Jumat, 23 September 2016

Heart beat

Ini mungkin sulit, tapi harus tetap dijalani. Inilah kehidupan. Tentang menerima atau tidak. Kadang bisa memilih. Tapi sebagian besar itu adalah sebuah keharusan. Suka maupun tidak.

Ini mungkin berkelit. Saat hati nurani tak semata harus ikhlas menerima. Menjalani sebahagian lika-liku kehidupan. Menjadikan kita pribadi yang baru.

Terhenti sejenak dalam bilik peraduan. Terhenyak dalam ruang dan waktu yang berhenti mendadak. Hampa. Ribuan emosi berkumpul, berdesakan dalam satu jiwa. Tinggal menunggu kapan waktunya. Meledak dan berhamburan.

Inilah cerita ringkas kehidupan. Menjalani sajak-sajak penantian dalam pengharapan. Bukan apa-apa. Kita hanyalah merasakan desiran emosi yang meluap. Tak kuat menghadapinya, sebuah kegagalan yang tak direncanakan.

Kita ditempa terus. Menjadi tangguh. Mengalahkan waktu dan nafsu. Mengalahkan kemalasan yang jika diperturutkan malah menjadi candu. Dan itu beradu dalam ruang dan waktu.

Selasa, 20 September 2016

Sajak-sajak Penantian

Rindu kami padamu~ ya Rasul
Rindu tiada terperi~
Berabad jarak darimu~ ya Rasul
Serasa dikau disini

Bergetar rasanya hati saat menyenandungkan lagu ini. Always. Entah kenapa, suasana hati juga berkata demikian. Bukannya aku sedih dengan keadaan yang ada. Tapi inilah yang sedang kuhadapi. Inilah jalan hidup yang kulalui. Suka duka di dalamnya. Telah digariskan olehNya.

Ada rasa yang harus dibuang jauh-jauh. Meski rasanya itulah untaian emosi yang sangat cocok untuk saat ini. Tapi dengan itu, aku merasa semakin tak berdaya. Maka harus kutepis dan kulupakan sebisa mungkin.

Inilah yang harus kuhadapi. Menjadi tangguh bukan sebuah pilihan, tapi keharusan.

Menjadi sabar, bukan sebuah keharusan, tapi kebiasaan.

Rasa yang tak harus tergenapi dalam keterbatasan yang dimiliki setiap orang. Setiap orang berhak merasakannya, dan memilih jalan hidupnya masing-masing.

Menjadi tergenapi juga, setiap jalan pikiran yang muncul di sela-sela arus deras jalan panjang kehidupan itu sendiri. Entahlah. Aku tak berusaha untuk menanggapi. Hanya ingin terus menjadi berarti. Mengartikan setiap waktu yang ada dalam relung-relung penantian yang tak pasti.

Hingga kini, dan bahkan nanti. Menjadi apapun, terekam dalam jiwa nan sudah tercermati.

Hingga kini atau nanti, tetaplah demikian.
Sajak-sajak penantian~

Selasa, 13 September 2016

Its hard to believe, but

Aku harus menyadari, ada bom waktu dalam hidupku. Dan aku harus bersiap-siap menghadapinya. Tentang masa depan yang masih ambigu. Tentang pengharapan yang tak melulu berbicara tentang keinginan.

Siapapun punya sesuatu, entah itu apa. Entah itu ada atau tidak. Entah itu terucap atau bahkan hanya terpikirkan di dalam hati. Walau memang, kehidupan ini tak selamanya berjalan mulus. Tak selamanya sesuai dengan keinginan. Aku hanya ingin menjalaninya dengan baik. Lantas, pada apakah harapan itu tergantung?

