Selasa, 29 Maret 2016

Cermin Kehidupan

Kenangan demi kenangan itu datang, melesat jauh dalam memori ingatan. Saat itu, aku masih kecil. Kecil sekali. Hanya setinggi lutut orang dewasa. Kalaulah berlutut di depan cermin, hanya tampak kepala saja.

Cermin itu sangat besar. Membuatku tampak jelas berada di dalamnya. Terkadang, aku usil mencoretnya dengan spidol yang tak permanen. Menuliskan apapun disana. Menggambar juga disana. Setelah penuh, dihapus. Penuh lagi, hapus lagi. Ya, begitu seterusnya.

Sesekali, aku juga sering menempelkan mulutku disana. Memonyongkan bibir yang sudah memerah karena lipstik ama yang kupakai. Compang-camping. Membuat cermin semakin buram dan tak jelas kelihatannya.

Dan sesekali, kuhempaskan bedak tabur putih disana. Terkadang kucampur dengan air, seperti masker. Tapi, sekali lagi, itu mengotori cermin. Belepotan.

Dan pernah juga, aku berdiri tegak di depan cermin. Lama sekali. Aku melihat seseorang di dalamnya.

Dan aku bertanya. Pertanyaan yang sampai sekarang tak dapat kutemukan jawabannya. Pertanyaan sepele anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa. Lantas saat dewasa, masih sama saja.

Pertanyaannya adalah, kenapa aku ada? Kenapa bentukku seperti ini? Kalau aku tak ada, apa yang akan terjadi? Kalau bentukku berbeda, bagaimana?

Itulah pertanyaan yang melintas, saat itu. Dan entah kenapa, aku ingat sekali. Sangat ingat malah.

Dan aku takut untuk menyadarinya. Bahwa aku diciptakan olehNya, sebagai manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Yang mengemban amanah yang sangat berat. Yang saat ia dilimpahkan pada gunung, ia menolak. Pada laut, juga menolak. Lantas, pada manusia, ia menerimanya. Sebuah beban yang sangat besar.

Tapi manusia diberikan kelebihan, juga kekurangan. Tinggal bagaimana kita memaknai keberadaan kita dalam kehidupan. Apakah ingin menjadi manusia pada umumnya. Atau ingin menjadi manusia yang memegang amanah dengan sebaik-baiknya.

Memaknai setiap kehidupan dalam kedalaman pemikiran. Menelisik hingga jauh, jauh sekali. Untuk apa aku ada, dan aku dilahirkan seperti ini, berada dalam lingkungan yang seperti ini. Lantas, bijakkah jika hanya menjalani kehidupan dalam ketidaksadaran? Alias hanya berambisi pada dunia dan tak terlalu berpusing-pusing dengan akhirat?

Ya, banyak sekali kekurangan yang kumiliki. Bahkan dari dulu sampai sekarang, tak ada kemajuan dalam mempelajari Alquran. Hanya sebatas pendidikan formal saja. Itupun beberapa tahun yang lalu.

Dan kini, semuanya terasa begitu asing. Seolah ada gap yang tak kasat mata terbentang di depan mata. Antara ada dan tiada. Seperti cermin yang memantulkan tapi tak keseluruhan isinya terlihat. Ada sisi yang berkebalikan dari yang seharusnya.

Sepoi-sepoi Cerita Kita

Hidup ini begitu aneh bukan? Saat aku berusaha keras untuk mendapatkan, kecewa yang didapatkan. Namun sebaliknya, saat tak ada passion disana, bahkan hanya menjalaninya dengan rutinitas saja, disitu bahkan diberi sesuatu yang menurutku, ya, terlalu amat gampang untuk didapatkan.

Padahal segalanya berbanding terbalik. Dan begitulah hasilnya.

Padahal awalnya tak ingin, lalu ingin, lalu apa yang akan diyakinkan untuk saat ini?

Ya, kecewa memang. Dengan hasil yang sedemikian rupa. Ada hal yang aku tak tahu harus seperti apa. Ada hal yang harus kulalui dengan sedikit rasa aneh yang muncul di saat-saat seperti ini.

Jikalah tidak karena hatiku sudah mencoba bersabar dan memenangkan kekalahan. