Selasa, 29 September 2015

Love this Morning

Hei pagi! Masih berkaca2 dalam reruntuhan embun yang menyelimuti bumi. Masih terngiang dinginnya hari, masih terlintas di pikiran aroma teh wangi, juga sepiring nasi dengan telur dadar yang semburat asapnya mengepul. Semangat pagi!

Hei teman! Bisikkan padaku sejuta kata indah. Kata penyemangat jiwa. Agar semangat kita kekal, setidaknya untuk hari ini. Saat pikiran masih pada tempatnya. Saat keberadaan masih dirasa kesyukurannya. Saat tak perlu lagi merasakan dengan sebenarnya rasa akan arti kehidupan itu sendiri.

Cukuplah bernapas lega. Menghirup udara pagi nan lengang bercampur butir air salju. Tanpa ada kesusahan, tanpa ada rasa jerih payah dalam melakukan. Cukuplah. Itu sudah cukup membuat kebermaknaan hari nan elok di pagi ini.

Cukuplah dengan memperhatikan. Ke sekeliling kita nan tiada berkeluh kesah. Hanya semilir angin lembut yang menyapa, membawa kedamaian tak terkira. Cukup sudah.

Aku dan setitik embun yang runtuh ke bumi. Aku dan setitik kawan yang menyemangati, aku dan setitik cinta yang datang mengikhlasi. Dalam tiap diri, jiwa, dan cinta. Bersemai semangat nan indah. Bertahanlah. Kelak kan kau temukan rasa lain yang jauh bermakna.

Maka tak salah. Saat gurutta berkata, saat kehilangan banyak mendapat, dan saat mendapat justru kehilangan. Begitulah manusia. Rumit, seperti choconest, sarang tempoa sarang paling rumit sedunia. Begitu juga dengan hati. Ada kalanya sunyi. Seperti emptynest, sarang kekosongan. Seolah kehilangan menjadi akar kerumitan. Seolah kehilangan menjadi muara kesedihan.

Bahagia itu sederhana.

Senin, 28 September 2015

Menghitung Hari

Terinspirasi dari gurutta, yang begitu bijak dalam menyikapi kehidupan. Tak ada rasanya kata2 tak bernas yang keluar dari mulutnya. Bahkan diamnya, menenangkan jiwa bagi siapa saja yang menatapnya. Ah, begitu luar biasa. Bahkan merasa bahwa dia ada di sekitar saja, sudah cukup membuat rasa nyaman dalam hati.

Begitulah, bernilainya seorang ulama di tengah2 masyarakat. Ulama yang benar2 menjadi teladan umat. Menjadi suluh bendang dalam nagari. Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito. Ya, seorang yang berilmu dan beramal. Begitulah luar biasa pengaruhnya.

Kalau menghitung2 diri, mengukur bayang2, sejauh mata memandang, masih banyak kekurangan. Disana sini, banyak sekali yang kurang. Menyadari, tapi belum sepenuhnya menyadari.

Sedikit demi sedikit, kelak akan jadi bukit. Menabung kebaikan, hari demi hari, menabung semangat, menabung motivasi, menabung ilmu dan amal. Sedikit demi sedikit, rutin. Biarlah berjalan pelan, asal sampai di tujuan. Daripada tidak berjalan sama sekali, atau bahkan berjalan teramat cepat, lalu terhenti. Ah, jangan lagi.

Begitu juga menyikapi makna hidup. Ada harga yang harus dinilai, ada rasa yang harus dicicipi. Ada rindu, benci, cinta, kasih sayang. Ada semangat, motivasi. Kadang juga ada penyesalan. Tapi begitulah, itulah hidup.

Dan ya, harus berkutat lagi dengan simfoni kehidupan yang menitikberatkan pada rutinitas. Pengulangan2 yang terjadi saban hari. Jalani dengan warna-warni hari.

Ah, gurutta. Kalau saja, setiap guru yang kutemui seperti beliau pembawaannya. Selalu menginspirasi tiada henti. Kehadirannya selalu dinanti. Cerita2nya selalu menggugah jiwa, anak2 menyukainya. Karakter yang kreatif, kepribadian yang mumpuni.

Kamis, 24 September 2015

Edisi Idul Adha

Edisi idul adha kali ini. Lebaran atau lebar an. Gak nyampe-nyampe juga sepertinya lebar an. Mesti irit, mesti hemat. Maklum, masih anak sekolahan. Masih berlindung di bawah orang tua, belum juga berdikari. Huuft, setidaknya berhematlah. Asal nggak jatuh sakit aja....

Lebaran kali ini, nggak melebar ke kampung halaman. Nggak nyampe. Ya, gitulah. Pengorbanan anak sekolah di perantauan. Nggak bisa pulang. Apalagi kalo sekolahnya menuntut harus stand by di sekitar kota padang, alias jadi tahanan kota. Gitu sih kata sesepuh yang udah melalui siklus ini. Yah, jalani sajalah.

Nggak apa. Its okay, keep smile. Baru kali ini juga sih lebaran nggak di kampung halaman sendiri. Ya, berasa ada aja yang kurang gitu. Biasanya sih, pagi2 banget mama udah ngasih tau tu, nggak boleh makan. Puasa dulu, bukanya pas siap solat ied. Pagi2 udah kedenger takbiran bersahut2an dari mesjid di belakang rumah yang jaraknya cuma sejengkal. Pokoknya rame lah. Berasa banget hari rayanya. Nah, disini, cuma kedengar sayup2 sampai dibawa semilir angin yang bertiup kering. But, ya bersyukur aja. Nggak pun jelas, stel radio ada takbiran yang tetep kenceng. Suka2 aja berapa volumenya. Maklum juga, just alone di kosan. Yang lain udah pada pulkam, hiks.

Tapi nggak totally alone juga. Ada temen seorang. Sama dialah aku pergi solat ied, agak jauh makanya naik motor. Hampir aja telat, coz disini ternyata mulai solatnya pagi banget ya. Jam 7.20 udah mulai. Kalo di rumah sih biasanya jam 8 baru bener2 mulai solatnya. Untung aja tiba pas bgt, dan masih ada tempat.

Fix, pulang solat ied cus cari makan. Susah juga, habisnya semua pasti pada lebaran. Banyak toko dan kedai tutup, agak jauh nyari makan. Berbekal feeling kalo di sekitaran rumah sakit pasti ada yang jualan, maka dapatlah terisi lambung ini. Meski dalam hati ada sedih juga, teman2 yg punya ibuk kos nggak perlu susah2 nyari makan, dapet lontong lebaran soalnya. Hmmm...

Fix juga, do all with love. Bernostalgia dengan gema takbiran dari radio, karena nggak ada lagi hiburan lain. Perintang hati tepatnya. Ya sudahlah, agak random ya. Hha. Lain kali nulis yang lebih bermutu lah.

Sebenarnya nggak ada tujuan apa2 sih. Cuma saling mengingatkan aja, bersyukurlah gimanapun keadaannya. Yang lebaran sama keluarga, bersyukur banget bisa ngumpul. Yang nggak bisa pulkam, bersyukur juga bisa solat ied sambil menikmati suasana baru solat yang nggak seperti biasanya. Yang nggak bisa solat karena dinas atau hal yang bener2 nggak bisa ditinggalkan, ya bersyukurlah, karena sudah ada niat baik dalam hati, tetap dapat pahala insyaallah.

For the point, keep gratefull. Udah, itu aja sih.

Selasa, 15 September 2015

Dry Drowning

Selasa ini, tidak seperti Selasa-Selasa sebelumnya. Berada di stase forensik sudah masuk minggu ke tiga. Yah, begitulah. Banyak sebenarnya yang bisa dibaca, dipelajari, dan dijadikan bahan untuk menciptakan imajinasi dan mengasah. Apalagi disini, banyak waktu yang tersedia, kalau bisa sih ya bisa terbit beberapa tulisan. Yaks!!!

Post dinas. Ada 2 korban yang dikonsulkan. Dan keduanya datang pagi-pagi sekali. Lagi-lagi serangan fajar beraksi. Membuat kaki gamang berdiri. Tapi, apapun itu, akan kujalani. Demi koas forensik yang berdedikasi. Hmm....

Ada yang tidak biasa di siang ini. Dan feeling itu  sudah muncul sejak malamnya. Dry drowning, referat yang pertama kali di acc, walau aku berada di urutan kelompok terakhir. Kalau demi intuisi dan feeling, rasa-rasanya memang kelompok kami yang akan tampil. Asalkan tak ada angin, hujan, badai, petir, apalagi kabut asap. Kalau tak ada penghalang kehadiran, InsyaAllah, hari ini akan ada penampilan referat. Dan kemungkinan, walau katanya di lot, yang tampil mungkin ya tentang dry drowning. Ah, apa sih.

Terjadilah, maka terjadi. Presentasi, lalu tanya jawab. Setelah itu, ya, diskusi. Ah, benar-benar diskusi yang singkat tapi padat sangat. Dan, tak terpikirkan, karena emang nggak nemu di bahan bacaan. Hanya eksklusif live dari ahlinya.

Jadi, dry drowning yang selanjutnya disingkat dengan DD tu adalah diagnosa keranjang sampah. Hah?! Kok bisa? Ya, bisalah.

Jadi begini. Pada saat nemu korban tenggelam di air, gimana sih cara nentuinnya apakah dia mati karena wet drowning atau dry drowning?

Kalo ada tanda -tanda asfiksia yang terjadi cukup lama, itu patognomoniknya wet. Kalo dry kan terjadi kematian yang tiba-tiba sangat. Gak ada mekanisme asfiksia yang terjadi agak lama, gitu loh.

Trus pada pemeriksaan toksikologi gak nemu apa-apa, riwayat sakit gak ada, periksa tanda asfiksia juga gak ada, pokoknya setelah lakuin usaha apapun, gal nemu penyebab tenggelam, ya udah, langsung diambil kesimpulan kalau dia mati karena dry drowning.

Intinya, kalo gak nemu apa2, atau bahasa kerennya tidak ada temuan pada kasus tenggelam, bisa disimpulkan itu karena dry drowning. Penyebab kematian tetap dibikin karena tenggelam, cuma mekanismenya yang sulit untuk dijelaskan, alias diagnosa keranjang sampah si dry drowning itu.

Oke2. Syudah selesai. Its just a share of a little part. Maaf agak nyampah. Soalnya, mau meluapkan perasaan aneh aja. Semoga aja yang baca gak merasa... Peace 😃😃😃

Senin, 14 September 2015

Waiting

Always waiting, no more doing whatever you shoulda do.... Ah, ada-ada saja. Setelah kemarin dapat hot shock, finally, pikiranku bercabang tak karuan.

Ah, tak apalah. Lelah dengan pemikiran panjang daripada tak pernah berpikir sama sekali. Biarlah. Daripada membiarkan diri terliputi tak bertepi. Biarlah. Kelak lelah, membuat rasa rindu yang aneh. Rindu dengan lelah.

Saat kepala terasa panas, wajah, dan muka. Saat tangan mendingin, respon tubuh yang terguling dalam pikiran jemu. Takut dan was-was menghadang. Anxietas. Kelola sajalah. Lelah, memang. Terbawa hati, perasaan. Tapi itulah dia.

Ah, makna lelah. Teramat lelah untuk mendefinisikannya. Biarlah jiwa-jiwa yang lelah, yang akan menghadapi lelah, dan yang telah sembuh dari lelah, yang akan merasakannya.

Sabtu, 12 September 2015

Totally Weekend

Setelah sekian lama bergulat dalam waktu-waktu yang sulit (hard time), finally, tibalah saat yang seperti ini. Yaks, long weekend.

But, ada-ada saja keanehan yang terjadi. Dalam hal kenyataan atau yang terasa di hati. Menghabiskan waktu dengan berleha-leha. No productive at all. Itulah, tersasar dalam comfort yang membunuh perlahan-lahan.

Diperturutkan lama-lama, ada perasaan yang tak enak. Padahal, kau tahu, kewajiban lebih banyak dari waktu. Dan sudah tahu seperti itu pun, masih saja malas. Beranjak dari tempat tidur, pokoknya, bergerak saja. Walau pelan.

Ah, benar-benar lah. Kurang mensyukuri kondisi. Waktu sibuk, dalam hati selalu mendambakan waktu kosong barang sehari saja. Dan kalau dapat pasti termotivasi sekali untuk menghabiskannya dengan hal-hal yang produktif. Semisal, membuat tulisan, membaca buku untuk nambah wawasan. Pokoknya, hal-hal yang gak bisa dilakukan selama sibuk.

Dan ternyata, lihatlah yang terjadi. Waktu senggang pun harus terbuang percuma. Demi menyadari dan suka mengundur-undur waktu. "Ah, masih ada hari esok, masih santai, masih libur," nah, begitu. Lantas, kalau seperti itu terus, kapan berkembangnya?

Dunia nggak selebar daun kelor sayang....

Saat mata masih terpejam, saat itu ada seseorang, yang entah dimana, masih terbuka matanya, menatap serius tulisan di buku, di laptop, menulis mimpi-mimpinya, dan mewujudkannya.

Saat mata kita mulai terbuka, saat itu seseorang yang entah dimana, tersenyum menatap kesuksesan yang telah dicapainya, hasil usaha kerasnya.

Ah, sukses. Di mata orang terlihat seperti fenome na gunung es.

Hanya sedikit yang tampak, yang muncul di permukaan. Padahal di dalamnya, lebih parah lagi, entah sudah berapa kali jatuh bangun dan gagal yang dihadapi.

Semakin keras diasah, emas semakin berkilau.
Semakin lama diasah, batu akik semakin licin dan memukau.

Ah, ini hanyalah sebuah tulisan untuk memotivasi diri sendiri. Agar jangan lupa dengan masa lalu, jangan mudah terlena dengan comfort zone. Masih banyak yang harus dikerjakan, masih banyak yang harus dibenahi. Dan masih banyak lagi,,,, cant talk here.

Senin, 07 September 2015

Dream

Minggu malam hingga Senin pagi. Just stay @homesick. Bukan rindu kampung, tapi arti kata yang memang menunjukkan rumah sakit. Siapa tau, ya. Dinas malam, @4n6. Dinas setengah hari, bukan, setengah malam. Tengah malamnya ada pasien. Just one. Hanya satu. Pasien KLL.

Bikinlah VeR sementara, foto2 luka pasien, konsul, dan selesai. Just in some minutes. Agak lama mungkin, mengatasi kantuk mata, fokus yang sudah hilang entah kemana, dan lainnya. In one case, finished.

Kembali ke laptop. Rencananya sih mau berselancar sejenak di dunia maya, lalu melanjutkan baca novel Dan Brown. Ya, buat membangun intuisi penasaran, imajinasi, dan detektif-an. Ah, benar saja. Baru beberapa helai membaca kalimat pembukanya, mata sudah berat. Kering kerontang. Tak tahan dengan AC yang membuat dehidrasi tears film mata.

Alhasil, go to sleep. Tidur, di atas lantai. Antara tidur dan mimpi, ada sebuah dream yang cukup aneh. Di antara keributan langkah kaki orang yang mondar-mandir di kamar koas. Di antara suara-suara CTG yang bersahut-sahutan seperti gendang, dan di antara suara tangis bayi baru lahir tepat di sisi depan dari kamar koas yang itu adalah bagian obgyn.

Dan mimpi aneh itupun dimulai.

Berawal dari aku yang masih berhutang air mineral di HCU interne. Entah sengaja atau tidak, aku merasa, dini hari itu juga, aku bergegas kesana. Untuk membayar hutang, sekalian jajan. Secara, perut sudah mulai kelaparan. Tak tahu lagi mau jajan dimana.

Disana bertemu Rena yang sedang dinas HCU. Kami bercakap-cakap sebentar, lalu aku ke kamar perawat. Membayar hutang, sekaligus membeli minum. Setahuku, disana hanya ada minuman. Tahunya, ada juga kue coklat, dan bola-bola coklat. Ah, coklat. Mengingatkan pada seseorang penggila coklat.

Aku beli, dan langsung bayar. Sudah kuhitung-hitung berapa uang yang harus kukeluarkan. Tiba-tiba saja ada anak kecil menangis, entah datang dari mana. Uni perawat bilang, aku mengambil kue coklatnya. Ah, masa iya, sebanyak itu coklat di dalam lemari pendingin, kenapa aku harus mengambil coklat miliknya.

Dia terus saja menangis. Tak rela coklatnya kugamit. Dan langsung saja aku tersadar, bangun. Thats just a dream. Wait,,, tunggu dulu. Masih ada suara tangisan. Ada suara bayi yang menangis kesakitan. Entahlah. Antara mimpi dan kenyataan. Kudengar lamat-lamat, suara tangisan itu benar adanya. "Ah, aneh sekali," pikirku dalam hati.