Manusia, kebanyakan tak bisa bersabar. Diuji dengan sedikit ketakutan, kekurangan, menjadi paling merana yang ada di dunia. Padahal tak harus demikian. Ada banyak jalan ke rumah. Ada banyak cara untuk menyikapinya. Entah itu harus diterima dengan berbenar-benar rasa. Walau tak kunjung juga ia ada. Walau tak kunjung juga ia ada dalam nyata. Hanya bersabar dan berbesar hati menerimanya. Sebab tak ada kesedihan yang abadi, begitupun dengan bahagia. Hati-lah yang menjadi pelipur lara. Hati-lah yang menyadari bahwa semuanya bisa dijadikan rasa. Dan itu terserah anda.

Aku harus berani memantik sendiri rasa dan upaya yang ada. Bahkan tak mengapa. Menjadi cerita yang mungkin sulit, tapi inilah adanya. Menjadi cerita yang tak berkesudahan, walau tak ada yang merasakannya. Hanya hati-lah yang merasa.

Dan sekali lagi. Bukan karena kita tercipta dengan seribu alasan yang ada. Kita ada hanya karena kitalah yang mampu memutuskan setiap lika liku kehidupan. Tak peduli apa. Aku tak butuh apapun dari mereka, hanyalah rasa dan beberapa kebiasaan yang seakan menjadikan ini semua tak berdaya.

Tak ada yang bisa kupastikan saat ini. Hanya memastikan bahwa aku akan berusaha semaksimal mungkin. Bahwa garis kehidupan ini barang sedikitpun tak kurasai. Hanya kujalani. Dan itu terasa hampa, sungguh. Dan entahlah apa, atau siapa, yang akan memberikan rasa padanya. Padahal apapun yang takkan berarti. Aku akan berusaha, seperti apapun caranya. Dan begitulah seharusnya.

Rabu, 07 September 2016

Seriously

Aku sungguh rapuh. Maka kuharap, saat aku rapuh, takkan menjadi bulir-bulir beling yang menyayat hati. Cukuplah rapuh saja, jangan sampai aku tercabik tercerai berai karenanya.

Aku sungguh tak sabaran. Tak sabar untuk selalu mengeluh. Menceritakan segala pikiran negatif pada dunia. Padahal, kesakitan takkan selamanya, sulit dan pedih juga takkan kekal. Akan ada hari dimana semuanya berganti. Seperti putaran roda pedati.

Adakalanya aku tak harus bersabar dan mencoba menenangkan diri sendiri. Tidak otomatis menceritakan kekalutan pada dunia. Ia sama sekali tak menyerap, malah memantulkan kembali dan menjadikannya ruam di sekujur tubuh ini.

Ingatkah, hukum kekekalan energi? Energi tak dapat diciptakan, pun tak dapat dimusnahkan. Tapi ia dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.

Pada cerita yang terkenang, tersampaikan. Adalah sebuah gema yang takkan pernah habis memantul di alam. Karena kita sendirilah yang menjadikan kata negatif itu kekal abadi. Walau tak terdengar dengan telinga, namun ia terasa di jiwa. Begitulah adanya.

Dan kepekaan yang tak bisa dijadikan patokan. Adalah rasa yang tak terjamah. Adalah pelita yang tak benderang. Adalah perasa yang tak merasa.

Kalaulah sedemikian rupa, lantas pada apakah kan kukatakan segalanya. Memang tak ada alasan untuk menyalahkan. Hanya keadaan saja yang menjadikannya sedemikian. Tapi tetap saja, saat harga rasa yang jadi taruhannya, pantang sekali untuk meminta. Jangankan demikian, bahkan berharap saja tidak lagi.

Terlalu berharap pada orang lain, siap-siaplah untuk kecewa. Benar adanya, orang yang kuat bukanlah yang tak pernah menangis, tapi karena ia tetap bertahan bahkan dalam situasi sesulit apapun. Dia mengusahakan segalanya sendiri. Dia mengusahakan hatinya dengan sepenuhnya. Tak ada kata yang dapat mendefinisikannya.

Dan hingga detik ini, masih belum bisa kuinterpretasikan rasa apa yang terjadi. Semuanya bercampur baur. Ingin marah, tapi pada siapa, atas alasan apa. Tidak ada. Ingin mencari tempat pelampiasan? Buat apa. Toh, ini terjadi mungkin karena aku yang terlalu berpikir kritis. Tapi ya itulah aku.

Its hard to tell, but its so grateful

Tak ada satupun yang kebetulan. Termasuk bertemu dengan orang baru, dan orang lama yang sudah lama tak bertemu. Setidaknya, ada pengobat pilu di hati. Perasaan pilu dan sedih yang teramati, sedikit demi sedikit memudar dengan sedikit percakapan dan perbincangan. Entah itu dengan orang yang baru dikenal, maupun dengan kawan lama yang selalu ada di saat kita butuhkan. Tempat mencurahkan segala isi hati. Dan itu sangatlah berarti.

Tak bisa memang, hal yang tak terduga bagaikan sesuatu yang cukup membuat hati gamang. Namun apalah daya, tak bisa kupaksakan karena memang tak bisa. Ini adalah sejenis harga diri dan juga rasa penghargaan terhadap diri sendiri. Orang minang, pantang meminta jika sudah ditolak. Pantang sekali. Kalaulah bukan karena terpaksa, maka takkan pernah kuabaikan rasa. Dan ini sudah sampai pada puncaknya, sudahlah, sudahi saja. Lagipula, aku tak ingin berhutang budi atau apapun. Segala hal yang membuat kebebasanku menjadi terbatas hanya karena keterbatasan yang kumiliki. Manusia yang tak sempurna.

Memang pada awalnya, ada kecamuk dalam hati. Apakah ada kesalahan yang pernah kuperbuat. Tapi tak mengapa, hal itu masih bisa kujalani. Hanya karena tidak pernah saja, dan belum terbiasa.

Baru kemarin kubuat status kehidupan yang tertera dalam lini massa. Hidup itu keras, kawan. Butuh tekad yang kuat, semangat, dan kesabaran tingkat tinggi. Ah, itu hanyalah kata-kata penyemangat mengawali pagi. Dan akhirnya menjadi kenyataan yang memang berat, ternyata.

Alah bisa karena biasa. Memang, butuh kesabaran. Dan terkadang harus mengabaikan gengsi yang untuk apalah dia ada. Ada karena jarang berbaur. Ada karena selama ini terbiasa hidup mujur. Dan sesekali butuh warna-warni rasa untuk menyikapi segalanya.

Tak selamanya yang buruk dalam pikiran, itu benar-benar buruk. Hadapi saja kenyataan yang ada di depan mata. Rasakan dengan hati, dan ambil sisi positifnya. Lihatlah, banyak yang kautemui selama perjalanan panjang yang berliku-liku. Bahkan deru hujan badai ditambah dengan aroma rumput basah yang berbalut emosi ikut menjadikannya memori yang tak terlupakan. Hingga detik ini, masih kuingat sudut jalanan yang mana di sana aku berpikir tentang banyak hal.

Termasuk tentang kesulitan yang baru saja kuhadapi. Tentang kebaikan orang-orang sekitar yang peduli. Tentang pertemuan yang tak sengaja tercakupi. Dan tentang penerimaan akan hal yang tak selalu buruk untuk dilalui. Juga tentang kebebasan tanpa perlu direcoki.

Syukur Alhamdulillah. Meski awalnya berat sekali, tapi banyak hal yang kutemui. Tak selamanya sisi negatif yang tampak hanya dari pandangan mata membuat segalanya terasa tak bisa. Dan rasa-rasanya, dulu seringkali kurasakan hal yang demikian. Sering sekali. Rasa tak sabar dan menggerutu dalam hati. Tapi mungkin, ya, itulah caranya belajar menjadi dewasa. Walau memang terasa berat sekali. Seperti ada beban ribuan kilo yang menindih. Jalani saja dan lihatlah sekitar. Ajak siapa saja yang ada di sekitar untuk berbicara. Kalau tidak ada, bisa menelpon orang yang kita nyaman dengannya. Intinya, jangan memendam rasa kesal, luapkan saja supaya tidak mempengaruhi emosi lebih dalam lagi.