Sabtu, 30 Januari 2016

Cekoas: Dinas Daerah (ed 2)

Kakiku melangkah, sepi. Terdengar suara tapak kaki, pelan sekali. Hari masih sunyi. Hanya deru angin dingin yang riang mengelilingi. Langit masih suram, kelam. Nyaris bulir-bulir air membasahi. Namun terhalang olehku. Ya, aku yang selalu memakai warna cerah kemana pun pergi. Hari ini, kupakai warna mentari pagi, jingga bling-bling yang berbinar. Berharap hari pertama di daerah dingin berselimut kabut ini, membawa keberuntungan bagiku.

Dinas daerah pertama di siklus ini. Daerah yang tak asing lagi bagiku. Berada di sini, mengembalikan sejuta kenangan kehidupan masa kecil. Tapi tidak dengan hari ini. Aku yang merajut masa depan dalam harapan yang tak berbilang.

Masih gelap. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong jalanan sempit rumah sakit. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungku.

"Tak apa," lirihku.

Lagipula, aku sudah sering mengalami hal yang lebih mendebarkan daripada berjalan seorang diri di rumah sakit. Mulai dari mencium aroma menyengat kadaver, tengah malam datang ke bagian forensik untuk PL mayat, hecting berdarah-darah, dan lainnya. I like it. Itulah sebabnya, bagiku, ini biasa saja. Hanya persoalan waktu saja.

Dan tibalah di bangsal bedah. Aku masuk ke dalamnya. Melewati bibir pintu putih yang tinggi. Ada papan nama pasien yang menghalangi. Petugas kebersihan sedang sibuk membersihkan lantai, menyapu dan mengepel. Aroma apel tercium. Aku menelan ludah.

No one here. Itu berarti, baru aku yang datang pertama kali. Yang lain belum tampak batang hidungnya sama sekali. Entahlah. Semoga saja mereka tidak mengalami insiden # le fort I bersamaan. Hmm....

Tiba-tiba saja ada seseorang yang berjalan terburu-buru ke arahku. Melayangkan sebait senyuman tipis. Lalu bergegas ke arah tumpukan status pasien. Sibuk menjejali satu demi satu status, membuat follow up dan rencana demi rencana pasien.

Masih bingung. Aku mendekatinya. Dan dia masih sibuk dengan tugasnya.

"Pasiennya sudah dibagi?" Tanyanya padaku.

Dalam iringan detik demi detik yang melambat, aku berpikir cepat. Dia, bukankah residen yang beberapa saat sebelumnya sempat terlintas dalam pikiranku? Namanya dr. Habib, bukan?

"Mmm,,, eh, ya. Belum, bang," jawabku.

"Bagi pasiennya ya, trus di follow up tiap hari."

"Iya, bang," jawabku sekenanya.

Hari pertama disini asik. Kami memperkenalkan diri kepada semua bagian di bangsal bedah. Mulai dari konsulen, perawat, dan juga di igd. Kami adalah koas baru di siklus ini, mohon kerjasamanya. Hhe. Begitulah kira-kira isi hati kami. Berharap semuanya akan baik-baik saja.

Ya, aku senang ada disini. Suasananya menenangkan. Dingin, dan banyak pilihan makanan. Juga yang tak kalah asiknya, aku dinas bareng dengan koassmate-ku, waishi yang baik hati dan tidak sombong. Selalu ada di saat kubutuhkan. Tak bisa tidak tanpa dia. Kemana-mana, harus ada dia. Kalau tidak ada dia, moodku terbanting ratusan kali. Pokoknya, paket komplit lah.

Disini asik. Hanya saja sedikit geges, ya maklum saja. Pasien banyak, jumlah kami hanya 6 orang. Rata-rata pegang 9-10 pasien. Momen yang selalu bikin was-was ya, saat parade. Kami harus menguasai semua pasien, dan tak boleh ada yang tak bertuan. Ckck. Its so nice to try.

Malam menyergap dalam sepi. Saat manusia kembali dalam peraduannya. Begitupun alam semesta yang tak ingin berpisah lama-lama dengan hangatnya mentari pagi. Mataku masih belum dapat terpejam. Rasa deg-degan menyelimuti. Seperti apakah parade yang dikata orang mengerikan itu? Yang jika salah sedikit saja, maka kalian akan dikeluarkan dari parade. Hmm, i cant think. Buku bedah de jong terkembang di depan mataku. Status demi status pasien yang tersimpan rapi dalam gadgetku, masih belum kunjung habis. Mataku perih. Ngantuk menyergap. Dingin malam bertambah kian menjelang. Tak bisa tidak kuabaikan rasa manusiawi yang ingin tenggelam.

Tiba-tiba saja, hpku bergetar. Line, pesan baru masuk. Dan coba tebak, siapa? Bang Habib, foto profilnya terpampang di line. Pesannya, "semangat ya belajar buat parade besok."
Aku berpikir sejenak. Dari mana dia bisa mendapatkan kontak line ku? Padahal rasa-rasanya, dengan tadi pagi, baru bertemu dengannya yang kedua kalinya. Iya, baru 2 kali. Dan tiba-tiba saja, dia ada di depan layar hpku.

"Hmm,,, oke, i will try best," lirihku. Tak perlu diingatkan pun, aku akan belajar dengan giat. Hanya saja, malam yang semakin larut membuatku tak bisa berpikir jernih. Seketika jemariku spontan membalas line. " Iya bang." Dan percakapan itu, merupakan awal dari segalanya. Ya, segala yang menyangkut pautkan perasaanku. Aku, Habibah.

(Continued....)

Minggu, 24 Januari 2016

Sunflower

Mentari pagi malu-malu muncul dari persembunyiannya. Ya, tentu saja. Dia bersembunyi di belakang awan yang mengitari horizon timur. Lama sekali. Buktinya, masih belum juga terdengar suara azan. Mataku sudah tak dapat dipicingkan lagi. Tak ingin melewatkan hari ini.

Namaku Ra. Dan aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas 1. Aku selalu tersentak setiap jam 4 pagi. Selalu. Ada ataupun tidak alarm, mataku selalu terbuka. Terkadang, rasa malas datang. Sekuat apapun usahaku, tak dapat kupejamkan mata. Terdengar jelas di telinga detik demi detik jam dinding yang tergantung di kamar berbunyi. Sempurna, menambah aura lengang pagi hari.

"Nak, bangunlah. Hari sudah jam 6. Matahari sudah naik. Jadi tidak, kita pergi ke pasar pagi?" Suara Amak terdengar samar.

"Benarkah?" Hah, aku tertipu dalam mimpi. Ternyata aku masih tertidur. Lelap sekali. Sampai-sampai tak menyadari, sudah hampir hilang waktu solat subuh. Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur. Dengan mata yang masih menyipit, masih berusaha menyamakan sinar terang yang mengiritasi mata. Nyaris terjatuh, terpeleset lantai berkeramik yang licin. Tercium aroma apel. Menyebar ke seluruh penjuru rumah.

"Nyaris saja," keluhku.

Aku bergegas. Geges sekali pagi ini. Jangan sampai matahari terlampau tinggi. Boleh jadi aku ketinggalan momen penting dari pasar pagi. Kapan lagi? Kalau tidak hari ini.

"Mak, dimana perlengkapan ke pasarku?" Aku.

"Ambil di kamar sebelah, Nak. Cepatlah."

Pasar pagi ramai sekali. Tapi sayang, ada yang berbeda. Tak ada lagi yang jualan susu kedelai, bakso tusuk, apalagi kacang kedelai rebus atau yang sering disebut "kacang babulu". Padahal, itu adalah favoritku waktu kecil.

"Ah, ada apa gerangan? Apa mereka sudah tak mau lagi berdagang?" Lirihku.

