Sabtu, 27 Februari 2016

Tertatih

Manusia itu selalu saja begitu. Selalu berkeluh kesah. Selalu saja merasa dirinya yang paling malang sedunia. Merasa dia yang paling menderita. Dan merasa yang lainnya.

Padahal, coba saja kalau dia lihat di sekelilingnya. Tidak, tak perlu. Lihatlah di sampingnya, dekat sekali.

Ada orang yang belum seberuntung dia. Masalah waktu. Ya, hanya masalah waktu.

Dan selalu saja begitu. Mereka hanya bisa berisik. Merecoki kekurangannya. Padahal kalau kulihat dan perhatikan, sudah banyak kelebihannya.

Manusia memang begitu. Tak pernah puas.

Tapi setidaknya, bersyukurlah. Karena di luar sana dia masih beruntung dibanding yang lain.

Sesekali melihatlah ke sekitar. Kau lihat. Siapa yang hatinya akan terluka. Atau yang akan sedih walau wajahnya terlihat biasa saja.

Lihatlah. Lihat saja. Bagaimana tidak bisa tidak kukatakan dengan setulus hati. Bahwa kau lebih beruntung kawan. Sudahlah, sudahi saja semua perasaan serba kekuranganmu. Padahal aku yang lebih kurang darimu. Setidaknya untuk masalah waktu. Ya, its about time.

Bukan terbawa perasaan. Hanya saja, kuingin tak ada lagi rasa itu. Rasa yang dulu membuatku aneh. Hingga tak bisa menatap matamu dengan yakin, kawan.

Its about time. Biarkan waktu yang berbicara. Dan selama itu, jadikanlah ia penghias kehidupan. Untuk saat ini dan nanti.

Dariku yang masih berjuang walau kadang tertatih badan.

Rabu, 24 Februari 2016

Keanehan yang Menjadi-jadi

Terkadang, masa-masa seperti ini terasa begitu aneh. Kenangan yang aneh, dan segala usaha yang aneh. Tetap melakukan tapi tidak merasa. Mengikuti tapi tidak merasa mengikuti. Semua berjalan apa adanya, tanpa ada keinginan.

Sudahpun berusaha. Namun tetap saja, belum maksimal. Bolehlah menangis dan bersedih karena masih merasa. Namun tak ada rasa, itulah yang aneh.

Sudah berusaha, dua kali malah. Saat yang lain hanya memberikan bukti otentik yang dapat dirasa, sudah kuberikan rasa yang tak dapat dirasa. Tapi entah kenapa, semuanya terasa sia-sia saja.

Banyak hal yang ada dalam pikiran. Yang sulit tuk dilepaskan. Karena terlalu asik dalam rasa aneh ini. Membiarkan rasa aneh ini semakin menjadi-jadi. Hingga entah kenapa, ini menjadi sesuatu yang nyata keanehannya.

Mencoba mencari-cari alasan. Alasan untuk pembenaran keanehan diri sendiri. Semakin mencari, semakin nampak keanehannya.

Ya, tak ada yang salah dengan pertanyaannya.

Sebelumnya akupun pernah memikirkan, walau sepintas lalu.

Pernah kucoba untuk mencari, namun memang sulit.

Dan lagi, materinya sama sekali tak membuatku tertarik.

Dan hasilnya, adalah keanehan yang akan terpampang nyata dalam sesuatu yang dapat dirasa.

Sudahlah. Sudahi saja keanehan ini. Bagaimanapun, tak ada yang bisa kita perbuat. Hanyalah selingan alasan yang menghangatkan hati. Aku benar-benar gamang hari ini. Ya, gamang sekali.

Saat aku terlupa akan hal yang pernah kuingat.

Saat aku terlupa akan logika yang terlintas walau sesaat.

Dan kesalahannya adalah, aku tak mampu bertahan lebih lama, sedikit lebih lama lagi.

Tak mampu bertahan, bersabar dalam kegigihan.

Walau mataku tak tertarik melihatnya, walau hatiku tak tersentuh merasanya, dan walau aku tak ingin mendekatinya.

Tapi suatu saat nanti, aku akan menghadapinya.

Dan mau tak mau, tak boleh lagi keanehan ini semakin merajai.

Menyalahkan semua hal.

Jadikan ini pelajaran berharga. Tak boleh tidak membiarkan diri dalam kebodohan cinta. Jika telah berikrar padanya, maka ingatlah dia seutuhnya.

Dimanapun dan kapanpun. Jangan pernah berhenti.

Sabtu, 20 Februari 2016

No Mager

Gatal rasanya kalau seharian nggak ada nulis. Gatal jari-jari buat menekan tuts keyboard. Kebawa pikiran selalu. Rasanya, kalau hari itu nggak nulis, ada yang kurang. Kurang lengkaplah.

Tapi nggak jarang juga, nggak ada yang mau dituliskan. Karena berbagai alasan. Entah itu karena kesibukan, atau karena sedang ingin malas-malasan. Menikmati waktu liburan yang cuma di akhir pekan.

Tapi tetap saja, greget jadinya. Ya, sudahlah. Tuliskan saja apa yang ada dalam pikiran. Walau nggak berbobot sama sekali. Yang penting, rasa hati tersampaikan. Walau yang membaca bakal bikin perih matanya. Karena nggak ada isinya.

Well, yang terpikirkan saat ini adalah tentang mager. Alias malas gerak. Inilah sindrom yang terjadi di akhir pekan bagi kebanyakan orang, apalagi mahasiswa. Yang cuma ngetem saja di kosan. Kalo di rumah, bakalan banyak kerjaan karena ada mama dan papa, yang meski kadangkala kasihan juga melihat kita yang lelah "nampaknya", setidaknya masih punya sedikit aktivitas. Bersih-bersih kamar, ngejailin adek, makan bareng keluarga, dll. Banyak lah yang bisa dilakukan di rumah.

Nah, kalo di kosan? Semau gue aja. Mau bersih atau kotor, so what banget?! Kadang saya sempat berpikir, saya adalah orang yang abstrak. Karena kamarnya berantakan, pertanda kreatif. Hmm. Well done.

Tapi tetap saja, sesuatu yang kurang rapi jika biasa seperti itu maka akan jadi kebiasaan. Setidaknya ya, jangan berantakan-berantakan amat lah ya. Ibaray kata pepatah, letakkanlah sesuatu pada tempatnya. Apapun itu, ya, harus rapi. Minimal sedaplah dipandang mata orang. Lamak dek awak, katuju dek urang.

Masalahnya adalah kadang mager datang menyerang. Malas gerak. Standby di kamar sepanjang hari, tapi tak ada yang berubah. Tetap berantakan. Sampah bertebaran di sana-sini. Buku-buku berantakan udah seperti kapal pecah. Hmm, benar-benar kamar yang abstrak untuk ditempati.

Padahal kan, kita sama-sama tau, kalo kebersihan itu sebahagian dari iman. Sayangnya, kala negara mager datang menyerang, maka ya sudahlah. Alamat tetap akan berantakan, ya berantakan. Bahkan untuk merapikan file2 di laptop pun, juga tak terkerjakan.

Kalo mager timbul, lantas harus gimana? Paksakan! Paksakan buat bergerak. Suka atau nggak suka. Mau atau tak mau. Yang pasti, action! Harus kerjakan. Jangan hanya diperhatikan. Kalo belum mulai2 juga, kapan mau selesainya?

Ingat, perjalanan seribu mil dimulai dari sebuah langkah loh.

Makanya, hapus kata-kata mager dari kamus kehidupan. Harus kudu bertindak. Kerjakan. Harus bergerak. Itung-itung olahraga juga biar sehat. Masak masih muda, badan udah ringkih. Mudah kena sakit. Apa-apa serba lambat. Belum tua lagi. Hmm....

Okay, thats all.... Semoga setelah menulis ini yang tadinya tak sempat terpikirkan karena lagi kena sindrom mager. Maka sehabis ini harus take action. Harus selesai semuanya. Udah, itu aja sih.

Kamis, 18 Februari 2016

About Anaesthesia

Kali ini masih bercerita seputar tema yang masih hangat-hangatnya diperbincangkan di dunia perkoasan. Koas anestesi. Yang tak lain dan tak bukan memanglah suatu kewajiban untuk melakukan visite pre operasi ke pasien.

Pre operasi ini, alias pre op pasien adalah saat yang tepat bagi calon dokter untuk mempelajari kondisi pasien. Apakah ia layak operasi, adakah penyulit anestesi yang perlu dikoreksi, adakah keadaan-keadaan tertentu yang membuat pasien harus menunggu dahulu sebelum kondisinya distabilkan. Ataukah, harus segera dilakukan operasi secepatnya, yang bersifat emergensi. Ya, itulah yang harus dipelajari di sini.

Melatih ketelitian. Itulah salah satu inti dari anestesi yang tengah kami hadapi. Teliti terhadap hal sekecil apapun. Mulai dari hasil labor yang penting yang berkaitan dengan penyakitnya, kapan terakhir pasien puasa, ada gigi palsu atau tidak, berapa urin outputnya per jam, dan koreksi yang sudah dilakukan.

Simpel sekali bukan?
Tapi ya, disinilah semuanya dipelajari.
Attitude, skill, dan knowledge. Bagaimana sikap dalam melaporkan pasien. Yang kadangkala memang, kalau lagi sedang malas-malasnya, malas juga rasanya harus pre op dan melaporkan. Tapi suka tidak suka, tetap harus dilaporkan.

Skill. Bagaimana caranya menambah speed dalam mencatat resume penting temuan pada pasien yang sudah ada indonesia rayanya. Bagaimana pula kecekatan kita dalam mempersiapkan alat terutama statics, menguasai kondisi ruangan OK beserta tempat-tempat peralatan yang ada, dan sebagainya.
Dituntut juga skill seperti mampu memasang iv line, intubasi, facemasking, monitoring, dll. Yang itu sih, untung-untungan juga. Juga seberapa besar kemauan kitanya. Kalo lagi rajin boleh minta, biasanya dikasih. Kalo lagi males, nggak minta pun nggak bakal dikasih.

Knowledge. Dapat dideteksi saat ditanya konsulen, atau pas ujian. Nah komplitlah disini. Melibatkan ke 5 inderawi.

Yang selalu bikin deg-degan itu ya, pas dinas. Lagi sunyi sepi di kamar koas, tetiba terdengar ringtone hp hotline anes berbunyi. Nyaring sekali. Langsung sinus takikardi. Horor banget pokoknya. Apalagi yang matanya melek-melek tanggung. Langsung terbangun, walau kadang rasa malas masih tetap setia menyapa.

Trus, yang nggak kalah bikin deg-degan nya lagi, ya, pas ngelapor ke konsulen. Warna warni bangetlah. Nano-nano rasanya. Tiap orang berbeda. Berbeda pula sensasinya. Ya, nikmati sajalah. Namanya juga belajar. Salah-salah sedikit, dimarahi sedikit, wajarlah bagi seorang pembelajar sejati.

Thats all. Just share what i have today. Seperti pain, nyeri. Terkadang perlu terapi kognisi dan perilaku untuk dapat menghilangkan nyeri. Setidaknya untuk mengalihkannya, ya, dengan cara mengganti fokus kita pada hal lain. Salah satunya dengan menumpahkan segala perasaan yang membuncah dalam jiwa, sebentuk sebuah tulisan. Semoga dengan ini, semakin meningkat ambang rasa yang saya punya.
Sehingga bisa lebih tangguh lagi.

Lukisan Kehidupan

Bahkan seorang ahli dalam bidang tertentu pun, masih mencari yang namanya ketenangan hati.

Tak dapat tidak. Ilmu tentang kehidupan luas sekali. Rasa-rasanya, ilmu yang kita miliki hanya setitik saja. Jika dibuatkan ibarat, ilmu yang ada di langit dan bumi ini seluas samudera, maka ilmu kita hanyalah setetesnya saja.

Sangat terbatas sekali ilmu kita, manusia. Tak luput juga dari salah dan khilaf. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Berusaha untuk belajar semaksimal mungkin. Alam terkembang untuk dijadikan guru. Bersyukurlah. Banyak media yang bisa dijadikan tempat pembelajaran. Tentang kehidupan, kesabaran, keikhlasan. Semuanya berujung pada pendewasaan.

Terserah kita akan mengisinya seperti apa. Akankah kita mengisinya dengan perasaan-perasaan negatif yang mencekam diri sendiri. Ataukah kita akan membentuknya menjadi lebih kokoh dan tangguh. Tak mengapa. Terkadang ketakutan yang terbentuk atas dasar ketidaktahuan, justru itulah yang memperkuat. Walau terkadang, kita harus terhempas berkali-kali, perasaan kita terjungkir balik beberapa kali. Lengkap sudah.

Dan itu butuh beberapa waktu untuk sempurna melupakannya.
Setidaknya, suatu saat jika terkenang, maka akan menjadi kenangan indahlah ia.
Indah untuk dipahami, bahwa saat itu kita masih ringkih. Masih tak berdaya. Dan kini, kita telah melewatinya. Dalam ambang berjuta rasa. Berjuta emosi yang berperan di dalamnya.

Dan saat kubaca lagi tulisan-tulisan jejak pertinggal yang telah kubuat, kusadari hakikatnya. Hidup memang berwarna. Ditetesi sedikit oleh masalah. Ditambah dengan sedikit rasa kekhawatiran. Juga ditaburi oleh rasa takut dan emosi yang tercampur adukkan.

Padahal kita belum pernah mencoba. Hanyalah mengandalkan kata demi kata dari orang lain yang terkadang tak sepenuhnya benar. Mencoba membuat berlepas dari tanggung jawab. Sebentuk lukisan yang terlepas dari kanvasnya.

Entah bila akan berubah. Menjadi warna-warna yang terang benderang. Jika bukan kita sendiri yang akhirnya menambahkannya. Dengan senyuman, kesabaran, keikhlasan. Sehingga jadilah ia lukisan yang cantik, meski awalnya banyak kesalahan di sana-sini.

Dan jadilah ia lukisan kehidupan yang menentramkan hati. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, tenang seisi dunia. Tahukah dimana dia berada? Di dalam hati-hati setiap manusia yang rindu akan kehadiran Rabb-nya. Setiap tindak tanduknya selalu terkenang bahwa yang ia lakukan adalah karena Tuhannya. Jadi, sesakit seperih dan sehancur apapun jalan yang ia lewati, takkan membinasakan dirinya.

Karena ia masih punya harapan tertinggi dalam kehidupannya.

Selasa, 16 Februari 2016

Waiting

Masih berbicara tentang menunggu. Ya, menunggu. Tema yang tidak habis-habisnya selagi manusia masih mampu bernafas. Bahkan di dalam kubur pun, masih menunggu sampai waktu yang dijanjikan datang.

Menunggu, untuk konteks ini sangat luas. Menunggu seseorang yang tak kunjung datang, menunggu kelahiran jabang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan, menunggu orang terkasih yang akan menjemput datang, menunggu keluarga yang tengah berjuang hidup dan mati menanti hingga selesai operasi, dan menunggu lainnya. Kompleks sekali.

Menunggu, bagiku tetap saja menyimpan sejuta misteri. Setiap kali menunggu, banyak emosi yang datang silih berganti. Terkadang, aku bisa sabar dalam penantian. Kadang kala, kusisipkan doa agar selamat bagi orang yang ditunggu. Namun seringkali, kutumpahkan kekesalan pada dia yang kutunggu-tunggu. Entah apa alasannya.

Dia yang kutunggu tak kunjung datang.
Dalam harapan yang tersimpan dalam.
Terkadang, aku menangis dalam hati, hanya itu ekspresi diri.
Menunggu dalam sepi, entah dia akan datang, atau malah menjauh, pergi.

Aku dan sejuta kenangan yang takkan terganti. Meski kau tak tampak di mataku, namun dekat di hati. Kukutip kata-kata indah ini, agar kau menyadari. Meski aku kesal setengah mati, aku masih tetap menunggu. Akan selalu tetap menunggu.

Meski aku harus tega membunuh segala rasa dalam penungguan.
Meski aku harus kejam menikam hatiku agar tak larut dalam menunggu.
Meski aku harus bersakit-sakitan agar kau yang lama kutunggu tak membuat batinku tertekan.

Walau kutahu, tak ada yang kutahu satupun tentangmu.

Visite Again

Sore itu, jadwalnya untuk melakukan visite pasien. Istilahnya, sebagai persiapan pre operasi. Karena saat ini, aku tengah menempuh siklus yang melawan arus. Yang awalnya orang sehat-sehat saja, sadar sepenuhnya, harus dibuat menjadi tidak sadar. Membantu pernapasannya, lalu beberapa saat kemudian membangunkannya kembali.

Aku menyusuri lorong rumah sakit sendiri. Seperti biasa. Melewati jalanan yang sudah tak asing lagi. Bangsal bedah. Tempat pasienku berada.

Selamat sore, buk. Perkenalkan, saya dokter muda anestesi.

Percakapan pun berlangsung. Saat itu, pasien didampingi oleh suaminya. Awalnya, aku merasa pasien dan keluarganya sedikit terusik dengan kehadiranku. Sang pasien yang tengah berbaring menahan rasa nyeri yang dialaminya. Sang suami yang dari air wajahnya tampak beban yang berkesangatan akibat sakit yang diderita oleh istrinya.

Usianya masih muda. 26 tahun, hanya 2 tahun selisih dariku.

Tapi beliau sudah menanggung kesakitan yang luar biasa di usianya. Yang semestinya, di saat seperti itu, beliau bisa melakukan banyak hal.

Tapi kini ia hanya terbaring lemah.

Usia muda tak menjamin segalanya berjalan dengan baik. Di saat itulah, ujian diberikan. Apakah kita sanggup menghadapinya dengan baik, sabar dan ikhlas. Atau malah sebaliknya.

Usianya masih muda. Tapi kanker kolon itu sudah merenggut sebagian dari umurnya.

Tak dapat lagi beraktivitas seperti orang kebanyakan. Kemana-mana harus membawa kantong di perut (stoma) tempat buang air besar. Badan yang semakin kurus karena kanker yang mengganas. Merenggut nafsu makan sekaligus sari-sari makanan yang tak dapat terabsorbsi sempurna, dan masih banyak lagi.

Bayang-bayang mengerikan seolah-olah berterbangan di benak. Kejar-kejaran tak hentinya. Dalam beberapa saat percakapan, atau istilah lainnya anamnesis, kutemukan secercah harapan yang tak tersampaikan. Pesan tolong disampaikan padaku, untuk memperhatikan pasien. Memberikan perhatian lebih. Bukan bermaksud ingin dilebihkan. Tapi aku tahu pasti, keluarga, begitupun pasien, ingin diperlakukan dengan baik.

Seperti aku memperlakukan keluarga sendiri.

Seperti aku ingin diperlakukan jika dalam keadaan yang seperti itu.

Dan percakapan singkat itu pun berakhir. Tertumpu harapan yang besar, sama-.

Setidaknya beban itu berkurang. Sampaikan saja, semoga harapan dan keinginan yang sama itu terkabulkan. Terbuka pintu keberkahan dari tiap-tiap hati yang penuh pengharapan padaNya.

Dialah yang menyembuhkan. Lewat tangan para dokter yang berusaha untuk mengobati.

Selasa, 09 Februari 2016

Cekoas : Dinas Malam (ed 4)

Sejauh ini, aku masih sendiri. Menatap mentari pagi dari kejauhan. Menyipit mata dalam perihnya sinar temaram. Bulan pun enggan muncul. Padahal cahaya putihnya masih berkelebat dalam ingatan. Saat tengah malam tadi, sepulang dinas dari rumah sakit ini. Mataku tak pernah lepas menatap rembulan setengah yang dengan setia mengikutiku dari balik kaca helm. Semilir angin malam semakin menambah syahdunya kepekatan alam. Dan kini, hanyalah butir-butir yang tersisa dalam ingatan.

Aku berjalan menyisir koridor rumah sakit. Membelah dengan kejam sengatan dingin sisa semalam. Tak terasa, langkah kakiku memberat. Ada kecemasan yang telah terekat.

Tak bisa tidak kulepaskan ingatan semalam. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah aku yang memikirkannya terlalu dalam?

Seperti biasa, aku dinas berdua dengan koasmate-ku, Waishi. Tak dapat tidak aku terlepas darinya. Bagaimana tidak? Bahkan untuk dinas sekalipun, kami harus selalu bersama. Setidaknya, kalau lagi bosan ada yang bisa kujitak kepalanya.

Hey, bosan? Sejak kapan ada kata-kata bosan dalam kamus kehidupan koas bedah bagiku?

Duduk-duduk manis yang membuatku bosan. Memperhatikan dari kejauhan. Belajar sambil menguap, uap yang melambung tinggi melanglang di udara. Sesekali berjalan, hanya untuk meregangkan otot-otot yang ringkih karena terlalu rigid. Lama-lama bisa jadi kaku, berjalan seperti robot. Oh, no!!!

Tapi memang, kehidupan di sini sangat sederhana. Begitupun pasiennya. Sederhana pula jumlahnya. Tidak sebejibun di Padang. Nyantai lah. Apalagi kebanyakan pasien yang datang ke IGD kebanyakan mengeluh sakit dalam. Alias penyakit dalam. Jarang yang datang dengan kasus berdarah-darah karena kecelakaan. Kalaupun ada, sesekali saja.

Hey, tak pernah lepas pikiranku dari semalam. Ketukan langkah kakinya yang berdetak dengan cepat. Menuruni tangga dengan cekatan. Tak ada apa-apa. Hanya sekedar ingin menyapa kami di IGD saja. Bagiku itu sudah cukup. Melepas kebosanan yang sekali lagi, tak dapat tidak kuungkapkan di sini.

"Aman, dek?"

Seperti biasa. Kata-kata itu terucap. Terlalu amat sering malah. Telingaku tak dapat tidak bergidik mendengar pertanyaannya. Yang selalu ingin memastikan bahwa kami baik-baik saja.

"Aman, bang," jawabku sekenanya.

Entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, hanya seutas senyum yang terlontar dari wajahnya. Senyum khasnya yang tidak pernah lepas menghiasi. Hanya itu.

Dia tak banyak bicara. Tapi dibalik itu semua, banyak hal yang ingin disampaikannya. Dari hati ke hati. Entahlah. Apakah itu hanya perasaanku saja, ataukah memang kenyataannya?

Kami dinas memang berdua. Tapi entah kenapa, dia selalu hadir dan melihat ke arahku. Sekalipun aku berusaha mengalihkan pandangan, seketika itu juga dia berhasil kembali menariknya. Dan aku tak bisa tidak, menolak kebaikannya. Ya, hanya padaku. Tidak pada yang lain.

"Dek, sudah makan dan solat?"

"Makan yang banyak ya."

Setiap hari selalu begitu. Tak pernah tidak dia memberikan perhatian lebih padaku. Padahal, aku tak mengharapkan apa-apa darinya.

Perasaan ini aneh. Mengusikku. Tapi entah kenapa, setiap kali dia memberikan perhatiannya padaku, aku merasa kikuk. Saat dia jauh di mata, aku justru malah lebih sering membicarakannya. Hanya itu saja.

Senin, 08 Februari 2016

Aku Masih Sendiri

Bulir air itu menetes. Titik demi titik menggelayut ringan di atas dedaunan. Semilir angin sepoi-sepoi meliukkan daun yang basah kuyup. Sesekali terdengar suara kehidupan yang mengalir sendu, elegi pagi nan sunyi.

Aku masih di sini. Menanti setiap detik yang terurai dalam menit. Terbungkus dalam arloji waktu.

Sesekali kutengadahkan kepala. Menatap sinar rembulan yang menghilang. Menantang sinar mentari yang enggan datang.

Hanya gemerisik rinai nan terkembang.

Burung-burung kecil berkicauan. Sahut-menyahut beriringan. Bermain-main lincah di atas nyiur kelapa yang melambai. Elok nian. Sesekali terjatuh jugalah tetesan air langit. Melesat cepat membelah udara. Mengikuti arus gravitasi yang tak kasat mata. Dan hilang. Meresap cepat ke dalam tanah lembab. Meninggalkan keelokan irama pagi hari ini. Hanya untuk menanti esok hari.

Aku masih di sini. Ya, tetap di sini.

Banyak hal yang kucemaskan. Banyak hal yang kuabaikan. Mencoba menemukan setiap jawaban dari pertanyaan yang entah kapan dipertanyakan.

Hingga kusadari, kewajiban yang tak lagi wajib. Kutinggalkan tanpa perasaan bersalah. Ada yang salah. Jerih pagi yang mengembalikan ingatan.

Hingga kusadari, entah sampai kapan akan bertahan. Berlindung di balik wajah-wajah buram. Mengatakan seolah aku baik-baik saja, hanya sebagai hiburan.

Dan aku yakin, tak ada hari yang seindah pagi ini. Saat aku masih sadar dengan pepohonan dan dinginnya pagi yang menyentuh.

Aku masih sendiri. Dan akan tetap merasai hati yang tak berbilang jumlahnya.

Sabtu, 06 Februari 2016

Cekoas : Pre Parade (ed 3)

Kepalaku sakit, nyeri. Susah payah mencari asmef, tak bertemu.  Hari sudah larut. Susah sekali melupakannya. Line tentangnya, juga tentang parade esok hari.

"Aaaargh, rasa-rasanya kepalaku mau pecah," teriakku.

Bagaimana ini? Masih banyak materi yang belum kupelajari. Masih sangat banyak. Aku memegang 8 pasien. Baru separuhnya yang kubaca. Itupun hanya superfisial saja. Belum lagi ketakutanku menatap hari esok. Menata hati agar tak bingung sendiri.

Aku melangkah gontai menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, tanganku sibuk memegang hp. Membaca ulang lagi  semua diagnosis pasien. Aku diantar papa dengan motor. Dingin angin sepoi-sepoi membasuh badan. Semakin menambah kekalutan hati.

Berharap hari ini akan baik-baik saja.

Kakiku melangkah tergesa-gesa. Hari baru jam setengah tujuh. Tapi rasa-rasanya sudah telat sekali. Ada beberapa bed yang masih kosong. Khawatir terisi dan tak sempat aku periksa. Itulah salah satu kegalauan terbesar kami. H-1 parade dan mendapati bed yang banyak kosong. Itu tandanya, esok hari kami harus kejang-kejang memeriksa pasien dan langsung mempelajarinya sekilat mungkin. Minimal tau diagnosis dan temuan klinisnya. Ya, dan semua itu bercabang-cabang dalam kepala. Bercampur baur antara satu pasien dengan pasien yang lainnya. Sempurna sudah membuat takikardi.

Selalu saja begitu. Selalu aku yang pertama menginjakkan kaki di bangsal ini. Belum tampak batang hidung teman-teman yang lain. Jangan-jangan, mereka benar-benar # le fort I eksaserbasi akut. Ckckck....

Malah tadi pagi, ada yang mengirim wa.
"Dimana Bah?" Tanyanya.
"Masih di rumah, mau berangkat lagi," jawabku.
"Buruan Bah, bang Habib udah nanyain tu," balasnya lagi.
"Iya, telat dikit. Sekarang udah dimana Wai?" Balasku lagi.

Dan percakapan itu berakhir. Aku sebal setengah hidup.

"Awas saja ntar kalo ketemu dia, apanya yang udah dicariin. Dia aja belum datang, huuft," desahku kesal.

Aku menggerutu. Berjalan melewati koridor cp lalu lanjut ke cw. Melihat bed yang kupegang. Apa ada pasiennya yang bertambah, berkurang, atau bertukar orang. Celingak-celinguk sendiri menatap tiap-tiap pintu. Pastilah keluarga pasien bingung melihatku yang juga kebingungan. Hmm....

"Dek, visite ya," seseorang mengalihkan kebingunganku. Jalannya cepat, bergegas ke ruangan pertama.

"Buk, apo nan taraso kini?" Tanyanya. Sambil memeriksa pasien, melihat hasil rontgen. Aku mengikutinya kemanapun dia pergi. Hanya aku sendiri. Huuft. Yang lain entah dimana. Kutanya di grup, tak ada satu pun yang respon.

Personal chat waishi, pun tak kunjung membalas. Kesal.

Kupikir aku sudah telat. Kupikir benar-benar dicari oleh residen karena belum juga datang. Ternyata, kenyataannya seperti ini.

Tak ada yang mencari. Pun tak ada yang menanyakan.

Bang Habib masih sibuk memeriksa satu persatu pasien. Aku celingak-celinguk tak menentu. Maklum, baru hari kedua disini. Dan visite semua pasien seperti ini. Sebanyak ini.

"Bah, berapa orang pasien?" Tanya bang Habib sepintas lalu.

"Ada 8 bang," jawabku.

"Udah belajar kan buat parade nanti?"

"Iya, bang. Tapi masih ada yang ragu," tambahku.

"Kalo ada yang ragu tanya aja, Bah," sambungnya.

Sudah semua ruang cp kami visite. Sekarang tinggal cw, lalu lanjut kelas. Dan satu persatu temanku datang. Mengelilingi bang Habib yang visite. Waishi juga sudah datang. Baru nampak batang hidungnya.

"Wai, mana ni yang katanya udah dicariin bang Habib? Bohong aja," kataku padanya sambil manyun. Tampak sudah aku yang kesal plus tak terima dibohongi koassmate yang memang mate sekali buat diajak kelai.

"Hhe, iya. Kan aku bilang bang Habib cuma nanyain doank. Bukan nyariin," jawabnya berkilah.

"Bohong, pokoknya bohong," jawabku.

"Jangan marah donk Bah. Ahaha, ambo cuma bercanda. Soalnya kan tadi malam ada yang nge-line kasih semangat gitu kan Bah. Semangat belajar buat Habibah untuk parade hari ini," jawabnya asal.

"Tttsss.... Diem lah Wai. Jangan keras-keras, ntar tau orang," jawabku berbisik. Tak ingin percakapanku terdengar oleh bang Habib yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Kami masih visite pasien bersama abangnya.

"Kok gitu? Kan biasa aja Bah. Cuma semangat belajar parade aja kok, hhe," jawabnya lagi, ini anak bener-bener pengen ditabok lah. Ngajak kelai aja terus. Nggak mau kalah.

Kalau tau kayak gini, mending nggak usah cerita aja, huuft....

"Ini pasien siapa? Coba laporkan," kata bang Habib pada kami. Dan kebetulan banget, itu adalah pasienku.

"Saya bang. Seorang pasien perempuan umur 52 tahun dengan diagnosis karsinoma sel skuamosa, hari rawatan ke 4, rencana pro wide eksisi bang," aku melaporkan.

"Ya," kata abangnya.

"Jadi, biasa konsulen tu nanya. KSS tu apa? Apa tu, Bah?" Tanyanya padaku.

"Belum baca bang," jawabku.

"Jadi KSS itu adalah.......," dia menjelaskan padaku dekat singkat dan padat. Setidaknya tidak zong lah pas nanti ditanya konsulen. Katanya sih, kalo zong, bisa-bisa kami diusir semua. Suruh balik lagi ke Padang. Hmm....

"Cieee," seseorang mengusikku. Siapa lagi coba. Mate yang tak matching sama sekali. Kalo dekat-dekat pengen ditabok rasanya. Tapi kalo jauh, kangen dia juga. Coz, nggak ada yang bisa ditabok. Sumpah lah. Hha....

"Cie cie apa ni? Nggak ada yang perlu di ciee in! Udahlah, diamlah lagi Wai!" Jawabku ketus.

"Pemarah mah," timpalnya.
"Biarin," balasku. Aku menggerutu tak sabaran. Kalau bukan masih visite, sudah ku putar-putar ni anak di atas lantai pakai jurus aikido sampai vertigo. Sampai menggelinding kayak kelereng. Huuft, bikin emosi aja.

Tapi tetap saja, ada secercah rasa aneh di hatiku. Aku marah, tapi ada juga rasa bahagia. Entahlah. Karena apa ya? Akupun bingung. Setidaknya, aku tak perlu terlalu mencemaskan banyak hal disini. Aku, habibah.

(To be continued)

Jumat, 05 Februari 2016

Apostrophe

Mulai detik ini, kuputuskan untuk tidak lagi mengingatnya.

Aku tak pernah lagi mengharapkan apapun. Juga tak ingin menyusahkan siapapun. Biarlah semua beban perasaan ini kusimpan dalam2. Hingga sedikit demi sedikit dia menghilang.

Pun, tak pernah pula kuberharap. Akan mendapatkan semua yang kuinginkan. Termasuk hal yang paling tak pernah kumengerti.

Hey, tolonglah.
Bolehkah berandai2 sejenak?

Andai boleh aku bertanya, mengapa tak diam saja?
Justru kata2mu semakin menenggelamkan.
Padahal aku tengah berusaha mati2an mencapai permukaan.

Andai tak terkias dalam ingatan. Mengapa kau hadir dalam pandangan?
Memenuhi dunia dari ujung ke ujung.
Mengapa?
Dan kini tak tahu lagi dimana kau berada.
Hanya sesaat, yang tersisa.

Dan kini aku mengerti.
Betapa lelahnya menahan beban sendiri.
Tak perlu tidak kukatakan pada hati nurani, padalah apa kan kusematkan rasa yang tak kumengerti.

Aku tersesat, dan kini tak kumengerti. Sulit sudah menemukannya kembali.

Aku hilang dalam masa yang tak terobati.
Sama seperti hari-hari yang telah terjalani.