Sabtu, 28 November 2015

Can't Reach It

Ada hal yang tak bisa dipaksakan. Meski berkali-kali, ingin segera melaksanakannya. Ada hal yang memang menjadi keterbatasan. Terbatas dalam perkara-perkara yang meski, bukan kewajiban pribadi, tapi tetap saja.

Hanya bisa bercokol dalam pikiran.
Ingin menyegerakan, tapi ingatan mengatakan ini tugas bersama.

Apalah daya, bukan urusanku tuk memaksa.
Apalah daya, jika aku sangat ingin, maka bisa saja, tapi mereka belum bisa.

Apalah lagi. Masih terngiang-ngiang di kepala. Saat kepala masih nyeri, mata masih nyeri, dan pikiran tak bisa berpikir jernih.

Memadu padu paksakan. Melalui dengan santainya tanpa beban. Tapi itu bukan aku.

Ada beberapa hal yang kusesalkan. Setelah melalui beberapa waktu.

Ada beberapa saat yang kuabaikan. Dan kini, tak mampu lagi harus kuabaikan.

Aku harus kejam, dengan tega membunuh segala rasa yang tak perlu.

Kejam, meski rasa sakit semakin menjadi-jadi.

Kalau tidak, maka semakin lemah saja diri ini. Melemah karena tak bisa bertahan, menahan sedikit saja rasa sakit.

Terlalu lama nyaman dengan situasi ini.
Terlalu lama membiarkan segalanya.

Jumat, 27 November 2015

Love Is

Kali ini bukan edisi galau-galau tentang cinta. Jangan lagi. Terlalu baper dengan kondisi yang akhir-akhir ini memang seperti inilah adanya. Hmm,, hanya bisa menarik nafas dalam.

Its about love. Love is??

Mungkin nggak nyambung lagi. Karena ide hari kemarin berbeda dengan hari ini. Suasana hati kemarin berbeda juga dengan hati hari ini.

Tertatih dalam untaian kata. Mewakili segala rasa yang bergejolak dalam jiwa. Semacam kenangan yang tak dapat tidak untuk disesali. Merangkai bingkisan cerita lama yang tak berkesudahan.

Ah, malam ini terasa syahdu. Dingin, dalam balutan AC mobil. Berada dalam rintihan yang tak berkesudahan. Terlalu rajin menghadirkan diri di tempat yang tak berkesudahan.

Aller anfang ist Schwër.

Sedikit saja, memacu jiwa. Memacu sedikit rasa yang tak berkesudahan. Harus tega!! Walau cinta tak mengapa. Tega membunuh setiap kali rasa cinta pada zona tersebut.

Waktu itu berjalan terus. Terus berlalu. Tak bisa tidak.

Jumat, 20 November 2015

Art of Life

Profesi boleh saja sama. Sealiran, sepemahaman, sebuku diktat malahan. Namun, ada yang berbeda. Kecil sih, tapi luar biasa efeknya. Bisa jadi pembanding, yang jika dibicarakan,bisa tak ada henti-henti.

Hanya pembuka bicara saja. Bukan, bukan basa-basi. Hanya pembuka topik pagi ini saja. Mengisi kekosongan yang tidak sebenarnya kosong. Hanya mencoba mengambil manfaat dari waktu yang ada.

Hanya komunikasi sedikit saja. Hanya pertanyaan biasa saja. Tapi, ya, cukup sudah tersimpulkan. Di sela-sela kesibukan, membagi fokus dengan yang lain memang bukan hal yang mudah. Ibaratnya, dalam pepatah, sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sambil melayani pasien dengan baik, sambil juga menarik perhatian koas yang celingak-celinguk tak menentu dalam ruangan. Hanya melirik percakapan antara dokter dan pasien.
Hanya itu saja.

Ditanya sesekali sambil diajarkan itu sesuatu sekali. Apalagi bagi kami (its hard to tell).

Dan hari-hari ke depannya, tak ada beban di hati.

Ya, hanya itu saja.
Seni menciptakan suasana yang nyaman. Bahkan seperti apapun suasana hati. Sesibuk apapun hari yang akan dijalani. Keep on walking.

Dan kesimpulan saya, bahasa tubuh itu memang penting.

Seperti beberapa saat lalu, saat saya ditegur karena penampakan yang ogah-ogahan menghadap seorang dosen karena memang, saya tak ingin melakukan sesuatu yang bukan kewajiban saya.

Dampaknya besar sekali. Bahkan setelah saya insyaf-pun, kesan pertama itu tak bergeming sama sekali dari pandangan beliau.