Oh, ternyata usut punya usut, ada sesuatu. Ada beberapa orang berseragam. Satpol PP ternyata. Sudah beralih fungsi tempat ini. Pasar yang tak lagi pasar. Atau barangkali, hanya terkhusus pagi inikah? Entahlah.

Aku dan Amak mengitari pasar pagi. Berharap bisa bertemu penjual makanan yang kurindukan. Tapi sayang, tak bertemu sedikit pun. Kecewa. Tapi apalah daya.

"Lain kali, kalau ada ketemu, Amak belikan."

Aku hanya mengangguk dalam hati. Memasang wajah kecewa, entah seperti apa penampakannya. Sampai-sampai membuat Amak bertekad untuk mencarinya sampai dapat. Hmm....

"Tak apalah, Mak. Aku memang ingin. Tapi tak mungkin memaksakan kehendak. Tak ada niat di hati untuk menyusahkan Mak," sahutku dalam hati.

Sampai sudah di rumah. Hanya ada lontong sayur, tapi tak mengapa. Yang penting, pagi ini aku masih bisa makan bersama Amak. Sebelum esok hari, saat aku harus berpisah dari Amak demi sekolah.

Dan, aku melihat tas kecil berwarna merah. Tas mukenah. Aku suka warnanya. Juga ingin meminjamnya dari Amak.

"Mak, mukenah Amak ni bagus. Pengen lah dibawa ke sekolah, Mak" kataku.

"Oya, tapi mukenahnya belum Mak cuci. Juga ada yang robek sedikit Nak. Biar Amak jahit lalu Mak cucikan ya."

"Kalau begitu tak usahlah, Mak. 1 jam lagi aku akan berangkat Mak. Mobil jemputan akan segera datang. Tak akan terkejar. Besok-besok saja bisa Mak," lirihku.

"Nggak apa, Nak. Bisa kok," jawabnya.

Entah bagaimana, aku sibuk mengemasi barang-barang yang lain. Memasukkannya ke dalam tas ransel besar. Tak terasa, terdengar suara klakson mobil memanggil-manggil. Pertanda aku harus segera pergi.

Dan, Amak membawakan mukenah yang sudah dicuci dan sudah kering. Aku terharu. Pengorbanan Amak benar-benar luar biasa. Padahal, aku tak melakukan apa-apa pada Amak. Belum bisa membantu Amak banyak. Masih banyak kurangnya anakmu ini, Mak.

Dan mentari hari itu tenggelam. Dalam ruang dan waktu yang berlainan. Meski demikian, Amak tetap ada di hatiku. Sepersekian menit sesaat mentari hilang, aku terpana. Melongo sesaat. Setelah itu, aku ingat Amak. Mentari tadi pagi jadi saksi kebersamaanku dengannya. Dan sore ini, menjadi saksi pula saat aku berpisah dengannya.

Terimakasih Mak, atas segalanya. Tak bisa kusebutkan satu-satu kebaikan Amak. Sangat banyak, sebanyak bintang di langit. Semoga Amak sehat selalu dan berkah usianya. Aamiin.

,,sunflower,,

Call My Mind

Tak ada yang kebetulan, memang. Bahkan terkadang, kalau kata2 itu tiba2 saja meluncur, akan tetap sama saja. Tidak ada yang kebetulan. Hal sekecil apapun. Semuanya telah digariskan. Sudah tertulis dalam takdir. Mau suka atau tidak, mau senang atau sedih, semuanya memang sudah ada. Terserah kita, mau menanggapinya seperti apa. Ikut larut dalam kesedihan. Atau memaknainya sebagai ujian kehidupan. Telak menambah rasa syukur bahwa ujian demi ujian semakin mendekatkan diri padaNya.

Bahkan bertemu dengan orang baru. Yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran. Jangankan demikian. Bahkan menaruh perhatian padanya saja, enggan. Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, sempurna sudah menarik perhatian. Habis sudah tenaga mmemikirkannya. Entah kekuatan apa yang membuatnya harus diperhatikan. Entahlah.

Hei, coba lihat sekeliling. Perhatikan. Apa pernah kita mencoba memaksakan kehendak untuk memilih bertemu dengan dia, atau mereka. Atau ingin mendapat ini itu dan segalanya. Tanpa kebetulan atau kehendakNya, manalah akan terjadi yang demikian. Tak akan pernah.

Dan pernahkah kita merasa. Seketika dunia berbalik menyerang kita. Serasa hancur lebur dalam sekejap mata. Runtuh sudah rasa yang sudah terbangun dalam asa. Dan seketika terbangun, hanya ada rintihan hati yang tak menyana. Kalah dalam kebencian yang membabi buta.

Peluk erat2 kebencian itu. Peluk saja seeratnya. Pastikan tak ada yang terlewatkan. Dan biarlah dunia berkata2, terserah apa. Menyaksikan kehendak hati yang tak tersampaikan. Menyaksikan keinginan yang tak berkesudahan. Hingga lelah bahkan lelah datang menyapa. Entahlah.

Sabtu, 23 Januari 2016

Mentari

Peluk erat2 kebencian dan rasa muak itu. Sulit memang. Berdamai dengan hati. Dalam kekalutan suasana hati. Aku yang meraung, tersembunyi. Tiada orang yang tau pasti.

Peluk erat2 setiap hari. Mentari yang sama akan muncul, setiap hari. Entah sudah berapa hari yang terlewati. Kenangan demi kenangan terlintas di sini, ya, dalam hati yang sunyi.

Begitu banyak kebencian yang tertanam. Entah berapa lama semua ini akan tersimpan. Tinggal menunggu detik demi detik dan semuanya akan berantakan. Kejam.

Mentari pagi akan menyinari. Selalu. Walau diliputi kabut. Dan aku tahu, entah kapan hal itu akan terus berlanjut. Sampai habis hari, habis masa. Aku menghitung hari demi hari dalam rentetan keluhan yang tak berkesudahan.

Jumat, 22 Januari 2016

All is Well Free Day

Aku menatap langit biru. Benar2 biru. Tanpa awan sehelai pun. Dan kusadari bahwa aku sedang berada di sini. Tepatnya di tengah2 ruangan ini. Hari jumat barokah. Yang siapapun pasti senang akan hari ini. Banyak kebahagiaan tak terhitung pada hari ini. Dan itu ingin selalu kutanamkan dalam hati, all is well. Semuanya akan baik2 saja.

Dan aku masih memantapkan hati. Sesusah dan sesulit apapun situasi hari ini. Serumit dan seburuk apapun kenyataan hari ini. Itu semua sudah tertulis lengkap di sana.

Lelah rasanya berkecamuk dalam pikiran. Sibuk menggerutu ke sana ke mari. Yang dikatakan pun belum tentu berubah, pasti. Sibuk sajalah perbaiki kesalahan diri sendiri. Jangan lagi menodai hati, cukup sudah. Lelah.

Toh, tak akan berbunga pohon yang sudah mati. Tak akan terbang ayam jantan di ladang. Pun tak akan kelam hari saat siang. Dia sudah ada, dan sudah kejadian. Sesuatu yang kutakutkan itu menjadi kenyataan. Dan itu, tidak, tanpa perhatian mendalam. Sudahlah, sudahi saja berandai2 riang dalam kenangan. Hanya menambah luka saja. Perbaiki hari ini, dan untuk hari2 selanjutnya.

Aku kasihan, mengiba pada hari yang kucintai. Yang setiap kedatangannya selalu dinanti. Paginya saja tersambut dalam senyuman merekah. Dan itu selalu, sejak dulu kala. Dan pagi tadi, aku iri pada mereka yang bisa menyenandungkan zikir dan amalan sunah hari ini. Benar2 iri. Ah, andai saja aku tak sesibuk ini. Andai saja orang itu bisa mengerti, dan berbagi kelelahan yang kualami.

Dan aku masih merasa takkan ada rasa untuk ini lagi. Biarlah. Bagiku, setiap kali berada dalam keadaan seperti ini, memaksaku untuk kembali seperti dulu lagi. Haruskah lagi, kukerjakan segalanya seorang diri seperti menggaris pinggiran kertas karton kuning? Yang tepi2 nya terhiasi dengan ukiran2 yang aku tak tahu apa. Asal mengisi ruang kosong saja. Ya, karena aku tak lagi punya waktu untuk berpikir lebih jauh lagi. Tak ada. Sudah banyak tercurah bersamaan dengan yang kutuliskan di sana. Lengkap sudah!

Hey, pada siapapun yang membaca tulisan ini. Jangan bingung, dan jangan ragu. Ini hanyalah sebuah media yang baik untuk mengenang waktu. Kelap kelip kehidupan datang silih berganti dalam pikiran. Tak mau antri mencurahkan mana ingatan yang lebih penting atau tidak. Bagiku, ya, ini hanyalah sebuah cerita.

Dan detik2 berlalu dalam hening. Masih terngiang2 kejadian tadi pagi. Masih. Entahlah. Banyak hal yang kupikirkan. Banyak hal juga yang kurencanakan. Setidaknya, tiada kata untuk menyerah. Sehabis2 rasa, rasailah rasa itu sendiri. Semati2 kata, diam dalam hening akan lebih baik daripada menghilang.

Karena setiap orang berbeda. Benar2 berbeda. Idealisme tiap orang tak sama. Kadang untuk ini kita harus pandai memilah dan memilih. Ya, walau terpaksa. Menyindir kadang tak mempan. Menunduk dalam sudah jadi hal biasa. Menembak jitu apalah lagi. Kalau lah rasa dan periksa itu benar yang hilang. Kalau lah emosi itu benar yang tak bisa dikuasai.

Manusia memang unik. Dalam ingatan masing2 orang. Terserah kita mau memilih yang mana. Memilih dikenang dalam memori baik hati, atau memilih dikenang karena emosi tinggi. Atau memilih diam, bungkam. Sibuk dengan dunia sendiri. Terserah. Pilih saja duniamu. Untaiannya ada dalam setiap dirimu.

Jumat, 15 Januari 2016

Too Much Know, Too Much Hurt

Untuk seseorang di sana, yang ingatan akannya masih melekat. Tak henti-hentinya pikiran ini terus menerawang. Sudah, cukuplah. Too much know, too much hurt. Begitulah keadaan yang sedikit memaksa untuk "latihan fisik", bahkan jiwa. Katanya sih, jika itu menghilang dalam semalam, maka abaikan saja.

Ya, tentu. Masih ada beberapa jam lagi menjelang esok hari. Dan aku, sempurna sudah terperangkap dalam zona yang tak dimengerti. Berkali-kali kucoba untuk meyakinkan hati. Tak peduli. Tapi tetap saja. Masih terbayang di pelupuk mata. Masih terngiang-ngiang dalam asa.

Terlalu banyak mengetahui, terlalu. Akan lebih baik jika diam saja. Atau, biarkan ia berjalan sesuai koridornya. Tak perlu dipaksakan jalan ceritanya. Biarlah. Cerita akan tetap indah walau tanpa klimaks. Indah untuk dikenang. Simpan dalam hati saja. Dan entah sampai kapan, skenarionya akan berakhir, cukuplah waktu yang akan menjawabnya.

Hey! Untuk seseorang di sana!
Berbahagialah!
Karena kau berhasil, sekali lagi, berhasil menarik perhatianku.
Membuatku tak mampu tidak, untuk terus memikirkanmu.
Walau aku tak tahu, seperti apa dirimu.
Ya.... Kamu....

Abaikan saja. Ini hanyalah sebuah kata-kata, yang terkumpul dalam sebuah kalimat. Dan kini menjadi sebuah cerita yang tak akan pernah usai.

Karena aku dan kamu, bukanlah apa-apa. Karena aku dan kamu, bukan siapa-siapa.
Karena aku dan kamu, hanyalah manusia biasa.

Ya,
Too much, its enough.

Sabtu, 09 Januari 2016

Sudahlah

Akhiri saja, semuanya. Sebenarnya banyak hal yang ingin disampaikan. Entah pada siapa. Siapa saja, terserah. Hanya ingin menyampaikan, ya, itu saja.

Sudahi saja. Sudah. Terlalu banyak angan, menyesakkan jiwa. Bagaimanalah cara menata hati. Sedangkan tindakan tak selaras dengan pikiran. Nothing to do.

Hanya ingin menepis ragam rasa. Berjuta  rintik air awan pekat menyelimuti hati. Dan entah kapan, pelangi kan datang.

Terbatas dalam banyak hal. Termasuk menyampaikan segalanya. Hey, tolonglah. Mengerti aku. Inilah aku apa adanya. Tak bisa tidak kuungkapkan. Iya, kamu.

Hey, kamu yang ada di sana. Matamu tak bisa tidak terhalang. Melihatku saja kamu enggan. Apalah lagi menyampaikannya. Padamu yang entah siapa.

Rabu, 06 Januari 2016

CeKoas : Habibi dan Habibah (ed 1)

Padalah apa kan kusampaikan. Jutaan tanda tanya yang semakin menyana. Padalah apa kan kukatakan. Cerita demi cerita bergulir apa adanya. Yang entah kapan, mungkinkah di masa depan hanya menjadi kenangan? Tidak, bukan itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin menjalani hari-hari dalam kekinian yang nyata. Itu saja.

"Hey, dengarlah," suara hati menggema. Memecah sunyi hati. Rami sekali disini. Suara monitor bising disana-sini. Puluhan derap langkah cepat tak henti-henti datang silih berganti. Semua serba cepat. Semua serba ingin. Bahkan celingak-celinguk dari calon-calon penghuni emergency room yang belum matang pun, menambah aura kekalutan.

"Minggir, dek,"
"Jangan numpuk-numpuk di sini,"
dan blablabla.

Kami masih saja terlongo. Aku terlebih. Memandang dengan mata berbinar setiap tindakan yang mereka lakukan. "Wah, seperti ini rupanya!" Seruku tertahan dalam hati. Benar-benar memacu adrenalin. Tetes demi tetes darah berceceran di lantai putih ruangan bising ini. Alat-alat canggih bertalian terpasang di tubuh kaku nan merintih kesakitan. Hanya gumaman saja yang terdengar. Tak ada suara yang dapat dimengerti, apalagi melihat dan mencoba bergerak. Mengalihkan rasa sakit yang teramat sangat. Begitulah.

Dan hey, tunggu dulu. Sesosok yang baru  saja muncul entah dari mana, sempurna sudah menarik perhatianku. Gesit sekali. Wajahnya tak asing. Tapi di mana ya aku pernah melihatnya?

Namanya dr. Habibi. Tertulis di nametag baju dinas dokter yang dikenakannya. Dan dia masih sibuk dengan pasien yang sedang berjuang antara hidup dan mati.

Aku masih sibuk dengan pikiranku. Memikirkan entah di mana rasanya pernah melihatnya. Dan tiba-tiba saja seseorang memanggilku.

"Dek, koas bedah ya? Tolong KI pasien ini per setengah jam ya. Pastikan kondisinya stabil, kalau ada apa-apa segera hubungi abang, ya," ternyata dr. Habibi. Tanpa babibu, aku langsung mengerjakan ordernya. Tak patut juga rasanya aku hanya celingak-celinguk di sana, tanpa tahu harus berbuat apa. Baiklah.

Untuk sejenak, pikiran itu teralihkan. Dan ternyata, masih banyak lagi cerita yang tercipta sesudahnya. Hingga waktu dan kondisi yang memutuskan, kapan akan berakhir segalanya.
(To be Continued)