Bulir air itu menetes. Titik demi titik menggelayut ringan di atas dedaunan. Semilir angin sepoi-sepoi meliukkan daun yang basah kuyup. Sesekali terdengar suara kehidupan yang mengalir sendu, elegi pagi nan sunyi.
Aku masih di sini. Menanti setiap detik yang terurai dalam menit. Terbungkus dalam arloji waktu.
Sesekali kutengadahkan kepala. Menatap sinar rembulan yang menghilang. Menantang sinar mentari yang enggan datang.
Hanya gemerisik rinai nan terkembang.
Burung-burung kecil berkicauan. Sahut-menyahut beriringan. Bermain-main lincah di atas nyiur kelapa yang melambai. Elok nian. Sesekali terjatuh jugalah tetesan air langit. Melesat cepat membelah udara. Mengikuti arus gravitasi yang tak kasat mata. Dan hilang. Meresap cepat ke dalam tanah lembab. Meninggalkan keelokan irama pagi hari ini. Hanya untuk menanti esok hari.
Aku masih di sini. Ya, tetap di sini.
Banyak hal yang kucemaskan. Banyak hal yang kuabaikan. Mencoba menemukan setiap jawaban dari pertanyaan yang entah kapan dipertanyakan.
Hingga kusadari, kewajiban yang tak lagi wajib. Kutinggalkan tanpa perasaan bersalah. Ada yang salah. Jerih pagi yang mengembalikan ingatan.
Hingga kusadari, entah sampai kapan akan bertahan. Berlindung di balik wajah-wajah buram. Mengatakan seolah aku baik-baik saja, hanya sebagai hiburan.
Dan aku yakin, tak ada hari yang seindah pagi ini. Saat aku masih sadar dengan pepohonan dan dinginnya pagi yang menyentuh.
Aku masih sendiri. Dan akan tetap merasai hati yang tak berbilang jumlahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar