Sabtu, 26 November 2016

Semangat!!!

Hy, this is my chance. Sebelum mencoba sesuatu hal baru, memang bikin deg2an seperti ini. Apalagi ini ujian. Sama bikin galaunya kayak ujian2 sebelumnya. Rasanya ada yang lebih galau lagi dari ini, dulu. Hmm, terkadang apa yang dipikirkan tak selamanya itu nyata. Keep calm. Mungkin bagiku saat ini, ini cukup berat. Tapi bukankah aku sudah menunggu dan mempersiapkannya cukup lama?

Memang benar katanya. Tetap semangat. Berani mencoba. Apapun yang terjadi, itulah yang terbaik. Jangan pernah ragu melangkah. Lakukan sebisa yang kau bisa. Jangan menunda dan mengulur waktu lagi. Sebab jika kesiapan dan kesempurnaan yang dicari, maka sulit mendapatkannya. Bukankah setelah ini, akan banyak hal lain yang harus dilakukan?

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Jika sudah selesai, maka bersiaplah dengan urusan lain.

Keep spirit!!! Syemangat2. Semangat buat diri sendiri dan yang akan menghadapi ujian kehidupan.

Kamis, 27 Oktober 2016

Its Clear

Seperti halnya menunggu. Tak perlu menunggy untuk urusan yang satu itu. Cepat atau lambat dia akan datang. Hanya gejala demi gejala yang timbul dan meningkat sebagai pengingat. Esok atau lusa, entahlah.

Tak ada gunanya aku memforsir segalanya. Hanya untuk mendapat perhatian. Atau mungkin, menenggelamkan diri sesaat dalam kelelahan yang tak berkesudahan. Padahal waktumu akan segera datang.

Cepat atau lambat. Dia akan datang.

Selasa, 25 Oktober 2016

Hate

I hate the way i know it, already. Setidaknya, apapun yang ada membuatku menjadi bertambah kacau. Bahkan dalam keinginan untuk memberikan dan berbuat baik pun, ada2 saja yang membuatnya tak lagi menjadi ikhlas. Malah berbuah kebencian dan penyesalan. Bodohnya aku yang gampang dibodohi.

Tak mau lebih parah daripada mau. Walau gagal dan tak sesuai harapan. Walau memang, pada akhirnya niat baik malah dibalas dengan cibiran dan bullying yang tertuju padamu. Fix, sudah cukup rasanya. Menabahkan hati dan akhirnya air mata jatuh tak tertahan lagi, ke dalam.

Bukan, bukan berarti aku terlalu sensitif. Tapi tolong mengerti, setiap orang punya masa-masa sulit. Dan bagiku, hal terpedih dan aku tak suka hari ini. Lengkap rasanya. Bergemuruh rasa dalam dada.

Hey, aku butuh sendiri. Butuh meluapkan segala rasa yang berkecamuk dalam hati. Bukan apa2, hanya saja entah mengapa, setiap untaian katamu itu membuatku bertambah dan bertambah sebal karenanya.

Aku tau, memang aku salah. Aku tau, memang aku tak pandai melakukannya karena ketidaktahuanku. Tapi cukuplah, cukup aku tahu bahwa aku salah dan tak usah kau komentari lagi berkali-kali. Karena aku sudah sangat mengerti.

Tapi itu lebih baik, daripada kau yang menolak untuk melakukannya. Kalau boleh aku berkata, coba saja kalau bisa. Ya coba saja. Buktikan seperti ucapanmu. Buktikan bahwa kau bisa melakukannya seperti yang kau katakan. Memang, mengeritik itu mudah sekali. Tapi coba lakukan sendiri. Kau malah menolaknya dengan alasan yang entahlah.

Padahal kalau kalian tahu, sedari pagi sudah kuancang2 waktu untuk memulainya. Merancang timing yang pas untuk mulai melakukannya supaya cocok dan tidak bertabrakan dengan jadwal lain. Itu sudah waktu maksimal dan hot time yang bisa kulakukan. Nyaris menyerah meninggalkan beberapa, tapi aku yakin aku bisa menyelesaikan di detik2 terakhir.

Dan ya, komentar pedas itu terasa sangat pedas, lebih pedas dari gorengan gosong yang harusnya terasa pedas namun keras.

I know it, it surely hurt me. Its so hard. Sudah kutabahkan hati. Tapi di detik yg kesekian saat komentar itu muncul lg, dan sudahlah, aku terlanjur kesal dan sebal sendiri. Bagaimanalah. Terjadi pula disaat hard time begini. Its so hard, seriously.

Rabu, 05 Oktober 2016

Problem is a Problem

Saat ku terpuruk dan terjatuh
Pakai pundakku
Dan kita lawan terpuruk itu
Karena Tuhan tahu kita mampu
Kita mampu~

Ya, karena Allah tahu kita mampu. Makanya kita ditakdirkan untuk bertemu dengan kesulitan itu. Cepat atau lambat, kita akan menghadapinya.

Karena kita telah memilih. Tanpa paksaan.

Karena semuanya telah diatur sedemikian rupa sehingga begitulah adanya.

Maka kita dipertemukan untuk berjumpa dengan kesulitan itu, suka atau tidak suka. Senang atau tidak senang.

Sebab kita menyadari bahwa, tak ada yang akan membuat kita menjadi lebih berarti daripada melalui setiap tantangan, halangan, dan rintangan.
Itulah sedemikian rupa kesulitan yang sudah pasti dijamin olehNya akan sanggup kita hadapi.

Allah takkan membebani hambanya dengan beban yang tak sanggup ia untuk memikulnya.

Semakin berat beban yang kita pikul, semakin gagah perkasalah kapasitas kita. Ibarat pengangkat kayu, semakin kokoh dan kuat dia, maka semakin banyak beban yang sanggup dia angkat tinggi-tinggi. Sanggup dia kerjakan sesuai dengan kemampuannya.

Kalaulah Allah memberi kita kesulitan yang rasanya teramat sangat sulit sehingga rasanya batin kita serasa tersiksa, maka ingatlah. Bahwasanya kita pasti mampu menghadapinya. Entah itu dengan suka maupun duka. Sebab kadang, ada hikmah mental yang dapat dipelajari dari setiap keinginan yang tak sesuai dengan harapan.

Ada sejumput rasa malu, memang. Tapi itulah rasa, kehidupan yang berselang-seling dalam pelataran bak roda pedati.

Di atas lalu menggelinding dan sampai ke bawah. Tak bosan dan tak henti-hentinya kukatakan dengan sangat erat, habiskan jatah gagalmu, sampai gagal lelah membersamaimu~.

Sekian~

Jumat, 23 September 2016

Heart beat

Ini mungkin sulit, tapi harus tetap dijalani. Inilah kehidupan. Tentang menerima atau tidak. Kadang bisa memilih. Tapi sebagian besar itu adalah sebuah keharusan. Suka maupun tidak.

Ini mungkin berkelit. Saat hati nurani tak semata harus ikhlas menerima. Menjalani sebahagian lika-liku kehidupan. Menjadikan kita pribadi yang baru.

Terhenti sejenak dalam bilik peraduan. Terhenyak dalam ruang dan waktu yang berhenti mendadak. Hampa. Ribuan emosi berkumpul, berdesakan dalam satu jiwa. Tinggal menunggu kapan waktunya. Meledak dan berhamburan.

Inilah cerita ringkas kehidupan. Menjalani sajak-sajak penantian dalam pengharapan. Bukan apa-apa. Kita hanyalah merasakan desiran emosi yang meluap. Tak kuat menghadapinya, sebuah kegagalan yang tak direncanakan.

Kita ditempa terus. Menjadi tangguh. Mengalahkan waktu dan nafsu. Mengalahkan kemalasan yang jika diperturutkan malah menjadi candu. Dan itu beradu dalam ruang dan waktu.

Selasa, 20 September 2016

Sajak-sajak Penantian

Rindu kami padamu~ ya Rasul
Rindu tiada terperi~
Berabad jarak darimu~ ya Rasul
Serasa dikau disini

Bergetar rasanya hati saat menyenandungkan lagu ini. Always. Entah kenapa, suasana hati juga berkata demikian. Bukannya aku sedih dengan keadaan yang ada. Tapi inilah yang sedang kuhadapi. Inilah jalan hidup yang kulalui. Suka duka di dalamnya. Telah digariskan olehNya.

Ada rasa yang harus dibuang jauh-jauh. Meski rasanya itulah untaian emosi yang sangat cocok untuk saat ini. Tapi dengan itu, aku merasa semakin tak berdaya. Maka harus kutepis dan kulupakan sebisa mungkin.

Inilah yang harus kuhadapi. Menjadi tangguh bukan sebuah pilihan, tapi keharusan.

Menjadi sabar, bukan sebuah keharusan, tapi kebiasaan.

Rasa yang tak harus tergenapi dalam keterbatasan yang dimiliki setiap orang. Setiap orang berhak merasakannya, dan memilih jalan hidupnya masing-masing.

Menjadi tergenapi juga, setiap jalan pikiran yang muncul di sela-sela arus deras jalan panjang kehidupan itu sendiri. Entahlah. Aku tak berusaha untuk menanggapi. Hanya ingin terus menjadi berarti. Mengartikan setiap waktu yang ada dalam relung-relung penantian yang tak pasti.

Hingga kini, dan bahkan nanti. Menjadi apapun, terekam dalam jiwa nan sudah tercermati.

Hingga kini atau nanti, tetaplah demikian.
Sajak-sajak penantian~

Selasa, 13 September 2016

Its hard to believe, but

Aku harus menyadari, ada bom waktu dalam hidupku. Dan aku harus bersiap-siap menghadapinya. Tentang masa depan yang masih ambigu. Tentang pengharapan yang tak melulu berbicara tentang keinginan.

Siapapun punya sesuatu, entah itu apa. Entah itu ada atau tidak. Entah itu terucap atau bahkan hanya terpikirkan di dalam hati. Walau memang, kehidupan ini tak selamanya berjalan mulus. Tak selamanya sesuai dengan keinginan. Aku hanya ingin menjalaninya dengan baik. Lantas, pada apakah harapan itu tergantung?

Manusia, kebanyakan tak bisa bersabar. Diuji dengan sedikit ketakutan, kekurangan, menjadi paling merana yang ada di dunia. Padahal tak harus demikian. Ada banyak jalan ke rumah. Ada banyak cara untuk menyikapinya. Entah itu harus diterima dengan berbenar-benar rasa. Walau tak kunjung juga ia ada. Walau tak kunjung juga ia ada dalam nyata. Hanya bersabar dan berbesar hati menerimanya. Sebab tak ada kesedihan yang abadi, begitupun dengan bahagia. Hati-lah yang menjadi pelipur lara. Hati-lah yang menyadari bahwa semuanya bisa dijadikan rasa. Dan itu terserah anda.

Aku harus berani memantik sendiri rasa dan upaya yang ada. Bahkan tak mengapa. Menjadi cerita yang mungkin sulit, tapi inilah adanya. Menjadi cerita yang tak berkesudahan, walau tak ada yang merasakannya. Hanya hati-lah yang merasa.

Dan sekali lagi. Bukan karena kita tercipta dengan seribu alasan yang ada. Kita ada hanya karena kitalah yang mampu memutuskan setiap lika liku kehidupan. Tak peduli apa. Aku tak butuh apapun dari mereka, hanyalah rasa dan beberapa kebiasaan yang seakan menjadikan ini semua tak berdaya.

Tak ada yang bisa kupastikan saat ini. Hanya memastikan bahwa aku akan berusaha semaksimal mungkin. Bahwa garis kehidupan ini barang sedikitpun tak kurasai. Hanya kujalani. Dan itu terasa hampa, sungguh. Dan entahlah apa, atau siapa, yang akan memberikan rasa padanya. Padahal apapun yang takkan berarti. Aku akan berusaha, seperti apapun caranya. Dan begitulah seharusnya.

Rabu, 07 September 2016

Seriously

Aku sungguh rapuh. Maka kuharap, saat aku rapuh, takkan menjadi bulir-bulir beling yang menyayat hati. Cukuplah rapuh saja, jangan sampai aku tercabik tercerai berai karenanya.

Aku sungguh tak sabaran. Tak sabar untuk selalu mengeluh. Menceritakan segala pikiran negatif pada dunia. Padahal, kesakitan takkan selamanya, sulit dan pedih juga takkan kekal. Akan ada hari dimana semuanya berganti. Seperti putaran roda pedati.

Adakalanya aku tak harus bersabar dan mencoba menenangkan diri sendiri. Tidak otomatis menceritakan kekalutan pada dunia. Ia sama sekali tak menyerap, malah memantulkan kembali dan menjadikannya ruam di sekujur tubuh ini.

Ingatkah, hukum kekekalan energi? Energi tak dapat diciptakan, pun tak dapat dimusnahkan. Tapi ia dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.

Pada cerita yang terkenang, tersampaikan. Adalah sebuah gema yang takkan pernah habis memantul di alam. Karena kita sendirilah yang menjadikan kata negatif itu kekal abadi. Walau tak terdengar dengan telinga, namun ia terasa di jiwa. Begitulah adanya.

Dan kepekaan yang tak bisa dijadikan patokan. Adalah rasa yang tak terjamah. Adalah pelita yang tak benderang. Adalah perasa yang tak merasa.

Kalaulah sedemikian rupa, lantas pada apakah kan kukatakan segalanya. Memang tak ada alasan untuk menyalahkan. Hanya keadaan saja yang menjadikannya sedemikian. Tapi tetap saja, saat harga rasa yang jadi taruhannya, pantang sekali untuk meminta. Jangankan demikian, bahkan berharap saja tidak lagi.

Terlalu berharap pada orang lain, siap-siaplah untuk kecewa. Benar adanya, orang yang kuat bukanlah yang tak pernah menangis, tapi karena ia tetap bertahan bahkan dalam situasi sesulit apapun. Dia mengusahakan segalanya sendiri. Dia mengusahakan hatinya dengan sepenuhnya. Tak ada kata yang dapat mendefinisikannya.

Dan hingga detik ini, masih belum bisa kuinterpretasikan rasa apa yang terjadi. Semuanya bercampur baur. Ingin marah, tapi pada siapa, atas alasan apa. Tidak ada. Ingin mencari tempat pelampiasan? Buat apa. Toh, ini terjadi mungkin karena aku yang terlalu berpikir kritis. Tapi ya itulah aku.

Its hard to tell, but its so grateful

Tak ada satupun yang kebetulan. Termasuk bertemu dengan orang baru, dan orang lama yang sudah lama tak bertemu. Setidaknya, ada pengobat pilu di hati. Perasaan pilu dan sedih yang teramati, sedikit demi sedikit memudar dengan sedikit percakapan dan perbincangan. Entah itu dengan orang yang baru dikenal, maupun dengan kawan lama yang selalu ada di saat kita butuhkan. Tempat mencurahkan segala isi hati. Dan itu sangatlah berarti.

Tak bisa memang, hal yang tak terduga bagaikan sesuatu yang cukup membuat hati gamang. Namun apalah daya, tak bisa kupaksakan karena memang tak bisa. Ini adalah sejenis harga diri dan juga rasa penghargaan terhadap diri sendiri. Orang minang, pantang meminta jika sudah ditolak. Pantang sekali. Kalaulah bukan karena terpaksa, maka takkan pernah kuabaikan rasa. Dan ini sudah sampai pada puncaknya, sudahlah, sudahi saja. Lagipula, aku tak ingin berhutang budi atau apapun. Segala hal yang membuat kebebasanku menjadi terbatas hanya karena keterbatasan yang kumiliki. Manusia yang tak sempurna.

Memang pada awalnya, ada kecamuk dalam hati. Apakah ada kesalahan yang pernah kuperbuat. Tapi tak mengapa, hal itu masih bisa kujalani. Hanya karena tidak pernah saja, dan belum terbiasa.

Baru kemarin kubuat status kehidupan yang tertera dalam lini massa. Hidup itu keras, kawan. Butuh tekad yang kuat, semangat, dan kesabaran tingkat tinggi. Ah, itu hanyalah kata-kata penyemangat mengawali pagi. Dan akhirnya menjadi kenyataan yang memang berat, ternyata.

Alah bisa karena biasa. Memang, butuh kesabaran. Dan terkadang harus mengabaikan gengsi yang untuk apalah dia ada. Ada karena jarang berbaur. Ada karena selama ini terbiasa hidup mujur. Dan sesekali butuh warna-warni rasa untuk menyikapi segalanya.

Tak selamanya yang buruk dalam pikiran, itu benar-benar buruk. Hadapi saja kenyataan yang ada di depan mata. Rasakan dengan hati, dan ambil sisi positifnya. Lihatlah, banyak yang kautemui selama perjalanan panjang yang berliku-liku. Bahkan deru hujan badai ditambah dengan aroma rumput basah yang berbalut emosi ikut menjadikannya memori yang tak terlupakan. Hingga detik ini, masih kuingat sudut jalanan yang mana di sana aku berpikir tentang banyak hal.

Termasuk tentang kesulitan yang baru saja kuhadapi. Tentang kebaikan orang-orang sekitar yang peduli. Tentang pertemuan yang tak sengaja tercakupi. Dan tentang penerimaan akan hal yang tak selalu buruk untuk dilalui. Juga tentang kebebasan tanpa perlu direcoki.

Syukur Alhamdulillah. Meski awalnya berat sekali, tapi banyak hal yang kutemui. Tak selamanya sisi negatif yang tampak hanya dari pandangan mata membuat segalanya terasa tak bisa. Dan rasa-rasanya, dulu seringkali kurasakan hal yang demikian. Sering sekali. Rasa tak sabar dan menggerutu dalam hati. Tapi mungkin, ya, itulah caranya belajar menjadi dewasa. Walau memang terasa berat sekali. Seperti ada beban ribuan kilo yang menindih. Jalani saja dan lihatlah sekitar. Ajak siapa saja yang ada di sekitar untuk berbicara. Kalau tidak ada, bisa menelpon orang yang kita nyaman dengannya. Intinya, jangan memendam rasa kesal, luapkan saja supaya tidak mempengaruhi emosi lebih dalam lagi.

Selasa, 23 Agustus 2016

Lelah

Mataku tak sanggup untuk tidak terpejam. Lelah badan tak terelakkan. Padahal kenyataan kehidupan masih terbentang panjang. Masih banyak yang harus kulakukan.

Memang rasa lelah tak pernah menunggumu untuk bersiap-siap. Apalagi datang di saat yang kau inginkan. Yang kutahu, semakin hari semakin kurasakan kelelahan yang tak terelakkan.

Semakin hari kurasakan lelah badan, namun jiwa masih ingin tetap melanglang.

Aku tak tahu, hingga pada detik, menit dan pukul berapakah jam itu akan berhenti untuk diriku selama-lamanya. Lelah ia menghitung hari-hariku yang terkumpul dalam tahunan dan kasat mata dalam fisik yang temaram.

Yang kutahu, aku akan berusaha untuk mengalahkannya. Semampu dan sebisaku. Takkan kubiarkan ia menang walau sedikitpun. Takkan kubiarkan ia mengambil selisih waktu dariku. Menjadikanku kelam, silakan saja. Tapi aku takkan menyerah begitu saja.

Wahai fisik, bekerjasamalah dengan jiwa. Dan sesekali, bangunkanlah raksasa yang tertidur karena lelah yang mendera.

Kalaulah jiwa yang lelah, kehilangan semangatnya, lantas pada apakah ia nan ringkih itu akan bersandar?

Pada apakah ia nan tak bersua kawan lama itu akan bercerita panjang lebar?

Dan pada apakah, ia yang kehilangan pijakan itu akan berdiri dan menggantungkan badannya?

Senin, 22 Agustus 2016

Jejak Penantian

Berjalan langkah demi langkah kecil. Menyusuri jalan setapak. Walau gamang, tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi hanya satu yang tertancap dalam hati, "tetaplah bergerak, walau lambat seperti awan temaram yang menggelap."

Dan langkah kakiku akan tetap mengayun, hingga terhenti pada tujuan yang akan dicapai. Menapaki jalan-jalan kecil, berkerikil, dan berdesir bunyi setapak demi setapak jejak yang mengumpul dalam alunan waktu. Bak putaran roda sepeda kecil yang lemah gemulai memolesi bebatuan cadas rerumputan berembun tanah basah berbau gemericik hujan rinai semalaman.

Kakiku terhenti, tidak tahu apakah ini penantian itu ataukah masih sekumpulan terminal yang hanya akan menjadi persinggahan sesaat.

Aku sungguh tak tahu. Karena semuanya masih menjadi misteri yang masih tertutup oleh tabir waktu. Hingga kering tenggorokan berkata, merah mata menatap nanar, dan gersang hati memikirkan hal yang masih tak bertepi, oh, sungguhlah pada keyakinan ini sajalah kutumpukan segalanya.

Bahwasanya, Dia tak akan menyia-nyiakan kita. Dengan apa yang kita lakukan dan usahakan, apa yang kita tempuh sepanjang hari, apa tang menjadi harapan dalam setiap lirih-lirih doa yang kita panjatkan saban hari. Baik itu yang terucap ataupun yang tersirat dalam hati.

Batinku, menggebu dalam keinginan jiwa yang berkesangatan. Hanya saja, kutahu ada batasan yang harus kupegang teguh dan erat. Mengalah bukan berarti kalah. Diam bukan berarti tak tahu apa-apa. Aku hanya sedang menyusun rencana matang untuk persiapan di masa mendatang.

Dan sekali lagi, langkah ringkih ini harus terhenti untuk sementara. Sekedar menyiasati hati kecil untuk berintrospeksi. Apakah ada tertarung kaki dalam perjalanan? adakah semut-semut yang terinjak karena ketidaktahuan? Atau, adakah rumput yang meranggas mati karena kearoganan kaki kita melangkah?

Demi jiwaku yang dalam genggamanNya. Kalaulah bukan karena kebaikanNya, tak sanggup rasanya kaki ini melangkah. Terus bergerak memperbaiki diri. Sesekali, terinjak juga olehnya kotoran yang tanpa sadar, akan terbersihkan oleh langkah-langkah kaki selanjutnya. Walau masih tertinggal jejaknya yang takkan pernah menghilang seumur kehidupan.

Kalaulah bukan karena nikmatnya, maka tak akan sanggup kaki ini melangkah. Walau badan sehat, tanpa kekurangan satupun, namun jikalau hati yang sakit, tak akan tergeraklah ia. Terasa ada beban ribuan ton pada kaki.

Mentari pagi menelisik menusuk masuk ke dalam kelopak mata. Pagi ini indah, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hati ini merasakan, kelak dalam pencapaian masa depan, kaki ini akan terus melangkah dalam kebaikan.

Minggu, 21 Agustus 2016

Now and Forever

Aku meniti tiang dalam senyap. Menunggu malam menghilang dalam semburat cahaya di ufuk timur. Entah kapan. Yang kutahu, hanyalah waktu yang setia menemani. Dalam setiap hembusan nafas yang tiada henti-hentinya merongrong kesendirian.

Hanya ada aku dan suara nafas yang menderu. Ya, hanya itu.

Aku tak tahu, kapankah ia akan datang. Aku menunggu semuanya dalam kesenjangan yang tiada berkesudahan. Menjajaki setiap detik dan menit yang bergerak. Tak lelah.

Dan pandanganku tertuju pada awan yang mulai menggelap. Menggelayut di langit senja yang tak sempurna. Berat rasanya menitikkan air mata dengan situasi yang kuhadapi. Dunia dalam berita yang kini menjadi kenyataan menyakitkan.

Namun, tetap saja awan gemawan tak jumawa berhenti bergerak. Walau tertatih sungguh, perlahan tetaplah ia berpindah juga. Walau begitu, haruskah kita menantinya dalam diam? Menunggunya hingga ia datang menjelang?

Tetap saja, menunggu itu menyakitkan. Apalagi yang ditunggu adalah tentang masa depan yang masih gamang. Seperti halnya kesediaan yang tak berkesudahan. Membuat kita tergamang.

Aku mengerti, memahami. Hanya saja tak cukup kosa kata dan kamus permimikan yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Aku sangat mengerti. Karena pernah mengalami, tentu saja.

Sampai kapan terbelenggu dalam cerita tak berkesudahan? Berada dalam kondisi yang tak memungkinkan? Merasa tinggi dan jauh sekali, sakit jatuh terjerembab di atas tanah kering kerontang.

Sudahlah. Sudahi saja. Bagaimanapun, kita tak pernah mengharapkannya sama sekali. Inginnya sambil menyelam minum air, walau asin dan membuat gatal kerongkongan. Tetap saja, ada kata yang terucap, ada rasa yang tak tersampaikan. Begitulah.

Pahami saja selagi bisa. Apapun interpretasi anda, begitulah adanya.

Kamis, 28 Juli 2016

Hampura

Benar. Saat terpuruk dan terjatuh, saat itulah kreativitas muncul. Saat itulah semangat muncul. Kadang, butuh juga sedikit shocked in untuk benar2 merasakan dan membuat segalanya menjadi berarti. Bukan untuk menjadi penghibur diri, tapi menjadi lecutan dan kobaran api yang membakar segala keterlenaan akan dunia.

Sesekali, tak mengapa.
Acapkali kita merasa, setiap keburukan dan kemalangan yang menimpa, adalah karena ketidakberuntungan kita. Terkadang, kita malah menyalahkan orang lain. Entahlah.

Dan saat itu, sulit sekali rasanya untuk berpikir logis. Semua terasa gelap. Semua terasa serba salah. Diri kita dan sekitar menjadi amuk yang pantas untuk dijadikan tumbal.

Apakah memang demikian?

Sulit memang untuk menerimanya. Tapi, seiring berjalan waktu, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita tetap harus menerimanya. Pahit memang, sangat pahit. Apalagi tiada daya upaya yang meluluhlantakkan kepercayaan diri yang hancur berkeping dalam sekejap.

Kalau kita mampu menanggapinya dengan positif, di saat itulah muncul kreativitas. Mengolah segalanya yang awalnya sulit menjadi kenyataan. Ya, asalkan kita berniat bersungguh2 memperbaikinya, bukan sebaliknya, memperkeruh keadaan.

Baiklah, akhiri saja segala lika-liku pemikiran tak terbantahkan yang ada saat ini. Meski tak pernah sesosok pun menghilang rasa sakit dan perih itu, takkan pernah hilang memang. Cobalah untuk menerimanya, terimalah dengan lapang dada dan legowo.

Hampura jika ada yang tak berkenan.

Rabu, 27 Juli 2016

Why Cant Go

Aku tak tahu apa maksudnya. Saat segalanya menjadi intens. Menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Aku takut, setiap hal yang kuingat tersebut malah menjadi kenyataan yang sebaliknya. Atau bahkan nightmare itu menjadi fakta adanya.

Entah kenapa, semakin aku berusaha untuk menghindarinya, dia malah semakin nyata. Terpatri dalam alam bawah sadar. Sesuatu yang aku tak tahu mengapa, menjadikan momok menakutkan dan sebagainya.

Ada ketakutan mendalam. Ada hal yang tak sanggup dijelaskan. Tapi dia bercokol seiring dengan bunga tidur yang tak henti2nya berkata tentang itu. Apakah aku tengah stres menghadapinya? Bukankah aku biasa2 saja selama ini? Tak terlalu mengambil pusing setiap hal seperti dahulu?

Seolah ingatanku terisi.
Sedih senang bercampur di dalamnya.
Dan aku tak tahu, di titik mana dia akan berakhir. Dan itu hanyalah tentang siklus terakhir yang kujalani. Padahal, ada lagi fase lain yang juga harus kukhawatirkan.

Aku takut, terkadang. Namun sudah kuikhlaskan segalanya. Apapun yang terjadi, mungkin itulah yang terbaik. Walau di mataku, tampaknya sungguh sulit.

Dan pagi ini, walau dengan berat hati, aku harus melangkah pergi.

Selasa, 26 Juli 2016

Nightmare Again

Today, I wish I could whatever through in my mind. Karena sekali lagi, aku bermimpi tentang kenyataan yang tak pasti. Yang pastinya, aku mengukir sesuatu dengan pencil alis yang pagi ini kupakaikan pada adek. Dan ingatan itu kembali, tentang ujian yang kujalani.

Padahal, sesaat sebelum memulai ujian yang menyesakkan dada itu, aku terbangun dan bersyukur bahwa itu adalah mimpi. Lalu akupun tertidur lagi. Dan anehnya, lagi-lagi aku bermimpi akan ujian. Entahlah, akupun tak tahu itu sejenis ujian apa. Yang pastinya, aku hampir terlambat karena saat itu aku akan shalat. Namun, banyak saja penghalangnya, yang membuatku berulang2 kali mengulangnya.

Lalu aku tiba di kelas. Ujian. Memilih sendiri urutan ujian. Kupilih bangku yang masih kosong. Di atasnya ada beberapa helai kertas. Belum sempat bersiap2, bel pertanda mulai ujian berbunyi. Ah, bel. Sejak bersejak ini aku benci mendengarnya. Bel ini identik dengan waktuku yang habis dan harus menyelesaikan soal ujian lainnya. Padahal dahulu, waktu aku masih sekolah, bahagia sekali rasanya mendengar bunyi bel, terutama pertanda akan istirahat dan pulang. Tapi sekarang?

Dan tentu saja, aku panik. Kuambil kertas lembar jawaban di atasnya, dan kubuka soal. Aneh. Ada soal 3 buah disana dan beranak pinak. Apa bisa menjawab soal seperti ini dalam waktu 5 menit?

Ah, tanpa berpikir aku langsung saja mengerjakannya. Aneh, soal pertama adalah matematika, tentang segitiga dan perangkat2nya. Lalu soal kedua dan ketiga, barulah tentang penyakit yang justru aku lupa apa. Tapi intinya, hanya menjelaskan saja. Aku ingat soal pertama, karena kuhabiskan waktu yang banyak untuk memikirkannya.

Aku tak tahu, pertanda apa ini. Akankah ini menjadi nyata seperti pensil warna yang kugoreskan ke kertas gambar dan saat pagi tadi pencil itu seolah mengingatkanku pada mimpi semalam. Aku hanya takut, apakah ini akan menjadi kenyataan tentang ujian? Entahlah.

Tapi apapun yang terjadi, siap atau tidak, aku harus menerima segala konsekuensinya. Namanya juga belajar. Legowo, ya, memang harus berkorban. Waktu, fisik, uang. Bersabarlah.

Kamis, 14 Juli 2016

Cita

Kalaulah cita yang mengejar harapan, lantas pada kemanakah tujuan akan disanggakan?

Padalah asa yang menggantung di atas awan. Terikat tak berbenang, terdetak dalam cawan keheningan. Sunyi, senyap. Pada malam yang merangkaikan kata. Tak bersediakah memaafkan walau hanya sepatah kata?

Aku tahu, tak selayaknya aku berlalu. Meninggalkan dengan pongah. Bukan, bukan itu maksudku. Lelah datang mendera. Tak pernah selelah ini kurasa. Sungguh. Tak pernah sekalipun. Lelah fisik berangkaikan jiwa.

Padalah apa kan kukatakan. Aku yang tak bisa menjaga konsistensi keadaan. Terhanyut dalam arus yang semakin menggenang. Tak ada yang bisa menyelamatkan. Selain aku, selain diriku sendiri yang tak menceburkan diri dengan sadar ke dalam. Jauh, teramat sangat jauh hingga melewati jurang.

Dan hingga akhirnya, tak bisa tidak dalam setiap hembusan nafas. Ada kata yang tak terucap. Ada pikiran yang tak tersampaikan. Acapkali aku merasakan dua sisi yang berbeda dan saling berkebalikan. Terhempas dalam arus zaman yang melenakan. Hingga terlupa pada tujuan.

Dan entah sampai kapan, setiap cita akan berubah pasti. Sesempurna pikiran yang merangkai dengan indah. Dalam setiap hembusan jalannya, yang tak pernah terabaikan.

Lightday

Seperti kilat di siang hari. Menggelegar tajam, menggetarkan sanubari. Seharusnya, sih, begitu. Tapi entahlah. Apakah karena ini masih berada dalam efek kemaren sore. Ataukah berada dalam abulia stage? Yang apapun itu terserah saja, sudah lelah dengan semuanya. Dan tak ada lagi keinginan untuk lebih memperkeruh dengan membahasnya. Apalagi mengingatnya.

Segala kemungkinan yang menjadi mungkin. Semuanya berjalan dan berjalan tanpa disadari. Walau mungkin, sesaat mencoba memertajam intuisi, walau barang sedikit. Ada beberapa clue yang dalam perjalanan waktu malam itu membuat segalanya berubah. Ah, sudahlah. Jalani sajalah.

Lagipula tak ada salahnya, kan. Lagi pula, ini memang salahku. Yang tak bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Tak bisa menempatkan mana yang penting, mana yang tidak penting. Mana yang kebutuhan paling penting bagiku, dan mana yang bisa ditunda dulu. Hmm.

Lagipula, tak tahulah. Tak ada salahnya belajar dari kesalahan. Rasa2nya memang banyak sekali aku bersalah, berdosa. Mungkin ini hukuman buatku juga. Aku yang tak bisa mengelola diri dengan baik. Tak bisa kejam pada waktu yang ada.

Sudahlah. Walau bagaimanapun, mata sudah buta. Kilat sudah menyambar. Yang ada hanyalah susuri saja jalan itu, walau tertatih dan tergopoh.

Rabu, 13 Juli 2016

Emoticon

😅🐼 emoticon mood today. Buat apa coba. Sambil menyelam minum air. Ah, nggak nyambung sama sekali. Sudahlah. Masih menunggu sesuatu. Dan masih menunggu. Sudah hampir lama. Sebentar lagi. Cepatlah.
Ah, tak tahu lagi. Senyum sambil menangis. Sudahlah.

Pasrah

Berat ternyata. Kalau tidak pandai bersabar. Berat ternyata, kalau tidak terbiasa, membiasakan diri. Berat ternyata, kalau hanya sendiri.
Menepilah, dan terus menepi. Apapun yang terjadi, terjadilah. Bukan berarti aku pasrah. Hanya tidak ingin memperkeruh keadaan. Tak ingin mencetuskan letupan2 lain yang membuatku lebih gamang. Dan akhirnya mudah terombang-ambing.

Jika harus dikata, tak ada kata siap. Sama sekali. Yang ada, hanyalah, akan kuhadapi. Hadapi saja. Biarkan dunia berkonspirasi menjemput momentum yang ada. Biarkan saja.

Karena menyalahkan diri, sudah sepatutnyalah dipersalahkan sejak dulu. Namun tiada salah diri, karena segala yang serba terpaksa, tidaklah baik.

Di detik ini, kupasrahkan saja semuanya.

Among Me

Akhir2 ini, acapkali aku berusaha menghindari sesuatu. Sesuatu yang membuat dadaku tak henti berdegup kencang. Aku hanya butuh bernapas dengan lega. Tak ingin ketakutan dan rasa mencekam itu datang, lalu tiba2 membuatku sesak. Palpitasi tak henti hingga sorenya. Sudah cukup rasanya. Sedari kecil, kurasakan hal yang serupa.

Keringat dingin bercucuran. Tangan dan kaki menjadi dingin. Menjadikan segalanya teramat sangat asing. Menjadikan segalanya menjadi sulit. Bahkan untuk berbicara pun, tiada kata. Kesempurnaan malah menjadikan segalanya rumit. Aku terjatuh dan terjatuh dalam kesulitan hidup yang tiada henti. Waktu membeku,, dan membeku.

Hey, inikah rasanya menjadi orang lain?
Bukan menjadi diri sendiri. Tidak menjadi seperti apa yang diingini. Tersenyum walau sesaat. Menjadikan segalanya tampak rumit. Menerjang dalam batin. Membatin.

Aku hanya ingin mengekspresikannya. Tak ingin menutupinya. Tapi apalah daya, semuanya sudah membuatku lemah tak berdaya. Hingga tulang ini menjadi letih, tak bertenaga.

Aku butuh seseorang yang selalu mengingatkan. Baik sedih maupun senang. Suka duka bercampur dalam kemaknaan ingin menjadi sesuatu yang dulu dan kini terasa berbeda. Ingin rasanya kukatakan, bahwa aku tak lagi sanggup menahan beban. Tapi sampai kapan?

Karena aku telah memilihnya. Dengan segala resikonya. Setahun yang lalu, malah sudah kukatakan dengan keras di dalam hati. Mengatakan padanya. Beruntung benar nasibnya. Menjalani kehidupan dengan senang. Menjajaki berbagai tempat sekehendak hati.

Justru begitulah. Terperangkap disini. Dalam ketidakpastian. Dan suasana yang mencekam. Setiap hari, setiap menit, dan detik. Stress yang tak terhindari.
Kenapa semakin ke ujung semakin sulit?
Kenapa semakin kesini semakin banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat?

Seharusnya tak begini. Ada yang salah.
Ya,ada kesalahan yang membuat segalanya menjadi runyam. Hingga redup redam kelam penantian. Segelap pagi nan mendung ini. Dengan rintik2 kecil air yang menepi. Menyentuh kelopak mata, hingga membuatku menangis, tapi hanya dalam hati.

Ah, ada apa ini. Kenapa segalanya terasa begitu runyam. Ah, kenapa ini. Bukankah ini yang dulu kau harapkan. Daripada terbuai dalam keadaan yang melenakan. Membiarkan diri terjatuh, berlama2, dan sulit memanjat lagi.

Harusnya kau lebih bersyukur, kawan. Dengan situasi dan kondisi seperti ini. Di luar sana, ingatkah. Saat kau tak terjepit seperti ini. Malah kau mendambakannya. Memang manusia, tak pernah puas dengan apa yang dimiliknya. Cobalah sekali saja, tetap tersenyum dalam kesempitan dan keputusasaan. Tetap tersenyum walau sulit sekali rasanya. Setidaknya, dunia takkan berakhir denga1n ujian ini. Ujian yang takkan pernah berakhir.

Sabtu, 09 Juli 2016

Kurir Abadi

Benar2 kurir di tengah malam. Sunyi, sepi. Membawa-bawa sesuatu dan entah untuk apa. Dan entah bilamana akan tersadar. Sebenarnya sadar, sih. Sesadar-sadarnya. Entah kapan lah ini akan berakhir. Menjadi kurir abadi dan tak tahu satupun. Dan berada dalam kenyamanan saja dengan kebodohan itu.

Menjadi kurir abadi.

Hey, tunggu dulu. Bukannya aku tak mau. Hanya saja, waktu ini terlalu memburu. Lihatlah, entah jam berapa ini. Bayangkan saja. Aku saja yang dari pagi dan kembali ke pagi lagi. Sudah banyak keluh dan amarah tertahan. Entah itu karena keletihan, ketidakadilan, keberpihakan, dan kebodohan.

Semua menjadi nyata. Bercampur baur menjadi kurir abadi di tengah malam bolong. Berjalan menyusuri kegelapan dalam langkah kaki gontai yang entahlah, sudah berapa kali terjalani.

Tak tertanggung sedikitpun. Tak ada rasa bahkan.

Menjadi kurir abadi yang melakukan entah apa dan entah apa lagi.

Menjadi kurir abadi yang tersenyum bahagia dalam kebodohan dan ketidaktahuannya.

Bertanyalah, pada rumput yang bergoyang.

Kamis, 30 Juni 2016

Sejenak Saja

Sejenak beralih dari gemerlap dunia nyata. Sesaat, dapat sedikit bernapas lega dan menarik napas dalam dan panjang. Lalu menghembuskannya perlahan.

Sekuat tenaga. Ingin kuteriakkan pada segalanya. Tapi tak bisa. Bahkan suara ini saja sudah tak mampu untuk bersinkron dengan kepala.

Acapkali terbuai dalam bayangan semu. Yang terpikirkan beda dengan yang terucapkan.
Segalanya menjadi nyata. Sesaat fokus pada satu hal. Membayangkan kondisi yang membuat dunia kita sibuk. Teralihkan dari setiap hal yang penting.
Seringkali terabaikan.
Tapi itulah yang terjadi.

Sekilas lalu. Tampak tidak di pelupuk mata.
Kantong mata yang semakin menjadi.
Bayang2 di sepanjang badan.
Bersabarlah.

Minggu, 05 Juni 2016

Focus

This is the first time, here. Merasa kesepian. Hari pertama puasa, just alone. Can not do anything. Yang seharusnya.

Tak mengapa. Walau tak terlalu berasa, rasanya, rasakan saja. Merasakan sensasi Ramadhan yang berbeda. Tak ada iklan2 di tv yang meriah menandakan datangnya puasa. Hanya merasakan saja, dengan melihat tanda2 nya. Itu saja.

Juga tak bisa bersalaman langsung dengan keluarga dan sanak saudara. Saling memaafkan. Perkara yang tak boleh ditinggalkan sebelum masuk puasa. Hanya digantikan dengan gelombang suara yang sayup2 jauh namun terdengar dekat di telinga. Salah satu keajaiban teknologi saat ini. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Begitulah. Cerdasi sajalah.

Dan seperti biasa, untuk 1 atau 2 hari ke depan, akan menjalani rutinitas yang sama saja. Karena sedang tidak, itu saja.

Dan sadarilah. Target yang sudah dibuat, harus benar2 dijalankan. Tulis lamat2, rekatkan di lubuk hati terdalam. Bahwa sesibuk apapun aku dengan urusan duniaku, aku harus lebih sibuk mendulang ibadah dan amalan terutama di bulan ramadhan ini.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?

Okay, focus on ramadhan target. Sip. 🙆🙆🙆

Jumat, 03 Juni 2016

Party

Aku bisa merencanakan untuk tetap kuat. Jika saja aku memang benar2 sendiri disana.

Aku bisa merencanakan untuk tetap tersenyum. Menyambut segalanya dengan rasa bahagia, walau bagiku itu tetaplah lengang rasanya.

Tapi aku tak bisa merencanakan, jikalah suasana hati terpaksa "bahagia sesaat". Aku tak tahu mengapa. Yang kutahu, saat ini perasaan itu campur aduk.

Ingin rasanya melarikan diri dari tempat ini.

Padahal sebelumnya aku merasa aku bisa.
Padahal sebelumnya aku merasa aku bisa melakukannya.
Dan padahal sebelumnya, aku merasa segalanya akan mudah.

Tapi saat ini, entahlah.

Aku tak punya lagi minat, bahkan untuk sekedar berbasa-basi.

Tak punya lagi keinginan untuk bermuka manis walau rasanya sama sekali tak manis.

Karena kau tahu, aku tak suka dengan keramaian dan orang2 baru. Juga dengan suasana hiruk pikuk dan sibuk.

Aku tak suka pesta, sungguh benar rasanya.

Karena bagi seorang introvert, ia sangat benci akan pesta. Tak tahan lama2 berada di dalamnya.

Dan, sempurna sudah. Aku menjadi seorang introvert yang merasa sepi di tengah keramaian.

Begitulah.

Andai saja tak ada kata itu.

Rabu, 01 Juni 2016

Hope

Harapan itu pupus sudah. Seperti rintik air yang jatuh dari langit. Melesat cepat menebas udara dan partikel ringan yang berterbangan. Jatuh berbulir ke bumi, menyesap ke dalam tanah. Dan tak ada pernah kembali lagi menjadi bentuknya semula. Yang memang murni hanya ia saja.

Harapan itu pupus sudah. Tepatnya hari ini, ketika dalam hati justru terproklamirkan sendiri. Padahal ingatan akan harapan itu sudah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Berlalu, dan hanya menjadi kenangan yang takkan pernah tersampaikan.

Walau mungkin akan tercapai juga.
Walau mungkin dapat terjangkau juga.
Tapi ia kini tak lagi berada dalam waktu dan kondisi yang sama, pun dengan harapan yang sama.

Dan entahlah. Tak sanggup lagi rasanya membayangkan. Walau mau tak mau itulah kenyataan.

Kenyataan yang takkan pernah menjadi nyata.

Hanya menjadi puing-puing impian.

Tak bisa kupaksakan kehendak, bukan? Pada ia yang tak bisa menjadikan kenyataan pada setiap harapan-harapannya. Yang untuk saat ini, masih terlalu dangkal dalam berusaha dan bersabar. Dan kurang ide dalam menggerakkan semangat juang.

Padahal tak selamanya yang bercokol dalam pikiran itu adalah kebenaran. Apalagi tentang masa depan.

Tak selamanya ketakutan dan kepedihan yang mendalam akan luka lama, menjadi fakta saat kita bertemu lagi dengannya.

Dan tak selamanya juga amarah dan kebencian menjadi momok yang menakutkan. Karena kelak di akhir perjuangan akan ada rasa manis yang dicicipi walau bercampur aduk dengan sejuta rasa lainnya.

Cukup manusiawi.

Kita adalah manusia. Memang. Sama-sama manusia. Tak lebih, tak kurang.

Maka berikanlah penghormatan sewajarnya saja. Berikanlah belas kasih menurut rasa kemanusiaan kita. Dan bencilah secukupnya.

Hanya itu saja. Berawal dari pagi ini ketika tersibak dari bunga mimpi.

Terdengar bunyi bising burung di kejauhan ufuk matahari pagi yang cahayanya masih menyilaukan mata.

Dan tentang cerita semalam akan seorang kawan lama yang akan kembali ke kampung halamannya. Hanya dalam hitungan jam dan sampailah ia pada negeri nun jauh di sana.

Dan itu cukup sekali membuatku teringat akan harapan yang takkan bisa diharapkan. Sama sekali.

Dan sudahi saja pagi ini dengan tetap bersyukur, walau harapan tak sesuai kenyataan, namun kita masih punya kesadaran.

Sadar bahwa kita masih merasa punya sesuatu untuk diperjuangkan.

Tidak menjadi orang yang tanpa harapan.

Sebab hidup itu sendiri penuh dengan masalah. Dan masalah membuat kita merasa hidup. Salah satu masalah hidup adalah tentang harapan.

Kamis, 19 Mei 2016

Rain Heart

Sejauh apapun aku berada, akan tetap sama bila tanpa sesuatu. Entahlah. Apakah sesuatu itu nyata, atau hanya ilusi.

Sejauh apapun aku berusaha melangkah, tak pelak kaki ini gamang. Menginjakkannya ke bumi yang temaram.

Sejauh apapun aku ingin, mengungkapkan segala rasa dalam aroma yang berbeda. Akan tetap sulit rasanya.

Karena bagiku, tak penting dan tak ada kepentingan menjalin terlalu dalam.

Hanya akan ada luka di hati saat semuanya menghilang. Terpisah dan tercerai berai oleh keegoisan waktu.

Maka daripada itu, tak kuizinkan satupun dari mereka untuk memasuki setiap lika-liku kehidupanku.

Terserah apa kata mereka.

Aku sanksikan setiap perkataan dalam rupa yang tak rupawan.

Menjelajahi setiap kepingan kenangan yang tak menyenangkan.

Aku tak butuh itu semua. Cukuplah diriku saja. Bergelimpangan dalam keyakinan bahwa aku bisa melakukannya. Walau tertatih dan terluka.

Berusaha menafikan setiap perasaan yang tak menyenangkan, karena memang tak sepatutnya kurasakan.

Takkan tertindas oleh penampilan zaman yang kadang membelenggu tak terampunkan.

Sudahlah. Cukup sudah rasanya.
Sekian dan terimakasih.

Rabu, 11 Mei 2016

Semrawut Hujan

Hidup itu keras, memang. Bahkan untuk orang sekaliber calon-calon pemimpin masa depan. Dengan berbagai amanah yang pernah diemban, tak pelik pada suatu saat membuat yamg bersangkutan tak mampu untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Apalagi tentang tugas suci kehidupan. Tak jarang banyak yang jatuh bertebaran.

Padahal hanya masalah selesai atau tidak selesai.

Padahal hanya tentang memulai untuk melakukan.

Padahal hanya tentang keberanian untuk berani salah dan menerima kesalahan.

Padahal hanya tentang memperbaiki yang patut diperbaiki, dan seterusnya.

Entahlah. Harus sampai pada titik apa, setitik noktah kesuraman itu mengalahkan sekian waktu yang banyak terhimpun. Hanya 1 saja. Ya, tinggal satu hal itu saja. Mengapa menjadi beban kehidupan yang nyaris membuat sedih sebagian orang?

Dan, derasnya hujan sore ini sempurna membuat semua pikiran mengalir. Kembali ke masa-masa sulit beberapa saat silam. Dan itu kini dialami olehnya yang entahlah. Sudah berapa kali dia jatuh bangun karenanya. Dan entah sudah berapa kali juga menjadi beban pikiran oleh mereka yang tak layak rasanya untuk dipikirkan. Cukup sudah beban mereka di sana. Tak perlulah ditambah lagi dengan cerita pilu yang sebenarnya masih bisa kita tanggulangi sendiri.

Mereka tak banyak meminta apapun dari kita.
Mereka hanya ingin kita menjalankan kewajiban kita. Itu saja. Demi kita juga.

Terkadang, ujian kehidupan membawa angin lain. Entahlah. Mungkin kita terlalu sibuk berada dalam zona nyaman, sehingga sulit  untuk bangkit.

Atau, perlukah kita dihina dan dicaci maki dahulu?

Perlukah kita diinjak dan dipandang sebelah mata?

Lalu setelah itu barulah tersadar kita akan keteledoran dan kesalahan dahulu.

Jikalau saja, masih boleh berandai-andai. Banyak hal yang ingin dipermisalkan. Menjadi buah bibir yang enak untuk diperbincangkan namun takkan pernah menjadi kenyataan.

I can't tell you whatever im feeling right now. Its just you. Its up to you. Your life is yours. But, whatever you do it will be depend on me and us exactly.... And i cant get out from that fact.

I still expect and hope that you will be know all about that.

Mencari rezeki, mencari ilmu, mengukur jalanan seharian~
Begitu terdengar, suara azan, kembali tersungkur hamba~

Minggu, 08 Mei 2016

Arrithmic

Ini seperti kamu yang tak pernah berada di posisi kami. Hey, bayangkanlah. Coba inap menungkan. Dimana letaknya hati nurani? Untuk mengajari barang secuil saja tak ada. Untuk menyalahkan, luar biasa. Bagaimana tidak, bersarang dalam hati kecil kami kedongkolan yang tak bertepi. Belum cukupkah rasanya.

Padahal kami disini bukan untuk menjadi budak intelektual yang bersemayam dalam anggapanmu.

Padahal kaupun harusnya tahu, tak perlu kau mengajari kami seperti itu. Cukup beritahu saja. Tak perlu kau umbar ke seluruh dunia.

Buat apa? Apa kau puas? Apa semua itu membuatmu bahagia?

Dari kami yang bekerja mulai dari pagi hingga ke pagi, tak tentu arah. Hanya mengerjakan segepok orderan yang tak tahu tujuan.

Kesalahan kecil menjadikan seabrek kelelahan kami bertambah lelah.

Hanya masalah air padat yang berada tidak pada tempatnya.

Menjadi budak- dalam keterpaksaan yang tiada berperi. Sudah kuniatkan dalam hati, ikhlas. Tapi segalanya berubah seketika karena eksternal yang entah siapa.

Apalah bedanya memiliki atau tak memiliki? Beda sekali. Memiliki kebahagiaan dan cerita yang bisa dibagi, beda sekali dengan tidak. Carut marut kehidupan bertambah, dan itu takkan menambah keberuntungan.

Biarlah semuanya berlalu. Dan ini sudah berakhir. Maka dengan yakin kukatakan, perlakukan orang seperti kau ingin diperlakukan. Konsisten dengan ucapanmu, seolah kau merasa yang paling benar.

Rabu, 20 April 2016

Aneh

Adakalanya saat tetesan keringat yang turun demi orang lain, tak dihargai. Jangankan demikian, menanggapinya saja tidak. Jangankan begitu, tampak pun olehnya walau jelas nyata berada di hadapannya, tidak ada, samar. Dan hal seperti itu menjadi perhatian lebih saat terjadi hal yang luar biasa. Kejadian yang sama sekali di luar kuasa kita.

Hey, mungkin tetesan air mata tak sanggup lagi terbendung. Ingin jatuh saja, membanjiri setiap kepingan ingatan yang kejam. Berharap, dengannya semua akan luluh, dan hilang. Namun demi apa, tetap saja kenangan menyakitkan itu jauh lebih berkesan daripada yang lainnya.

Bahkan menatap dan ditatap tak lagi sama seperti dulu lagi. Sudah kukatakan, banyak ketidakadilan yang terjadi di sini. Kuatkan saja hati, walau terkadang ia iri. Lepaskan saja emosi, walau terkadang ia greget sekali serasa ingin memuntahkan segalanya.

Banyak sekali. Akankah memang demikian? Saat usaha kita tak dinilai, saat rasa iri merasuki melihat ketidakadilan yang teramat sangat nyata? Membandingkan dan dibandingkan, adalah 2 hal yang tak mungkin lepas dalam kasus yang ada.

Lelah dengan semua ini. Sungguh lelah. Memberi tapi tak mendapat. Mendapat tapi tak sepenuhnya mendapat. Memberi tapi tak ikhlas dalam memberi. Semuanya berjalan dalam "patologi" yang tak berkesudahan. Pada ujungnya, semua saling menyalahkan. Saling ingin membela diri. Tak ada yang ingin disalahkan. Dan meski tak ingin menyalahkan, ada nada-nada sumbang dalam percakapan yang mengarah ke sana. Membuat semuanya semakin nyata.

Wajarlah, wajar memang. Mereka tak mempercayai, begitupun yang lainnya. Tidakkah rasakan keberadaan kami di sini? Yang hampir saban hari tak bertambah apapun selain lelah dan letih yang bertambah setiap hari?

Tetaplah menulis dan menulis. Membuat catatan penyelamatan diri dalam untaian kata-kata yang penuh ironi. Mengarang indah dalam usaha penyelamatan diri yang dikebiri egoisme sendiri. Entahlah. Apakah itu tradisi atau apapun, sebenarnya adalah kesalahan yang sulit untuk dimaafkan.

Menyangkut 2 hingga lebih nyawa.

Tak dapat tidak kukatakan. Menjadi pribadi yang tangguh, sesekali karam juga diterjang gelombang. Sesekali menangis juga sesenggukan. Walau air mata jatuh ke dalam. Kurangkan apalah. Sudah berusaha benar masih tak dipandang, apalagi tanpa usaha. Tapi justru ketidakadilan itu yang berjalan di depan mata. Diam antara ya dan tidak, justru mendapat lebih. Sedangkan berusaha untuk ya dan selalu ingin tahu dan bertanya, aneh jadinya. Terlalu serius atau apalah.

Padahal setiap orang berbeda. Anak kembar sekalipun berbeda dalam beberapa hal.

Bukankah tangguh dan kuat jika kita diabaikan. Maka setiap pekerjaan yang diperbuat tak akan dikenang. Baik tak mengapa, jelek tersebar luas ceritanya. Logika berpikir terbalik ini, benar-benar aneh sekali. Membuat kita bekerja dalam kungkungan ketakutan yang teramat dalam. Membuat senyum, bahkan keikhlasan patut untuk dipertanyakan.

Sudah. Cukup sudah. Melewati hari aneh yang semakin aneh saja. Sudah kucoba untuk menepisnya, membiarkannya berlalu. Cuek bebek saja. Tapi tetaplah, perasaan aneh ini memaksa untuk memikirkannya. Mengkaji ulangnya kembali. Pada siapa sebenarnya kan kupersembahkan kebahagiaan tuk melakukannya.

Kalau beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang begitu cocok sekali denganku, dengan prinsipku dulu. Ya, dulu, sebelum aku berubah menjadi aneh seperti ini.

Tapi saat ini, dengan keanehan ini, semua terasa serba aneh.

Senin, 11 April 2016

Nothing

Bagiku, mengarungi waktu bersama pengharapan2 yang banyak membuatku jantungku berdetak kencang sekali. Kalaulah apa yang kuinginkan tak tercapai, malah membuat diriku sakit, terjatuh, terjerembab, sakit sekali.

Memang aku seperti ini. Lantas harus seperti apa caraku untuk mendapatkannya. Perlukah aku mencari perhatianmu. Perlukah? Padahal aku ada di depanmu, di dekatmu. Sudah kulakukan, kucoba melakukannya dengan secepat yang kau mau. Sudah kukatakan dalam hati, aku akan sedikit lebih cepat darinya. Walau aku takkan sanggup melebihimu. Tapi tak bisakah kau melihatku? Melihat setiap usaha yang telah kulakukan? Atau, menghargai setiap pertanyaan yang terlontar dariku.

Aku yakin, bagimu, aku bukanlah siapa2. Selalu saja aku menjadi innocent di tengah2 hiruk pikuk keberadaanmu. Hey, cobalah mengerti. Memang aku sedikit berbeda. Tapi sama saja, kau harusnya tahu itu.

Baiklah, tak apa bagiku kau tak mengenaliku. Aku memang bukan orang penting di kehidupanmu. Tapi kau cukup sudah mengganggu dan mengusik hidupku. Membuatmu tak mampu melakukan apa yang kumau. Karena kau lebih mendahulukannya. Yang entahlah seperti apa, membuat hatiku mendidih. Benar.

Dan malam ini berakhir dengan indah. Tak bisa tidak kukatakan pada diri sendiri, menjadi apapun tak masalah. Tak disukai orang pun tak masalah. Dikritik, balas pun mengeritik. Tak ada yang tak bisa.

Rabu, 06 April 2016

Nggak Sebatas Daun Kelor

Hey, kenapa sih, kemana2, masih saja perasaan itu datang menggebu2?
Walau sudah dicoba ribuan kali menepisnya. Rasa penyesalan itu selalu saja ada. Apalagi kalau mereka, yang entah siapa, bertanya2 lagi tentang itu. Tahu nggak sih? Kehidupan itu nggka sebatas daun kelor. Yang harus taat asas kebangetan.

Hey, terkadang baper alias bawa perasaan itu datang tanpa permisi dahulu? Dia datang dan pergi sesukanya. Tak ada angin, atau hujan. Yes, i know that. Tak perlulah kau perjelas lagi. I know. Cukup sudah. Aku sudah cukup sekali untuk memikirkan dan memakluminya.

Bahkan beberapa saat yang lalu, saat aku tak merasakan semangat lagi. Entahlah kenapa, adakah yang salah? Benarkah?

Hey, sudahlah. Haruskah aku menggali lagi kenangan pahit yang sudah terkubur itu? Haruskah kalian, atau berhak kah kalian men judge orang lain, sedangkan kalian tak tahu apa2?

Ya, sih. Menurutku, tak perlu menilai orang lain dan berkoar-koar padanya, apalagi kau belum tau dia siapa. Malah baru berkenalan pun, baru saja.

Dan yang kedua, tak usah dengarkan apa kata orang lain. Apalagi yang bikin telinga perih. Ambil saja yang baik dan benarnya, tinggalkan dan buang jauh-jauh yang jeleknya.

Berikanlah yang terbaik. Sebaik apapun. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Seperti itu.

Selasa, 29 Maret 2016

Cermin Kehidupan

Kenangan demi kenangan itu datang, melesat jauh dalam memori ingatan. Saat itu, aku masih kecil. Kecil sekali. Hanya setinggi lutut orang dewasa. Kalaulah berlutut di depan cermin, hanya tampak kepala saja.

Cermin itu sangat besar. Membuatku tampak jelas berada di dalamnya. Terkadang, aku usil mencoretnya dengan spidol yang tak permanen. Menuliskan apapun disana. Menggambar juga disana. Setelah penuh, dihapus. Penuh lagi, hapus lagi. Ya, begitu seterusnya.

Sesekali, aku juga sering menempelkan mulutku disana. Memonyongkan bibir yang sudah memerah karena lipstik ama yang kupakai. Compang-camping. Membuat cermin semakin buram dan tak jelas kelihatannya.

Dan sesekali, kuhempaskan bedak tabur putih disana. Terkadang kucampur dengan air, seperti masker. Tapi, sekali lagi, itu mengotori cermin. Belepotan.

Dan pernah juga, aku berdiri tegak di depan cermin. Lama sekali. Aku melihat seseorang di dalamnya.

Dan aku bertanya. Pertanyaan yang sampai sekarang tak dapat kutemukan jawabannya. Pertanyaan sepele anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa. Lantas saat dewasa, masih sama saja.

Pertanyaannya adalah, kenapa aku ada? Kenapa bentukku seperti ini? Kalau aku tak ada, apa yang akan terjadi? Kalau bentukku berbeda, bagaimana?

Itulah pertanyaan yang melintas, saat itu. Dan entah kenapa, aku ingat sekali. Sangat ingat malah.

Dan aku takut untuk menyadarinya. Bahwa aku diciptakan olehNya, sebagai manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Yang mengemban amanah yang sangat berat. Yang saat ia dilimpahkan pada gunung, ia menolak. Pada laut, juga menolak. Lantas, pada manusia, ia menerimanya. Sebuah beban yang sangat besar.

Tapi manusia diberikan kelebihan, juga kekurangan. Tinggal bagaimana kita memaknai keberadaan kita dalam kehidupan. Apakah ingin menjadi manusia pada umumnya. Atau ingin menjadi manusia yang memegang amanah dengan sebaik-baiknya.

Memaknai setiap kehidupan dalam kedalaman pemikiran. Menelisik hingga jauh, jauh sekali. Untuk apa aku ada, dan aku dilahirkan seperti ini, berada dalam lingkungan yang seperti ini. Lantas, bijakkah jika hanya menjalani kehidupan dalam ketidaksadaran? Alias hanya berambisi pada dunia dan tak terlalu berpusing-pusing dengan akhirat?

Ya, banyak sekali kekurangan yang kumiliki. Bahkan dari dulu sampai sekarang, tak ada kemajuan dalam mempelajari Alquran. Hanya sebatas pendidikan formal saja. Itupun beberapa tahun yang lalu.

Dan kini, semuanya terasa begitu asing. Seolah ada gap yang tak kasat mata terbentang di depan mata. Antara ada dan tiada. Seperti cermin yang memantulkan tapi tak keseluruhan isinya terlihat. Ada sisi yang berkebalikan dari yang seharusnya.

Sepoi-sepoi Cerita Kita

Hidup ini begitu aneh bukan? Saat aku berusaha keras untuk mendapatkan, kecewa yang didapatkan. Namun sebaliknya, saat tak ada passion disana, bahkan hanya menjalaninya dengan rutinitas saja, disitu bahkan diberi sesuatu yang menurutku, ya, terlalu amat gampang untuk didapatkan.

Padahal segalanya berbanding terbalik. Dan begitulah hasilnya.

Padahal awalnya tak ingin, lalu ingin, lalu apa yang akan diyakinkan untuk saat ini?

Ya, kecewa memang. Dengan hasil yang sedemikian rupa. Ada hal yang aku tak tahu harus seperti apa. Ada hal yang harus kulalui dengan sedikit rasa aneh yang muncul di saat-saat seperti ini.

Jikalah tidak karena hatiku sudah mencoba bersabar dan memenangkan kekalahan. Hanya jika aku tak menenggang yang lain dan berbuat sesuka hati saja.

Maka daripada itu, hidup memang aneh bukan?

Entahlah. Saat logika bertubrukan dengan retorika. Lantas pada siapa akan kutanyakan tentang kebenaran?

Pada penilaian yang memaksaku untuk diam. Menerima kenyataan. Saat objektivitas tak tampak. Di pelupuk mata bahkan.

Sudahlah. Tak ada lagi yang bisa kukatakan.

Hey, sudahlah. Ini hanyalah sebagian kecil dari hati-hati yang kurang hati-hati menjaga hatinya.

Sedari dini kukatakan. Hidup ini adalah sekumpulan cerita yang tak berkesudahan. Dan semua gelisah resah tersampaikan pada yang tersurat. Menumpahkan, sekedar mentransfer segala energi negatif dalam diri ke dalam selembar kertas kosong.

Dan aku tersadar pada ceritanya yang biasa-biasa saja. Setelah kujalani dan berada dalam lembar cerita selanjutnya.

"Memang sulit, menerima kenyataan yang seharusnya tak seperti demikian. Sulit sekali. Tapi baiklah. Buat apa berlama-lama disana. Habis hari untuk membuat waktu tak berkesudahan.

Biarlah. Biarkan angin sepoi-sepoi perlahan menghembuskannya. Sehingga ia tak bersisa sedikitpun jua. Entah kapan bila waktunya. Akan ada harinya. Tunggu saja.

Senin, 28 Maret 2016

Perfecto

Ada sejumlah kata yang tersampaikan olehnya. Entah bagaimana aku mencoba untuk memilah dan memilih. Mana yang bisa kuserap, mana yang harus kupantulkan.

Sebab apa? Bagiku, memang mungkin seseorang yang begitu perhatian, keras pikirannya akan kelangsungan sebagian dari kehidupan kita, komentar ini dan itu, ya, pahami saja. Iyakan saja.

Toh, terkadang, menurutku, terlalu banyak bicara, banyak pula yang akan terluka.
Banyak bicara, banyak pula hal yang tak sengaja terlompat.

Apalagi begitu prinsipal sekali. Memberikan judge terhadap seseorang tanpa berpikir ulang. Hidup memang demikian. No body is perfect. Kritik boleh, asal jangan berbicara di belakang. Memandang orang lain sebelah mata. Punya pendapat berbeda boleh. Asal jangan melukai orang lain sering-sering. Bagiku begitu.

Dan sebelum menilai seseorang, pahami betul dia. Bagaimana kondisinya. Apa saja yang sudah dilakukannya. Karena setiap orang berbeda. Bahkan bahasa tubuh seseorang pun, tak bisa menjamin sama dengan apa yang ada dalam benak dan hatinya.

Sekali lagi. Tak bisa tidak kukatakan. Ada banyak detik, menit, jam, dan hari yang akan kulalui disini. Aku juga tak bisa memberikan judge padanya hanya sekilas lalu saja. Ini baru, sangat baru bagiku.

Tunggulah waktu berlalu. Saban hari, dan rasakan, temukan hal yang sesungguhnya.

Rasakan dengan hati, bukan dengan mata.

Minggu, 27 Maret 2016

Post Edition

Aku melihat, menelisik jauh ke dalam diri. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Apalah yang patut dibanggakan pada diri. Tiada. Bahkan hingga detik inipun, tak jua bisa membahagiakan mereka. Jangankan begitu, mandiri untuk diri sendiri secara finansial saja masih belum.

Aku melihat. Sejauh mata memandang, sejauh rasa menerawang. Masih banyak lika-liku perasaan yang telah terkorbankan. Entah itu suka atau tidak. Entah itu ego di masa lama. Ataukah rasa kecewa yang teramat sangat. Sehingga membuatku belum juga berani mengambil keputusan, langkah pasti ke depan.

Padahal dengan itu, setidaknya masih tersisa separuh hari yang berharga. Masih bisa kujalani dengan semangat di usia yang semakin bertambah saja. Masih bisa kutitipkan segala asa pada harapan yang datang karenanya.

Ya, tak ada alasan untuk tak berjuang.
Tak ada alasan untuk bermalas-malasan.
Tak ada alasan untuk menunda kebaikan.

Sebab, waktu berhenti tanpa pamit.
Jantung berhenti tanpa izin.
Nafas tertahan tak berkesudahan.

Dan aku malah merajut semuanya menjadi hal yang tak berkesudahan.

Aku ingin kembali. Kembali padanya dalam keadaan siap. Tak menyesal karena telah menyiakan arti kehidupan dalam laga yang tak berkesudahan.

Aku ingin mengabari pada hati-hati mereka yang menaruh janji suci. Bahwa aku akan berusaha untuk menyanggupinya.
Apapun tantangannya.
Apapun kesulitannya.
Dan apapun risikonya.
Sebab kuyakin semuanya akan berakhir dan menuju ke tempat yang sama.

Senin, 21 Maret 2016

Tonight

Setelah kupikir-pikir, banyak hal yang harus kupikirkan untuk ke depannya. Karena kusadari, kini, dalam lembaran hari demi hari yang terbentang luas dalam rutinitas, ada hal yang tak boleh kulupakan.

Sesuatu yang terlewatkan walau terkadang teringat, walau sepintas lalu.

Itulah dia. Yang entah kenapa, tak bisa tidak jika tak kupikirkan sejak saat ini.

Terkadang, hari demi hari yang sibuk pun tak mampu kujalani dalam arti kata lain.

Walau kusadar sesadarnya, namun rasa itu tak kunjung datang seutuhnya. Masih banyak keraguan, kebimbangan.

Padahal aku sadar, waktu tak banyak. Hari berlalu tanpa iba. Meninggalkanku jauh, sangat jauh.

Dan aku terlalu mengiba pada diri ini. Yang terbuai dalam asa dan rasa yang tak bisa diajak kompromi.

Dan entahlah, jutaan klise ingatan itu datang dengan cepat. Dia yang tiba-tiba saja terpintas dalam ingatan. Lupakan masa lalu, dan sudah seperti itu pun melupakanku begitu saja.

Memang, dunia seperti itu. Namun orang baik takkan seperti itu, kawan. Ingatlah, ilmu alam. Ilmu padi yang kian berisi kian merunduk. Kian ia berilmu, ahli dalam sesuatu hal, kian ia menghargai orang lain, malahan untuk melihat ke arahku saja kau enggan. Sudah kusapa dan kusentuh dengan lembut, kau pun berlalu dengan pasti.

Sama seperti hari-hari yang berlalu, tanpa izin sedikitpun. Datang sesukanya, pergi sekehendak hatinya.

Dan kini tinggallah kenangan menyakitkan yang tak perlu diingat. Hanya akan menghabiskan waktu.

Baiklah. Mari kembali ke tema awal.

Malam ini, tepat sekali, menjelang memejamkan mata, ingin bermuhasabah diri. Sudah lama sekali tak seperti ini. Walau diiringi oleh untaian lagu yang jarang sekali diputar karena ini mengingatkan pada saat-saat penuh emosi. Saat segala rasa saling berkumpul dan bersatu padu memorak-porandakan segalanya.

Dan aku merasa ada sesuatu pada diriku. Yang entah seperti apa, terus mengikutiku.

Walau aku merasa ada, aku selalu berusaha untuk tak memikirkannya.

Awalnya aku takut dan khawatir. Namun lama-kelamaan, ini terasa biasa saja. Tak lagi kupikirkan, walau terkadang sering membuatku kehabisan napas dalam tidur.

Ah, sudahlah. Cerita malam ini terasa aneh. Sekelebat memori yang harusnya tersusun dengan rapi dalam file-file terganggu karena tak ada waktu tidur yang berkualitas sebagai perantaranya.

Sekali lagi, semoga aku bisa melakukannya dan merasakannya dengan sebaik-baiknya.

Just Remember on Something

Okay, this time to kill the time. Tak tahu harus bagaimana lagi. Panas, gerah. Menghilangkan mood weekend yang memang tak berjatah. Bukan apa-apa. Hanya saja, membaca sebagian kecil dari kisah kehidupan membuat kita tak mampu bergerak. Membuat kita hanya diam sejenak. Tahu bahwa kita tak bisa berbuat apa-apa sama sekali.

Bertahanlah. Bagaimanapun, kita memang lelah. Lelah di atas lelah lebih tepatnya. Menghabiskan waktu. Hey, waktu. Bagaimana pula caranya menghabiskan waktu yang waktu itupun dari dahulu sejak sekarang selalu begitu-begitu saja. Tak ada yang berubah. Detik demi detiknya selalu begitu saja. Hanya saja, momen yang terisi di dalamnya-lah yang menjadi pembeda. Entah disadari, entah tidak. Itulah yang terjadi saat ini.

Sudahlah. Lupakan saja. Mungkin dalam konteks waktu ini, sesekali kita perlu merasa berada dalam putaran roda pedati. Sesekali berada di bawah. Terinjak-injak dalam gerakannya yang bertubi-tubi. Tak perlu disesali. Sebab setelah itu ada kelapangan yang datang menghampiri. Terserah kita, mau menanggapinya seperti apa.

Dan aku menghabiskan sisa-sisa waktu yang tak biasa ini dalam mata yang masih terbuka lebar. Walau kantuk yang berkesangatan datang menyerang. Kukatakan tidak. Tidak untuk menyerah pada panasnya malam. Apalagi pada gerahnya keheningan malam yang semakin menjadi-jadi. Membuat bulu roma semakin meninggi.

Seperti apapun, aku takkan menyerah pada waktu. Sekalipun ia dekat, dekat sekali padaku. Walaupun ia menatapku, namun tetap diam. Tak menawarkan apa-apa, yang jika tidak terlalu kupikirkan itu takkan berpengaruh apa-apa.

Aku terdiam, lagi-lagi. Dalam kantuk yang datang menyerang, lebih gencar lagi dari dunia perang. Aku akan tetap bertahan, walau aku tak tahu sampai kapan batas itu kan terlampau.

Sudahlah. Badai pasti berlalu. Ya, benar. Seperti status yang pernah kubuat sebelumnya.

Rabu, 16 Maret 2016

I Know

Setiap jejak langkah dan jejal nafas, aku sadar. Tersadar ataukah disadarkan. Atau malah sadar bahwa masih belum juga sadar sepenuhnya. Putih. Putih demi putih bergelayut tak berisi. Kosong. Banggakah dengan kekosongan yang hampa?

Padahal hanya baru segitu.
Lelah memang.
Serba kekurangan.
Emosi labil menjadi-jadi tak tahu lagi kemana.
Kemana kan diarahkan.

Entahlah.

Minggu, 06 Maret 2016

Cold

Dingin, dan akan tetap dingin. Seperti ini. Tak masalah. Tak apa. Aku sadar diri. Tahu betul diri ini. Kau hanya membutuhkanku saat kau butuh. Selebihnya, kau hanya diam. Tak tahu bagaimana keadaanku. Tak tahu apakah aku butuh tempat berbicara, atau hanya sekedar menyampaikan keluh kesah semata.

Dingin, dan akan tetap dingin. Perlahan-lahan keadaan ini memaksaku untuk kembali ke masa itu. Haruskah? Haruskah aku? Namun tidak dapat tidak. Persis sudah kau melakukannya padaku. Dan aku hanya bisa bertahan dengan diri sendiri. Saat ini.

Dingin. Benar. Kau butuh dan aku selalu berusaha. Dan kini saat kau berada entah dimana, kitapun terpisah tanpa sepatah kata. Hey, bukan. Bukan aku cemburu. Hanya saja, aku merasa. Perasaan ini yang memaksa.

Padalah apa kan kukatakan. Kau yang hanya dekat saat membutuhkan. Persis pada titik seperti ini, kau, kalian, bertubi-tubi melayangkan pertanyaan. Lantas aku apa? Apakah aku hanya tempat pelarian? Apa aku hanya tempat untuk mengisi kekosonganmu?

Kau dan segala yang tak sempat terpikirkan. Ingin kuacuhkan saja semua. Tapi entah kenapa, rasa aneh ini memaksaku untuk berkata lain. Haruskah aku berdiri dan berpijak pada dinginnya malam? Bekunya pagi?

Banyak hal yang berkecamuk. Dalam penantian dan ketidakjelasan. Dan kau baru menemuiku saat ini. Saat segalanya memusingkan kepala. Tidak, tidak mengapa. Pertanyaanmu itu tidak relevan dengan yang kuharapkan.

Dan biarlah semuanya berjalan. Seperti apa adanya. Pasrah dan lain halnya, sudah kucurahkan. Sudahlah. Dingin dan akan tetap dingin.

Sabtu, 27 Februari 2016

Tertatih

Manusia itu selalu saja begitu. Selalu berkeluh kesah. Selalu saja merasa dirinya yang paling malang sedunia. Merasa dia yang paling menderita. Dan merasa yang lainnya.

Padahal, coba saja kalau dia lihat di sekelilingnya. Tidak, tak perlu. Lihatlah di sampingnya, dekat sekali.

Ada orang yang belum seberuntung dia. Masalah waktu. Ya, hanya masalah waktu.

Dan selalu saja begitu. Mereka hanya bisa berisik. Merecoki kekurangannya. Padahal kalau kulihat dan perhatikan, sudah banyak kelebihannya.

Manusia memang begitu. Tak pernah puas.

Tapi setidaknya, bersyukurlah. Karena di luar sana dia masih beruntung dibanding yang lain.

Sesekali melihatlah ke sekitar. Kau lihat. Siapa yang hatinya akan terluka. Atau yang akan sedih walau wajahnya terlihat biasa saja.

Lihatlah. Lihat saja. Bagaimana tidak bisa tidak kukatakan dengan setulus hati. Bahwa kau lebih beruntung kawan. Sudahlah, sudahi saja semua perasaan serba kekuranganmu. Padahal aku yang lebih kurang darimu. Setidaknya untuk masalah waktu. Ya, its about time.

Bukan terbawa perasaan. Hanya saja, kuingin tak ada lagi rasa itu. Rasa yang dulu membuatku aneh. Hingga tak bisa menatap matamu dengan yakin, kawan.

Its about time. Biarkan waktu yang berbicara. Dan selama itu, jadikanlah ia penghias kehidupan. Untuk saat ini dan nanti.

Dariku yang masih berjuang walau kadang tertatih badan.

Rabu, 24 Februari 2016

Keanehan yang Menjadi-jadi

Terkadang, masa-masa seperti ini terasa begitu aneh. Kenangan yang aneh, dan segala usaha yang aneh. Tetap melakukan tapi tidak merasa. Mengikuti tapi tidak merasa mengikuti. Semua berjalan apa adanya, tanpa ada keinginan.

Sudahpun berusaha. Namun tetap saja, belum maksimal. Bolehlah menangis dan bersedih karena masih merasa. Namun tak ada rasa, itulah yang aneh.

Sudah berusaha, dua kali malah. Saat yang lain hanya memberikan bukti otentik yang dapat dirasa, sudah kuberikan rasa yang tak dapat dirasa. Tapi entah kenapa, semuanya terasa sia-sia saja.

Banyak hal yang ada dalam pikiran. Yang sulit tuk dilepaskan. Karena terlalu asik dalam rasa aneh ini. Membiarkan rasa aneh ini semakin menjadi-jadi. Hingga entah kenapa, ini menjadi sesuatu yang nyata keanehannya.

Mencoba mencari-cari alasan. Alasan untuk pembenaran keanehan diri sendiri. Semakin mencari, semakin nampak keanehannya.

Ya, tak ada yang salah dengan pertanyaannya.

Sebelumnya akupun pernah memikirkan, walau sepintas lalu.

Pernah kucoba untuk mencari, namun memang sulit.

Dan lagi, materinya sama sekali tak membuatku tertarik.

Dan hasilnya, adalah keanehan yang akan terpampang nyata dalam sesuatu yang dapat dirasa.

Sudahlah. Sudahi saja keanehan ini. Bagaimanapun, tak ada yang bisa kita perbuat. Hanyalah selingan alasan yang menghangatkan hati. Aku benar-benar gamang hari ini. Ya, gamang sekali.

Saat aku terlupa akan hal yang pernah kuingat.

Saat aku terlupa akan logika yang terlintas walau sesaat.

Dan kesalahannya adalah, aku tak mampu bertahan lebih lama, sedikit lebih lama lagi.

Tak mampu bertahan, bersabar dalam kegigihan.

Walau mataku tak tertarik melihatnya, walau hatiku tak tersentuh merasanya, dan walau aku tak ingin mendekatinya.

Tapi suatu saat nanti, aku akan menghadapinya.

Dan mau tak mau, tak boleh lagi keanehan ini semakin merajai.

Menyalahkan semua hal.

Jadikan ini pelajaran berharga. Tak boleh tidak membiarkan diri dalam kebodohan cinta. Jika telah berikrar padanya, maka ingatlah dia seutuhnya.

Dimanapun dan kapanpun. Jangan pernah berhenti.

Sabtu, 20 Februari 2016

No Mager

Gatal rasanya kalau seharian nggak ada nulis. Gatal jari-jari buat menekan tuts keyboard. Kebawa pikiran selalu. Rasanya, kalau hari itu nggak nulis, ada yang kurang. Kurang lengkaplah.

Tapi nggak jarang juga, nggak ada yang mau dituliskan. Karena berbagai alasan. Entah itu karena kesibukan, atau karena sedang ingin malas-malasan. Menikmati waktu liburan yang cuma di akhir pekan.

Tapi tetap saja, greget jadinya. Ya, sudahlah. Tuliskan saja apa yang ada dalam pikiran. Walau nggak berbobot sama sekali. Yang penting, rasa hati tersampaikan. Walau yang membaca bakal bikin perih matanya. Karena nggak ada isinya.

Well, yang terpikirkan saat ini adalah tentang mager. Alias malas gerak. Inilah sindrom yang terjadi di akhir pekan bagi kebanyakan orang, apalagi mahasiswa. Yang cuma ngetem saja di kosan. Kalo di rumah, bakalan banyak kerjaan karena ada mama dan papa, yang meski kadangkala kasihan juga melihat kita yang lelah "nampaknya", setidaknya masih punya sedikit aktivitas. Bersih-bersih kamar, ngejailin adek, makan bareng keluarga, dll. Banyak lah yang bisa dilakukan di rumah.

Nah, kalo di kosan? Semau gue aja. Mau bersih atau kotor, so what banget?! Kadang saya sempat berpikir, saya adalah orang yang abstrak. Karena kamarnya berantakan, pertanda kreatif. Hmm. Well done.

Tapi tetap saja, sesuatu yang kurang rapi jika biasa seperti itu maka akan jadi kebiasaan. Setidaknya ya, jangan berantakan-berantakan amat lah ya. Ibaray kata pepatah, letakkanlah sesuatu pada tempatnya. Apapun itu, ya, harus rapi. Minimal sedaplah dipandang mata orang. Lamak dek awak, katuju dek urang.

Masalahnya adalah kadang mager datang menyerang. Malas gerak. Standby di kamar sepanjang hari, tapi tak ada yang berubah. Tetap berantakan. Sampah bertebaran di sana-sini. Buku-buku berantakan udah seperti kapal pecah. Hmm, benar-benar kamar yang abstrak untuk ditempati.

Padahal kan, kita sama-sama tau, kalo kebersihan itu sebahagian dari iman. Sayangnya, kala negara mager datang menyerang, maka ya sudahlah. Alamat tetap akan berantakan, ya berantakan. Bahkan untuk merapikan file2 di laptop pun, juga tak terkerjakan.

Kalo mager timbul, lantas harus gimana? Paksakan! Paksakan buat bergerak. Suka atau nggak suka. Mau atau tak mau. Yang pasti, action! Harus kerjakan. Jangan hanya diperhatikan. Kalo belum mulai2 juga, kapan mau selesainya?

Ingat, perjalanan seribu mil dimulai dari sebuah langkah loh.

Makanya, hapus kata-kata mager dari kamus kehidupan. Harus kudu bertindak. Kerjakan. Harus bergerak. Itung-itung olahraga juga biar sehat. Masak masih muda, badan udah ringkih. Mudah kena sakit. Apa-apa serba lambat. Belum tua lagi. Hmm....

Okay, thats all.... Semoga setelah menulis ini yang tadinya tak sempat terpikirkan karena lagi kena sindrom mager. Maka sehabis ini harus take action. Harus selesai semuanya. Udah, itu aja sih.

Kamis, 18 Februari 2016

About Anaesthesia

Kali ini masih bercerita seputar tema yang masih hangat-hangatnya diperbincangkan di dunia perkoasan. Koas anestesi. Yang tak lain dan tak bukan memanglah suatu kewajiban untuk melakukan visite pre operasi ke pasien.

Pre operasi ini, alias pre op pasien adalah saat yang tepat bagi calon dokter untuk mempelajari kondisi pasien. Apakah ia layak operasi, adakah penyulit anestesi yang perlu dikoreksi, adakah keadaan-keadaan tertentu yang membuat pasien harus menunggu dahulu sebelum kondisinya distabilkan. Ataukah, harus segera dilakukan operasi secepatnya, yang bersifat emergensi. Ya, itulah yang harus dipelajari di sini.

Melatih ketelitian. Itulah salah satu inti dari anestesi yang tengah kami hadapi. Teliti terhadap hal sekecil apapun. Mulai dari hasil labor yang penting yang berkaitan dengan penyakitnya, kapan terakhir pasien puasa, ada gigi palsu atau tidak, berapa urin outputnya per jam, dan koreksi yang sudah dilakukan.

Simpel sekali bukan?
Tapi ya, disinilah semuanya dipelajari.
Attitude, skill, dan knowledge. Bagaimana sikap dalam melaporkan pasien. Yang kadangkala memang, kalau lagi sedang malas-malasnya, malas juga rasanya harus pre op dan melaporkan. Tapi suka tidak suka, tetap harus dilaporkan.

Skill. Bagaimana caranya menambah speed dalam mencatat resume penting temuan pada pasien yang sudah ada indonesia rayanya. Bagaimana pula kecekatan kita dalam mempersiapkan alat terutama statics, menguasai kondisi ruangan OK beserta tempat-tempat peralatan yang ada, dan sebagainya.
Dituntut juga skill seperti mampu memasang iv line, intubasi, facemasking, monitoring, dll. Yang itu sih, untung-untungan juga. Juga seberapa besar kemauan kitanya. Kalo lagi rajin boleh minta, biasanya dikasih. Kalo lagi males, nggak minta pun nggak bakal dikasih.

Knowledge. Dapat dideteksi saat ditanya konsulen, atau pas ujian. Nah komplitlah disini. Melibatkan ke 5 inderawi.

Yang selalu bikin deg-degan itu ya, pas dinas. Lagi sunyi sepi di kamar koas, tetiba terdengar ringtone hp hotline anes berbunyi. Nyaring sekali. Langsung sinus takikardi. Horor banget pokoknya. Apalagi yang matanya melek-melek tanggung. Langsung terbangun, walau kadang rasa malas masih tetap setia menyapa.

Trus, yang nggak kalah bikin deg-degan nya lagi, ya, pas ngelapor ke konsulen. Warna warni bangetlah. Nano-nano rasanya. Tiap orang berbeda. Berbeda pula sensasinya. Ya, nikmati sajalah. Namanya juga belajar. Salah-salah sedikit, dimarahi sedikit, wajarlah bagi seorang pembelajar sejati.

Thats all. Just share what i have today. Seperti pain, nyeri. Terkadang perlu terapi kognisi dan perilaku untuk dapat menghilangkan nyeri. Setidaknya untuk mengalihkannya, ya, dengan cara mengganti fokus kita pada hal lain. Salah satunya dengan menumpahkan segala perasaan yang membuncah dalam jiwa, sebentuk sebuah tulisan. Semoga dengan ini, semakin meningkat ambang rasa yang saya punya.
Sehingga bisa lebih tangguh lagi.

Lukisan Kehidupan

Bahkan seorang ahli dalam bidang tertentu pun, masih mencari yang namanya ketenangan hati.

Tak dapat tidak. Ilmu tentang kehidupan luas sekali. Rasa-rasanya, ilmu yang kita miliki hanya setitik saja. Jika dibuatkan ibarat, ilmu yang ada di langit dan bumi ini seluas samudera, maka ilmu kita hanyalah setetesnya saja.

Sangat terbatas sekali ilmu kita, manusia. Tak luput juga dari salah dan khilaf. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Berusaha untuk belajar semaksimal mungkin. Alam terkembang untuk dijadikan guru. Bersyukurlah. Banyak media yang bisa dijadikan tempat pembelajaran. Tentang kehidupan, kesabaran, keikhlasan. Semuanya berujung pada pendewasaan.

Terserah kita akan mengisinya seperti apa. Akankah kita mengisinya dengan perasaan-perasaan negatif yang mencekam diri sendiri. Ataukah kita akan membentuknya menjadi lebih kokoh dan tangguh. Tak mengapa. Terkadang ketakutan yang terbentuk atas dasar ketidaktahuan, justru itulah yang memperkuat. Walau terkadang, kita harus terhempas berkali-kali, perasaan kita terjungkir balik beberapa kali. Lengkap sudah.

Dan itu butuh beberapa waktu untuk sempurna melupakannya.
Setidaknya, suatu saat jika terkenang, maka akan menjadi kenangan indahlah ia.
Indah untuk dipahami, bahwa saat itu kita masih ringkih. Masih tak berdaya. Dan kini, kita telah melewatinya. Dalam ambang berjuta rasa. Berjuta emosi yang berperan di dalamnya.

Dan saat kubaca lagi tulisan-tulisan jejak pertinggal yang telah kubuat, kusadari hakikatnya. Hidup memang berwarna. Ditetesi sedikit oleh masalah. Ditambah dengan sedikit rasa kekhawatiran. Juga ditaburi oleh rasa takut dan emosi yang tercampur adukkan.

Padahal kita belum pernah mencoba. Hanyalah mengandalkan kata demi kata dari orang lain yang terkadang tak sepenuhnya benar. Mencoba membuat berlepas dari tanggung jawab. Sebentuk lukisan yang terlepas dari kanvasnya.

Entah bila akan berubah. Menjadi warna-warna yang terang benderang. Jika bukan kita sendiri yang akhirnya menambahkannya. Dengan senyuman, kesabaran, keikhlasan. Sehingga jadilah ia lukisan yang cantik, meski awalnya banyak kesalahan di sana-sini.

Dan jadilah ia lukisan kehidupan yang menentramkan hati. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, tenang seisi dunia. Tahukah dimana dia berada? Di dalam hati-hati setiap manusia yang rindu akan kehadiran Rabb-nya. Setiap tindak tanduknya selalu terkenang bahwa yang ia lakukan adalah karena Tuhannya. Jadi, sesakit seperih dan sehancur apapun jalan yang ia lewati, takkan membinasakan dirinya.

Karena ia masih punya harapan tertinggi dalam kehidupannya.

Selasa, 16 Februari 2016

Waiting

Masih berbicara tentang menunggu. Ya, menunggu. Tema yang tidak habis-habisnya selagi manusia masih mampu bernafas. Bahkan di dalam kubur pun, masih menunggu sampai waktu yang dijanjikan datang.

Menunggu, untuk konteks ini sangat luas. Menunggu seseorang yang tak kunjung datang, menunggu kelahiran jabang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan, menunggu orang terkasih yang akan menjemput datang, menunggu keluarga yang tengah berjuang hidup dan mati menanti hingga selesai operasi, dan menunggu lainnya. Kompleks sekali.

Menunggu, bagiku tetap saja menyimpan sejuta misteri. Setiap kali menunggu, banyak emosi yang datang silih berganti. Terkadang, aku bisa sabar dalam penantian. Kadang kala, kusisipkan doa agar selamat bagi orang yang ditunggu. Namun seringkali, kutumpahkan kekesalan pada dia yang kutunggu-tunggu. Entah apa alasannya.

Dia yang kutunggu tak kunjung datang.
Dalam harapan yang tersimpan dalam.
Terkadang, aku menangis dalam hati, hanya itu ekspresi diri.
Menunggu dalam sepi, entah dia akan datang, atau malah menjauh, pergi.

Aku dan sejuta kenangan yang takkan terganti. Meski kau tak tampak di mataku, namun dekat di hati. Kukutip kata-kata indah ini, agar kau menyadari. Meski aku kesal setengah mati, aku masih tetap menunggu. Akan selalu tetap menunggu.

Meski aku harus tega membunuh segala rasa dalam penungguan.
Meski aku harus kejam menikam hatiku agar tak larut dalam menunggu.
Meski aku harus bersakit-sakitan agar kau yang lama kutunggu tak membuat batinku tertekan.

Walau kutahu, tak ada yang kutahu satupun tentangmu.

Visite Again

Sore itu, jadwalnya untuk melakukan visite pasien. Istilahnya, sebagai persiapan pre operasi. Karena saat ini, aku tengah menempuh siklus yang melawan arus. Yang awalnya orang sehat-sehat saja, sadar sepenuhnya, harus dibuat menjadi tidak sadar. Membantu pernapasannya, lalu beberapa saat kemudian membangunkannya kembali.

Aku menyusuri lorong rumah sakit sendiri. Seperti biasa. Melewati jalanan yang sudah tak asing lagi. Bangsal bedah. Tempat pasienku berada.

Selamat sore, buk. Perkenalkan, saya dokter muda anestesi.

Percakapan pun berlangsung. Saat itu, pasien didampingi oleh suaminya. Awalnya, aku merasa pasien dan keluarganya sedikit terusik dengan kehadiranku. Sang pasien yang tengah berbaring menahan rasa nyeri yang dialaminya. Sang suami yang dari air wajahnya tampak beban yang berkesangatan akibat sakit yang diderita oleh istrinya.

Usianya masih muda. 26 tahun, hanya 2 tahun selisih dariku.

Tapi beliau sudah menanggung kesakitan yang luar biasa di usianya. Yang semestinya, di saat seperti itu, beliau bisa melakukan banyak hal.

Tapi kini ia hanya terbaring lemah.

Usia muda tak menjamin segalanya berjalan dengan baik. Di saat itulah, ujian diberikan. Apakah kita sanggup menghadapinya dengan baik, sabar dan ikhlas. Atau malah sebaliknya.

Usianya masih muda. Tapi kanker kolon itu sudah merenggut sebagian dari umurnya.

Tak dapat lagi beraktivitas seperti orang kebanyakan. Kemana-mana harus membawa kantong di perut (stoma) tempat buang air besar. Badan yang semakin kurus karena kanker yang mengganas. Merenggut nafsu makan sekaligus sari-sari makanan yang tak dapat terabsorbsi sempurna, dan masih banyak lagi.

Bayang-bayang mengerikan seolah-olah berterbangan di benak. Kejar-kejaran tak hentinya. Dalam beberapa saat percakapan, atau istilah lainnya anamnesis, kutemukan secercah harapan yang tak tersampaikan. Pesan tolong disampaikan padaku, untuk memperhatikan pasien. Memberikan perhatian lebih. Bukan bermaksud ingin dilebihkan. Tapi aku tahu pasti, keluarga, begitupun pasien, ingin diperlakukan dengan baik.