Its okay. Jadikan saja pembelajaran yang memang pahit. Yang nyaris meluluhlantakkan kepercayaan diri.

Sekali lagi. Walau kadang memang sulit, coba saja.
Coba berkali-kali. Just try it!

Hingga rasa lelah pun lelah menyapa.

Art of life.

Senin, 16 November 2015

Rasanya

Rasanya begitu sesak dalam dada. Ada semacam emosi yang tertahan. Berkali-kali kalimat parah itu melesat kencang ke telinga, menggetarkan timpani yang serasa ingin pecah. Berkali-kali juga, gemeletuk dalam hati menikam, mendidih. Benak di otak ribuan kali lipat bertopang dalam gemuruh amarah. Ah, benar-benar....

Berbicara sedikit, salah. Ditanya, tak paham, tak tahu, diam, salah. Sekali berbicara, meski sudah berusaha berani-beranikan diri, keliru, salah. Apalah lagi dikata. Sejak zaman baheulak sampai sekarang pun, tradisi salah pada orang yang sedang belajar tak mengapa, menurut hematku.

Kalau sudah pintar, tak lagi salah, lantas buat apa belajar.

Belajar bagiku, adalah sebuah proses panjang. Entah kapan itu dimulai, dan berakhir saat waktu yang telah ditentukan.

Meski kadang kala, ada kebingungan tak terperi dalam benak. Banyak hal yang berkecamuk, mengumpul di langit-langit benak. Namun, hanya sepersekian kecil yang keluar lewat kata-kata. Dan itu terlalu singkat malah, bahkan kosakata aneh melalang dalam wernickle dan tersampaikan lewat broca. Membuat persepsi orang lain salah, keliru. Dan lagi-lagi, harus digantikan dengan rasa sesak yang mendalam. Teramat sangat malah.

Pekak membran timpani tiada yang menandingi. Afirmasi kata-kata tiada henti yang berkecamuk, tak sadar diri. Dengan tega mengisi relung-relung kosong benak yang memang belum terisi penuh.

Dan entah sampai kapan akan terisi sepenuhnya.

Entahlah.

Hanya rasa yang tertuang dalam jiwa, hanya itu saja.

Sekali-sekali salah, tak mengapa.

Sekali-sekali khilaf, pun demikian.

Minggu, 15 November 2015

Seperti Anak Panah

Seperti anak panah, melibas udara dengan tega. Hanya desir angin yang menggema. Bulir-bulir embun di dedaunan masih tampak segar. Terinjak-injak oleh kaki yang datang silih berganti. Hanya demi meraup kesenangan pribadi.

Untuk pertama kalinya. Mencoba hal baru, menarik dengan penuh kekuatan. Tangan yang ringkih, jari yang mungil. Harus tetap kuat menahan beban. Lewat seutas tali kecil yang teregang dalam panah. Lewat sebilah kayu yang disulap menjadi tongkat panah.

Ah, seperti penonton. Hanya bersorak sorai menahan ketidaksabaran. Menyalahkan kelemahan. Belum mencoba, hanya melihat saja. Lalu sesuka hati mengomentari, pedas.

Tarik saja, sembilu menahan pilu. Tarik saja, pusatkan semua tenaga ke sana, entah itu bahagia, entah itu sedih. Akan lebih kencang lagi jika itu adalah amarah yang membara.

Lepaskan saja. Biarkan dia terbang melesat jauh. Menembus puing-puing udara yang terdiam sejenak. Menggumamkan bunyi yang tak kasat. Meluruhkan semua perasaan amarah, menjadi lelah.

Teruskan, teruskan saja. Hingga lelah datang menjelma. Menggantikan amarah menjadi kepenatan. Saatnya berganti arah.

Kapan lagi, kawan?? Jika bukan sekarang. Mencoba hal-hal baru yang entah kapan lagi kesempatan itu akan datang. Meski kadang, ragu dan takut datang menghadang.

Tak perlu sedih, apalagi gelisah.
Biarkan ia bersinar bak mentari senja yang dengan cantiknya turun dari ufuk horizon. Meninggalkan sisa kenangan yang sulit dilupakan. Tega sekali menyisakan penyesalan pada mata yang terlambat melihatnya, pada mulut yang terlambat berucap kagum padanya.

Lihatlah, simaklah. Perhatikan sekeliling. Lalu ceritakan, pada siapapun, betapa indahnya pagi ini. Saat anak panah berterbangan sesukanya. Saat dua anak panah hampir bersinggungan satu sama lain. Kebetulan? Ah, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Pasti sudah didesain khusus di sana.

Kebetulan? Jika memang kebetulan, tiadalah hari ini menapaki hari yang lebih bermakna, yang tak melulu rutinitas seperti biasanya. Yang tak melulu berkutat dengan hal-hal yang begitu saja.

Wait.... Akan ada hari yang lebih indah dari mentari pagi yang menyelimuti seluruh badan. Berpeluh di bawahnya. Bahagia dalam kepenatan yang sangat.

Senja Itu

Dedaunan menelisik dalam riuh semilir angin. Menutup kerlingan bintik cahaya bintang temaram. Mentari senja sudah sedari tadi sembunyi. Enggan muncul. Tumpukan awan kelam menggelantung erat di sudut horizon barat. Teramat berat massanya. Tak secuil pun sinar lolos, menerjang sampai ke mata. Sejauh pandangan, hanya riuh rendah suara angin, berpacu dalam melodi gemerisik daun cemara. Kurus kering. Menyambut musim panas yang riang menyapa.

Dan aku masih di sini. Masih menyimak dengan manis setiap detik jarum jam yang bergerak. Tiada henti.

Menunggu, masih berharap keajaiban muncul.

"Dan ah, berapa lama lagi aku harus menunggu? Berjibaku dengan ketidakpastian?" lirihku.

Kamis, 05 November 2015

Kaku

Hai pagi... Masih bersemi dalam hati, masih terlintas dalam bayangan, bahwa kabut sudah mulai menghilang. Tiada lagi pemudar harian.

Hey, tunggu. Ada yang kontras dengan suasana hati pagi ini. Sedari malam malah. Entahlah. Lagi-lagi hanya bisa berujar demikian. Mungkin, aku harus lebih banyak bersabar. Memang aku seperti ini, dan sulit untuk mengubahnya. Tapi, entahlah. Ada-ada saja yang terlintas dalam pikiran, yang sulit dicerna dalam benak.

Tak bisa tidak. Keinginan hati kuat untuk melakukan, namun bibir masih kelu. Sulit sekali.

Takut pada perubahan. Takut pada sesuatu yang belum tentu terjadi. Takut pada keadaan yang boleh jadi tidak separah yang ada dalam pikiran. Hanya karena terbiasa berpikir yang rumit-rumit, hingga tak kunjung jua bergerak walau selangkah.

Kekeluan yang tak terbayangkan. Yang menganak sungai berkelebat dalam hati. Hanya angan-angan belaka. Terlalu sulit untuk bergerak, kaku.
 

Selasa, 03 November 2015

Menunggu dalam Diam

Masih saja penungguan ini berlanjut. Belum berhenti. Entah sampai kapan seperti ini. Dengan tega membiarkan waktu berlalu. Membunuh masa dengan kejamnya. Dan entahlah. Setiap penantian pastinya menyisipkan rasa lelah. Entah itu saat ini, atau selanjutnya.

Disini, aku masih duduk termenung. Kilau cahaya lampu temaram menyinari pelupuk mata yang mulai terpejam. Senja ini, terasa sangat lama. Seolah waktu menyumbangkan jutaan detiknya saat ini. Meski rintik hujan tak henti-henti sedari tadi.

Aku termangu dalam diam. Menatap lamat-lamat dalam lintasan kenangan. Sesaat aku terjatuh, berdebum di atas rerumputan liar yang basah. Aromanya menyibakkan sejuta memori kecil. Saat aku masih papa, tiada daya.

"Hey, sampai kapankah aku harus menunggu?"

Dan jawaban itu tak serta merta muncul begitu saja.

Begitulah kira-kira. Hanya menjadi penonton yang entah kapan, bisa masuk ke dalamnya. Berkecimpung, tak hanya menepi.

Rinai

Senja, menggelayut dalam sepi. Hanya rintik air membasahi. Entahlah. Sayup-sayup rindu menyapa relung hati. Apakah gerangan?

Rerintik embun menyayat beku. Rerumputan mengganas. Dalam kerlingan cahaya senja, ia bermuram durja.

"Adakah takdir yang mempertemukan kita?"

"Adakah relung jiwa yang terisi karenanya?"

Atau,
"Adakah masa yang terlewatkan dalam hembusan nafasnya?"

Aku masih disini. Melihat dari kejauhan setiap gerakan lincah tak terperi. Menjauh dalam ingatan dan memori. Tiada guna, hanya menjalankan kewajiban saja. Tiada kesan, yang meninggalkan memori dalam.

Hanya rintik hujan yang menemani. Dan ingatan akan dia, yang entahlah. Suatu saat, pastinya. Dan terlebih lagi, banyak hal yang terpikirkan. Jauh di lubuk hati terdalam.