Kamis, 28 Juli 2016

Hampura

Benar. Saat terpuruk dan terjatuh, saat itulah kreativitas muncul. Saat itulah semangat muncul. Kadang, butuh juga sedikit shocked in untuk benar2 merasakan dan membuat segalanya menjadi berarti. Bukan untuk menjadi penghibur diri, tapi menjadi lecutan dan kobaran api yang membakar segala keterlenaan akan dunia.

Sesekali, tak mengapa.
Acapkali kita merasa, setiap keburukan dan kemalangan yang menimpa, adalah karena ketidakberuntungan kita. Terkadang, kita malah menyalahkan orang lain. Entahlah.

Dan saat itu, sulit sekali rasanya untuk berpikir logis. Semua terasa gelap. Semua terasa serba salah. Diri kita dan sekitar menjadi amuk yang pantas untuk dijadikan tumbal.

Apakah memang demikian?

Sulit memang untuk menerimanya. Tapi, seiring berjalan waktu, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita tetap harus menerimanya. Pahit memang, sangat pahit. Apalagi tiada daya upaya yang meluluhlantakkan kepercayaan diri yang hancur berkeping dalam sekejap.

Kalau kita mampu menanggapinya dengan positif, di saat itulah muncul kreativitas. Mengolah segalanya yang awalnya sulit menjadi kenyataan. Ya, asalkan kita berniat bersungguh2 memperbaikinya, bukan sebaliknya, memperkeruh keadaan.

Baiklah, akhiri saja segala lika-liku pemikiran tak terbantahkan yang ada saat ini. Meski tak pernah sesosok pun menghilang rasa sakit dan perih itu, takkan pernah hilang memang. Cobalah untuk menerimanya, terimalah dengan lapang dada dan legowo.

Hampura jika ada yang tak berkenan.

Rabu, 27 Juli 2016

Why Cant Go

Aku tak tahu apa maksudnya. Saat segalanya menjadi intens. Menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Aku takut, setiap hal yang kuingat tersebut malah menjadi kenyataan yang sebaliknya. Atau bahkan nightmare itu menjadi fakta adanya.

Entah kenapa, semakin aku berusaha untuk menghindarinya, dia malah semakin nyata. Terpatri dalam alam bawah sadar. Sesuatu yang aku tak tahu mengapa, menjadikan momok menakutkan dan sebagainya.

Ada ketakutan mendalam. Ada hal yang tak sanggup dijelaskan. Tapi dia bercokol seiring dengan bunga tidur yang tak henti2nya berkata tentang itu. Apakah aku tengah stres menghadapinya? Bukankah aku biasa2 saja selama ini? Tak terlalu mengambil pusing setiap hal seperti dahulu?

Seolah ingatanku terisi.
Sedih senang bercampur di dalamnya.
Dan aku tak tahu, di titik mana dia akan berakhir. Dan itu hanyalah tentang siklus terakhir yang kujalani. Padahal, ada lagi fase lain yang juga harus kukhawatirkan.

Aku takut, terkadang. Namun sudah kuikhlaskan segalanya. Apapun yang terjadi, mungkin itulah yang terbaik. Walau di mataku, tampaknya sungguh sulit.

Dan pagi ini, walau dengan berat hati, aku harus melangkah pergi.

Selasa, 26 Juli 2016

Nightmare Again

Today, I wish I could whatever through in my mind. Karena sekali lagi, aku bermimpi tentang kenyataan yang tak pasti. Yang pastinya, aku mengukir sesuatu dengan pencil alis yang pagi ini kupakaikan pada adek. Dan ingatan itu kembali, tentang ujian yang kujalani.

Padahal, sesaat sebelum memulai ujian yang menyesakkan dada itu, aku terbangun dan bersyukur bahwa itu adalah mimpi. Lalu akupun tertidur lagi. Dan anehnya, lagi-lagi aku bermimpi akan ujian. Entahlah, akupun tak tahu itu sejenis ujian apa. Yang pastinya, aku hampir terlambat karena saat itu aku akan shalat. Namun, banyak saja penghalangnya, yang membuatku berulang2 kali mengulangnya.

Lalu aku tiba di kelas. Ujian. Memilih sendiri urutan ujian. Kupilih bangku yang masih kosong. Di atasnya ada beberapa helai kertas. Belum sempat bersiap2, bel pertanda mulai ujian berbunyi. Ah, bel. Sejak bersejak ini aku benci mendengarnya. Bel ini identik dengan waktuku yang habis dan harus menyelesaikan soal ujian lainnya. Padahal dahulu, waktu aku masih sekolah, bahagia sekali rasanya mendengar bunyi bel, terutama pertanda akan istirahat dan pulang. Tapi sekarang?

Dan tentu saja, aku panik. Kuambil kertas lembar jawaban di atasnya, dan kubuka soal. Aneh. Ada soal 3 buah disana dan beranak pinak. Apa bisa menjawab soal seperti ini dalam waktu 5 menit?

Ah, tanpa berpikir aku langsung saja mengerjakannya. Aneh, soal pertama adalah matematika, tentang segitiga dan perangkat2nya. Lalu soal kedua dan ketiga, barulah tentang penyakit yang justru aku lupa apa. Tapi intinya, hanya menjelaskan saja. Aku ingat soal pertama, karena kuhabiskan waktu yang banyak untuk memikirkannya.

Aku tak tahu, pertanda apa ini. Akankah ini menjadi nyata seperti pensil warna yang kugoreskan ke kertas gambar dan saat pagi tadi pencil itu seolah mengingatkanku pada mimpi semalam. Aku hanya takut, apakah ini akan menjadi kenyataan tentang ujian? Entahlah.

Tapi apapun yang terjadi, siap atau tidak, aku harus menerima segala konsekuensinya. Namanya juga belajar. Legowo, ya, memang harus berkorban. Waktu, fisik, uang. Bersabarlah.

Kamis, 14 Juli 2016

Cita

Kalaulah cita yang mengejar harapan, lantas pada kemanakah tujuan akan disanggakan?

Padalah asa yang menggantung di atas awan. Terikat tak berbenang, terdetak dalam cawan keheningan. Sunyi, senyap. Pada malam yang merangkaikan kata. Tak bersediakah memaafkan walau hanya sepatah kata?

Aku tahu, tak selayaknya aku berlalu. Meninggalkan dengan pongah. Bukan, bukan itu maksudku. Lelah datang mendera. Tak pernah selelah ini kurasa. Sungguh. Tak pernah sekalipun. Lelah fisik berangkaikan jiwa.

Padalah apa kan kukatakan. Aku yang tak bisa menjaga konsistensi keadaan. Terhanyut dalam arus yang semakin menggenang. Tak ada yang bisa menyelamatkan. Selain aku, selain diriku sendiri yang tak menceburkan diri dengan sadar ke dalam. Jauh, teramat sangat jauh hingga melewati jurang.

Dan hingga akhirnya, tak bisa tidak dalam setiap hembusan nafas. Ada kata yang tak terucap. Ada pikiran yang tak tersampaikan. Acapkali aku merasakan dua sisi yang berbeda dan saling berkebalikan. Terhempas dalam arus zaman yang melenakan. Hingga terlupa pada tujuan.

Dan entah sampai kapan, setiap cita akan berubah pasti. Sesempurna pikiran yang merangkai dengan indah. Dalam setiap hembusan jalannya, yang tak pernah terabaikan.

Lightday

Seperti kilat di siang hari. Menggelegar tajam, menggetarkan sanubari. Seharusnya, sih, begitu. Tapi entahlah. Apakah karena ini masih berada dalam efek kemaren sore. Ataukah berada dalam abulia stage? Yang apapun itu terserah saja, sudah lelah dengan semuanya. Dan tak ada lagi keinginan untuk lebih memperkeruh dengan membahasnya. Apalagi mengingatnya.

Segala kemungkinan yang menjadi mungkin. Semuanya berjalan dan berjalan tanpa disadari. Walau mungkin, sesaat mencoba memertajam intuisi, walau barang sedikit. Ada beberapa clue yang dalam perjalanan waktu malam itu membuat segalanya berubah. Ah, sudahlah. Jalani sajalah.

Lagipula tak ada salahnya, kan. Lagi pula, ini memang salahku. Yang tak bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Tak bisa menempatkan mana yang penting, mana yang tidak penting. Mana yang kebutuhan paling penting bagiku, dan mana yang bisa ditunda dulu. Hmm.

Lagipula, tak tahulah. Tak ada salahnya belajar dari kesalahan. Rasa2nya memang banyak sekali aku bersalah, berdosa. Mungkin ini hukuman buatku juga. Aku yang tak bisa mengelola diri dengan baik. Tak bisa kejam pada waktu yang ada.

Sudahlah. Walau bagaimanapun, mata sudah buta. Kilat sudah menyambar. Yang ada hanyalah susuri saja jalan itu, walau tertatih dan tergopoh.

Rabu, 13 Juli 2016

Emoticon

😅🐼 emoticon mood today. Buat apa coba. Sambil menyelam minum air. Ah, nggak nyambung sama sekali. Sudahlah. Masih menunggu sesuatu. Dan masih menunggu. Sudah hampir lama. Sebentar lagi. Cepatlah.
Ah, tak tahu lagi. Senyum sambil menangis. Sudahlah.

Pasrah

Berat ternyata. Kalau tidak pandai bersabar. Berat ternyata, kalau tidak terbiasa, membiasakan diri. Berat ternyata, kalau hanya sendiri.
Menepilah, dan terus menepi. Apapun yang terjadi, terjadilah. Bukan berarti aku pasrah. Hanya tidak ingin memperkeruh keadaan. Tak ingin mencetuskan letupan2 lain yang membuatku lebih gamang. Dan akhirnya mudah terombang-ambing.

Jika harus dikata, tak ada kata siap. Sama sekali. Yang ada, hanyalah, akan kuhadapi. Hadapi saja. Biarkan dunia berkonspirasi menjemput momentum yang ada. Biarkan saja.

Karena menyalahkan diri, sudah sepatutnyalah dipersalahkan sejak dulu. Namun tiada salah diri, karena segala yang serba terpaksa, tidaklah baik.

Di detik ini, kupasrahkan saja semuanya.

Among Me

Akhir2 ini, acapkali aku berusaha menghindari sesuatu. Sesuatu yang membuat dadaku tak henti berdegup kencang. Aku hanya butuh bernapas dengan lega. Tak ingin ketakutan dan rasa mencekam itu datang, lalu tiba2 membuatku sesak. Palpitasi tak henti hingga sorenya. Sudah cukup rasanya. Sedari kecil, kurasakan hal yang serupa.

Keringat dingin bercucuran. Tangan dan kaki menjadi dingin. Menjadikan segalanya teramat sangat asing. Menjadikan segalanya menjadi sulit. Bahkan untuk berbicara pun, tiada kata. Kesempurnaan malah menjadikan segalanya rumit. Aku terjatuh dan terjatuh dalam kesulitan hidup yang tiada henti. Waktu membeku,, dan membeku.

Hey, inikah rasanya menjadi orang lain?
Bukan menjadi diri sendiri. Tidak menjadi seperti apa yang diingini. Tersenyum walau sesaat. Menjadikan segalanya tampak rumit. Menerjang dalam batin. Membatin.

Aku hanya ingin mengekspresikannya. Tak ingin menutupinya. Tapi apalah daya, semuanya sudah membuatku lemah tak berdaya. Hingga tulang ini menjadi letih, tak bertenaga.

Aku butuh seseorang yang selalu mengingatkan. Baik sedih maupun senang. Suka duka bercampur dalam kemaknaan ingin menjadi sesuatu yang dulu dan kini terasa berbeda. Ingin rasanya kukatakan, bahwa aku tak lagi sanggup menahan beban. Tapi sampai kapan?

Karena aku telah memilihnya. Dengan segala resikonya. Setahun yang lalu, malah sudah kukatakan dengan keras di dalam hati. Mengatakan padanya. Beruntung benar nasibnya. Menjalani kehidupan dengan senang. Menjajaki berbagai tempat sekehendak hati.

Justru begitulah. Terperangkap disini. Dalam ketidakpastian. Dan suasana yang mencekam. Setiap hari, setiap menit, dan detik. Stress yang tak terhindari.
Kenapa semakin ke ujung semakin sulit?
Kenapa semakin kesini semakin banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat?

Seharusnya tak begini. Ada yang salah.
Ya,ada kesalahan yang membuat segalanya menjadi runyam. Hingga redup redam kelam penantian. Segelap pagi nan mendung ini. Dengan rintik2 kecil air yang menepi. Menyentuh kelopak mata, hingga membuatku menangis, tapi hanya dalam hati.

Ah, ada apa ini. Kenapa segalanya terasa begitu runyam. Ah, kenapa ini. Bukankah ini yang dulu kau harapkan. Daripada terbuai dalam keadaan yang melenakan. Membiarkan diri terjatuh, berlama2, dan sulit memanjat lagi.

Harusnya kau lebih bersyukur, kawan. Dengan situasi dan kondisi seperti ini. Di luar sana, ingatkah. Saat kau tak terjepit seperti ini. Malah kau mendambakannya. Memang manusia, tak pernah puas dengan apa yang dimiliknya. Cobalah sekali saja, tetap tersenyum dalam kesempitan dan keputusasaan. Tetap tersenyum walau sulit sekali rasanya. Setidaknya, dunia takkan berakhir denga1n ujian ini. Ujian yang takkan pernah berakhir.

Sabtu, 09 Juli 2016

Kurir Abadi

Benar2 kurir di tengah malam. Sunyi, sepi. Membawa-bawa sesuatu dan entah untuk apa. Dan entah bilamana akan tersadar. Sebenarnya sadar, sih. Sesadar-sadarnya. Entah kapan lah ini akan berakhir. Menjadi kurir abadi dan tak tahu satupun. Dan berada dalam kenyamanan saja dengan kebodohan itu.

Menjadi kurir abadi.

Hey, tunggu dulu. Bukannya aku tak mau. Hanya saja, waktu ini terlalu memburu. Lihatlah, entah jam berapa ini. Bayangkan saja. Aku saja yang dari pagi dan kembali ke pagi lagi. Sudah banyak keluh dan amarah tertahan. Entah itu karena keletihan, ketidakadilan, keberpihakan, dan kebodohan.

Semua menjadi nyata. Bercampur baur menjadi kurir abadi di tengah malam bolong. Berjalan menyusuri kegelapan dalam langkah kaki gontai yang entahlah, sudah berapa kali terjalani.

Tak tertanggung sedikitpun. Tak ada rasa bahkan.

Menjadi kurir abadi yang melakukan entah apa dan entah apa lagi.

Menjadi kurir abadi yang tersenyum bahagia dalam kebodohan dan ketidaktahuannya.

Bertanyalah, pada rumput yang bergoyang.