Seperti aku memperlakukan keluarga sendiri.

Seperti aku ingin diperlakukan jika dalam keadaan yang seperti itu.

Dan percakapan singkat itu pun berakhir. Tertumpu harapan yang besar, sama-.

Setidaknya beban itu berkurang. Sampaikan saja, semoga harapan dan keinginan yang sama itu terkabulkan. Terbuka pintu keberkahan dari tiap-tiap hati yang penuh pengharapan padaNya.

Dialah yang menyembuhkan. Lewat tangan para dokter yang berusaha untuk mengobati.

Selasa, 09 Februari 2016

Cekoas : Dinas Malam (ed 4)

Sejauh ini, aku masih sendiri. Menatap mentari pagi dari kejauhan. Menyipit mata dalam perihnya sinar temaram. Bulan pun enggan muncul. Padahal cahaya putihnya masih berkelebat dalam ingatan. Saat tengah malam tadi, sepulang dinas dari rumah sakit ini. Mataku tak pernah lepas menatap rembulan setengah yang dengan setia mengikutiku dari balik kaca helm. Semilir angin malam semakin menambah syahdunya kepekatan alam. Dan kini, hanyalah butir-butir yang tersisa dalam ingatan.

Aku berjalan menyisir koridor rumah sakit. Membelah dengan kejam sengatan dingin sisa semalam. Tak terasa, langkah kakiku memberat. Ada kecemasan yang telah terekat.

Tak bisa tidak kulepaskan ingatan semalam. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah aku yang memikirkannya terlalu dalam?

Seperti biasa, aku dinas berdua dengan koasmate-ku, Waishi. Tak dapat tidak aku terlepas darinya. Bagaimana tidak? Bahkan untuk dinas sekalipun, kami harus selalu bersama. Setidaknya, kalau lagi bosan ada yang bisa kujitak kepalanya.

Hey, bosan? Sejak kapan ada kata-kata bosan dalam kamus kehidupan koas bedah bagiku?

Duduk-duduk manis yang membuatku bosan. Memperhatikan dari kejauhan. Belajar sambil menguap, uap yang melambung tinggi melanglang di udara. Sesekali berjalan, hanya untuk meregangkan otot-otot yang ringkih karena terlalu rigid. Lama-lama bisa jadi kaku, berjalan seperti robot. Oh, no!!!

Tapi memang, kehidupan di sini sangat sederhana. Begitupun pasiennya. Sederhana pula jumlahnya. Tidak sebejibun di Padang. Nyantai lah. Apalagi kebanyakan pasien yang datang ke IGD kebanyakan mengeluh sakit dalam. Alias penyakit dalam. Jarang yang datang dengan kasus berdarah-darah karena kecelakaan. Kalaupun ada, sesekali saja.

Hey, tak pernah lepas pikiranku dari semalam. Ketukan langkah kakinya yang berdetak dengan cepat. Menuruni tangga dengan cekatan. Tak ada apa-apa. Hanya sekedar ingin menyapa kami di IGD saja. Bagiku itu sudah cukup. Melepas kebosanan yang sekali lagi, tak dapat tidak kuungkapkan di sini.

"Aman, dek?"

Seperti biasa. Kata-kata itu terucap. Terlalu amat sering malah. Telingaku tak dapat tidak bergidik mendengar pertanyaannya. Yang selalu ingin memastikan bahwa kami baik-baik saja.

"Aman, bang," jawabku sekenanya.

Entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, hanya seutas senyum yang terlontar dari wajahnya. Senyum khasnya yang tidak pernah lepas menghiasi. Hanya itu.

Dia tak banyak bicara. Tapi dibalik itu semua, banyak hal yang ingin disampaikannya. Dari hati ke hati. Entahlah. Apakah itu hanya perasaanku saja, ataukah memang kenyataannya?

Kami dinas memang berdua. Tapi entah kenapa, dia selalu hadir dan melihat ke arahku. Sekalipun aku berusaha mengalihkan pandangan, seketika itu juga dia berhasil kembali menariknya. Dan aku tak bisa tidak, menolak kebaikannya. Ya, hanya padaku. Tidak pada yang lain.

"Dek, sudah makan dan solat?"

"Makan yang banyak ya."

Setiap hari selalu begitu. Tak pernah tidak dia memberikan perhatian lebih padaku. Padahal, aku tak mengharapkan apa-apa darinya.

Perasaan ini aneh. Mengusikku. Tapi entah kenapa, setiap kali dia memberikan perhatiannya padaku, aku merasa kikuk. Saat dia jauh di mata, aku justru malah lebih sering membicarakannya. Hanya itu saja.

Senin, 08 Februari 2016

Aku Masih Sendiri

Bulir air itu menetes. Titik demi titik menggelayut ringan di atas dedaunan. Semilir angin sepoi-sepoi meliukkan daun yang basah kuyup. Sesekali terdengar suara kehidupan yang mengalir sendu, elegi pagi nan sunyi.

Aku masih di sini. Menanti setiap detik yang terurai dalam menit. Terbungkus dalam arloji waktu.

Sesekali kutengadahkan kepala. Menatap sinar rembulan yang menghilang. Menantang sinar mentari yang enggan datang.

Hanya gemerisik rinai nan terkembang.

Burung-burung kecil berkicauan. Sahut-menyahut beriringan. Bermain-main lincah di atas nyiur kelapa yang melambai. Elok nian. Sesekali terjatuh jugalah tetesan air langit. Melesat cepat membelah udara. Mengikuti arus gravitasi yang tak kasat mata. Dan hilang. Meresap cepat ke dalam tanah lembab. Meninggalkan keelokan irama pagi hari ini. Hanya untuk menanti esok hari.

Aku masih di sini. Ya, tetap di sini.

Banyak hal yang kucemaskan. Banyak hal yang kuabaikan. Mencoba menemukan setiap jawaban dari pertanyaan yang entah kapan dipertanyakan.

Hingga kusadari, kewajiban yang tak lagi wajib. Kutinggalkan tanpa perasaan bersalah. Ada yang salah. Jerih pagi yang mengembalikan ingatan.

Hingga kusadari, entah sampai kapan akan bertahan. Berlindung di balik wajah-wajah buram. Mengatakan seolah aku baik-baik saja, hanya sebagai hiburan.

Dan aku yakin, tak ada hari yang seindah pagi ini. Saat aku masih sadar dengan pepohonan dan dinginnya pagi yang menyentuh.

Aku masih sendiri. Dan akan tetap merasai hati yang tak berbilang jumlahnya.

Sabtu, 06 Februari 2016

Cekoas : Pre Parade (ed 3)

Kepalaku sakit, nyeri. Susah payah mencari asmef, tak bertemu.  Hari sudah larut. Susah sekali melupakannya. Line tentangnya, juga tentang parade esok hari.

"Aaaargh, rasa-rasanya kepalaku mau pecah," teriakku.

Bagaimana ini? Masih banyak materi yang belum kupelajari. Masih sangat banyak. Aku memegang 8 pasien. Baru separuhnya yang kubaca. Itupun hanya superfisial saja. Belum lagi ketakutanku menatap hari esok. Menata hati agar tak bingung sendiri.

Aku melangkah gontai menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, tanganku sibuk memegang hp. Membaca ulang lagi  semua diagnosis pasien. Aku diantar papa dengan motor. Dingin angin sepoi-sepoi membasuh badan. Semakin menambah kekalutan hati.

Berharap hari ini akan baik-baik saja.

Kakiku melangkah tergesa-gesa. Hari baru jam setengah tujuh. Tapi rasa-rasanya sudah telat sekali. Ada beberapa bed yang masih kosong. Khawatir terisi dan tak sempat aku periksa. Itulah salah satu kegalauan terbesar kami. H-1 parade dan mendapati bed yang banyak kosong. Itu tandanya, esok hari kami harus kejang-kejang memeriksa pasien dan langsung mempelajarinya sekilat mungkin. Minimal tau diagnosis dan temuan klinisnya. Ya, dan semua itu bercabang-cabang dalam kepala. Bercampur baur antara satu pasien dengan pasien yang lainnya. Sempurna sudah membuat takikardi.

Selalu saja begitu. Selalu aku yang pertama menginjakkan kaki di bangsal ini. Belum tampak batang hidung teman-teman yang lain. Jangan-jangan, mereka benar-benar # le fort I eksaserbasi akut. Ckckck....

Malah tadi pagi, ada yang mengirim wa.
"Dimana Bah?" Tanyanya.
"Masih di rumah, mau berangkat lagi," jawabku.
"Buruan Bah, bang Habib udah nanyain tu," balasnya lagi.
"Iya, telat dikit. Sekarang udah dimana Wai?" Balasku lagi.

Dan percakapan itu berakhir. Aku sebal setengah hidup.

"Awas saja ntar kalo ketemu dia, apanya yang udah dicariin. Dia aja belum datang, huuft," desahku kesal.

Aku menggerutu. Berjalan melewati koridor cp lalu lanjut ke cw. Melihat bed yang kupegang. Apa ada pasiennya yang bertambah, berkurang, atau bertukar orang. Celingak-celinguk sendiri menatap tiap-tiap pintu. Pastilah keluarga pasien bingung melihatku yang juga kebingungan. Hmm....

"Dek, visite ya," seseorang mengalihkan kebingunganku. Jalannya cepat, bergegas ke ruangan pertama.

"Buk, apo nan taraso kini?" Tanyanya. Sambil memeriksa pasien, melihat hasil rontgen. Aku mengikutinya kemanapun dia pergi. Hanya aku sendiri. Huuft. Yang lain entah dimana. Kutanya di grup, tak ada satu pun yang respon.

Personal chat waishi, pun tak kunjung membalas. Kesal.

Kupikir aku sudah telat. Kupikir benar-benar dicari oleh residen karena belum juga datang. Ternyata, kenyataannya seperti ini.

Tak ada yang mencari. Pun tak ada yang menanyakan.

Bang Habib masih sibuk memeriksa satu persatu pasien. Aku celingak-celinguk tak menentu. Maklum, baru hari kedua disini. Dan visite semua pasien seperti ini. Sebanyak ini.

"Bah, berapa orang pasien?" Tanya bang Habib sepintas lalu.

"Ada 8 bang," jawabku.

"Udah belajar kan buat parade nanti?"

"Iya, bang. Tapi masih ada yang ragu," tambahku.

"Kalo ada yang ragu tanya aja, Bah," sambungnya.

Sudah semua ruang cp kami visite. Sekarang tinggal cw, lalu lanjut kelas. Dan satu persatu temanku datang. Mengelilingi bang Habib yang visite. Waishi juga sudah datang. Baru nampak batang hidungnya.

"Wai, mana ni yang katanya udah dicariin bang Habib? Bohong aja," kataku padanya sambil manyun. Tampak sudah aku yang kesal plus tak terima dibohongi koassmate yang memang mate sekali buat diajak kelai.

"Hhe, iya. Kan aku bilang bang Habib cuma nanyain doank. Bukan nyariin," jawabnya berkilah.

"Bohong, pokoknya bohong," jawabku.

"Jangan marah donk Bah. Ahaha, ambo cuma bercanda. Soalnya kan tadi malam ada yang nge-line kasih semangat gitu kan Bah. Semangat belajar buat Habibah untuk parade hari ini," jawabnya asal.

"Tttsss.... Diem lah Wai. Jangan keras-keras, ntar tau orang," jawabku berbisik. Tak ingin percakapanku terdengar oleh bang Habib yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Kami masih visite pasien bersama abangnya.

"Kok gitu? Kan biasa aja Bah. Cuma semangat belajar parade aja kok, hhe," jawabnya lagi, ini anak bener-bener pengen ditabok lah. Ngajak kelai aja terus. Nggak mau kalah.

Kalau tau kayak gini, mending nggak usah cerita aja, huuft....

"Ini pasien siapa? Coba laporkan," kata bang Habib pada kami. Dan kebetulan banget, itu adalah pasienku.

"Saya bang. Seorang pasien perempuan umur 52 tahun dengan diagnosis karsinoma sel skuamosa, hari rawatan ke 4, rencana pro wide eksisi bang," aku melaporkan.

"Ya," kata abangnya.

"Jadi, biasa konsulen tu nanya. KSS tu apa? Apa tu, Bah?" Tanyanya padaku.

"Belum baca bang," jawabku.

"Jadi KSS itu adalah.......," dia menjelaskan padaku dekat singkat dan padat. Setidaknya tidak zong lah pas nanti ditanya konsulen. Katanya sih, kalo zong, bisa-bisa kami diusir semua. Suruh balik lagi ke Padang. Hmm....

"Cieee," seseorang mengusikku. Siapa lagi coba. Mate yang tak matching sama sekali. Kalo dekat-dekat pengen ditabok rasanya. Tapi kalo jauh, kangen dia juga. Coz, nggak ada yang bisa ditabok. Sumpah lah. Hha....

"Cie cie apa ni? Nggak ada yang perlu di ciee in! Udahlah, diamlah lagi Wai!" Jawabku ketus.

"Pemarah mah," timpalnya.
"Biarin," balasku. Aku menggerutu tak sabaran. Kalau bukan masih visite, sudah ku putar-putar ni anak di atas lantai pakai jurus aikido sampai vertigo. Sampai menggelinding kayak kelereng. Huuft, bikin emosi aja.

Tapi tetap saja, ada secercah rasa aneh di hatiku. Aku marah, tapi ada juga rasa bahagia. Entahlah. Karena apa ya? Akupun bingung. Setidaknya, aku tak perlu terlalu mencemaskan banyak hal disini. Aku, habibah.

(To be continued)