Masih subuh. Harus berangkat jam 6 lewat sedikit. Geges2 mengejar ketertinggalan dan ketidaktahuan. Mencari data2 apapun itu. Meski lelah, ya, saat semua berakhir terasa puas.

Bagi seorang perfecto, sulit rasanya menerima kecairan. Apalagi menghablur, melebur. Lagi2 seperti itu. Sempt bercokol dal pikiran namun sulit diinterpretasikan lewat kata2. Dan saat itu semua terlambat, hanya kesal yang muncul. Begitulah.

Lambat laun, air muka tampak merana kehidupan. Tak mau tidak terpikirkan. Tak ingin tidak peroleh kebaikan. Ingin menjadi yang lebih dan lebih lagi dari hari sebelumnya. Tak ingin lagi berpasrah diri. Menyerah pada keadaan.

Siang segalanya selesai. Detik2 menjelang dinas terasa malas. Tebal dan empuknya spring bed mess membuat malas bergerak. Nyaris gagal move on. Tapi apalah daya, demi tugas, ya, harus rela berkecimpung disana.

Sepi dan lengang. Benar2 penjaga gawang yang handal. Dari sekian banyak yang masuk, hanya 2 atau 3 saja yang kami tunggu2 kkedatangannya. Tak ada tindakan. Pasrah sudah rasanya.

Tapi tak mengapa. Melihat yang lain sibuk dan melayani bagaimanapun tipe pasien, ya, setidaknya cukup membuka cakrawala berpikir bahwa banyak sekali hal yang perlu dipikirkan. Tak sebatas yang ada dalam pikiran. Makanya, perlu belajar giat dan melatih kecepatan dalam asosiasi. Hmm....

Detik2 menjelang pulang malam, barulah ada 1 pasien yang post KLL. Detik2 yang membuat bahagia. Setidaknya lelah dan jenuh menunggu terobati. Kami dapat tindakan hecting, sambil melatih kelihaian tangan bermain dengan benang dan jarum hecting.

Ya, apapun yang terjadi hari ini memang tak ada yang kebetulan. Semuanya sudah direncanakan. Termasuk hal2 yang rasanya tidak mungkin.

Just keep ur feeling on the right place.