Selasa, 29 April 2014

Psikologi Memaafkan



Hal tersulit itu meminta maaf. Entah kenapa, lidah terlalu kelu, terlalu kaku untuk mengatakan kata “maaf”. Tapi, apapun itu, daripada memilih untuk tidak dahulu meminta maaf, sama saja memilih untuk terus bergelimang dosa, karena diri ini merasa masih saja berlumuran dosa dan salah kepada orang tersebut. Apalagi saat bertemu langsung orangnya, perasaan egois dan berusaha menghindar berkecamuk menjadi satu. Kalau saja bisa kabur atau menghilang saat itu juga dari hadapannya, itulah “first action” yang akan kulakukan. Tahukah kalian, memang sulit bagiku untuk dahulu meminta maaf, apalagi konflik yang terjadi itu berawal bukan dari kita sendiri.

Begitu susahnya meminta maaf, bahkan kata-kata yang keluar pun sedemikian kecilnya, tak berani menatap lawan bicara langsung. Ya Rabb, begitu kelukah lidah ini? Begitu tinggikah egoisme diri ini? Begitu merasa paling benar dan paling baikkah diri ini? Kata maaf itu memang sulit untuk keluar secara gamblang. Hanya waktu yang bisa berkata, tapi dalam agama saja belum sempurna iman seseorang jika lewat 3 hari tak bertegur sapa dengan seseorang yang dianggap “musuhan” lantaran masalah sepele. Barangkali, hanya Allah yang lebih tahu duduk permasalahannya.

Dan lagi, ini untuk yang pertama kalinya aku memberanikan diri meminta maaf langsung setelah dinasehati pertama kalinya juga oleh seseorang yang seumur hidupku belum pernah sebijak itu. Dan lagi-lagi, meski aku kecewa, tak sesuai jawaban yang kau harapkan terlontar dari mulutnya setelah aku minta maaf, seolah beliau menyesali sikap protektifnya padaku. Aku tak berkeberatan dengan itu, hanya saja penyampaiannya yang menusuk hatiku, sungguh. Untuk kata-kata yang satu itu tak tahu lagi caranya bagaimana aku bisa untuk meredam kejengkelanku. Kenapa harus kalimat itu yang dihubungkan dengan keteledoranku? Memang aku salah, tak seharusnya aku berkata lebih tinggi, lantaran aku kesal karena kalimat beliau yang seolah “skakmat” bagiku dan perih bagiku.

Ya Rabb, hamba hanyalah hambaMu yang nista, penuh dosa, namun hamba ingin memperbaiki diri, tetap ingin berubah lebih baik. Jikalau hamba berdosa ampunilah ya Rabb. Permintaan maaf itu, meski sulit kukatakan, akhirnya bisa kukatakan juga. Meski sebagai jawabnya tak sesuai harapku, malah menambah luka hatiku, tapi aku sudah memaafkannya, dan sudah melupakannya. Hanya saja, jika ke depannya akan seperti ini lagi, aku tak tahu lagi apakah masih bisa bertahan dengan ancaman itu atau tidak.

Tidak ada komentar: