Rasanya begitu sesak dalam dada. Ada semacam emosi yang tertahan. Berkali-kali kalimat parah itu melesat kencang ke telinga, menggetarkan timpani yang serasa ingin pecah. Berkali-kali juga, gemeletuk dalam hati menikam, mendidih. Benak di otak ribuan kali lipat bertopang dalam gemuruh amarah. Ah, benar-benar....
Berbicara sedikit, salah. Ditanya, tak paham, tak tahu, diam, salah. Sekali berbicara, meski sudah berusaha berani-beranikan diri, keliru, salah. Apalah lagi dikata. Sejak zaman baheulak sampai sekarang pun, tradisi salah pada orang yang sedang belajar tak mengapa, menurut hematku.
Kalau sudah pintar, tak lagi salah, lantas buat apa belajar.
Belajar bagiku, adalah sebuah proses panjang. Entah kapan itu dimulai, dan berakhir saat waktu yang telah ditentukan.
Meski kadang kala, ada kebingungan tak terperi dalam benak. Banyak hal yang berkecamuk, mengumpul di langit-langit benak. Namun, hanya sepersekian kecil yang keluar lewat kata-kata. Dan itu terlalu singkat malah, bahkan kosakata aneh melalang dalam wernickle dan tersampaikan lewat broca. Membuat persepsi orang lain salah, keliru. Dan lagi-lagi, harus digantikan dengan rasa sesak yang mendalam. Teramat sangat malah.
Pekak membran timpani tiada yang menandingi. Afirmasi kata-kata tiada henti yang berkecamuk, tak sadar diri. Dengan tega mengisi relung-relung kosong benak yang memang belum terisi penuh.
Dan entah sampai kapan akan terisi sepenuhnya.
Entahlah.
Hanya rasa yang tertuang dalam jiwa, hanya itu saja.
Sekali-sekali salah, tak mengapa.
Sekali-sekali khilaf, pun demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar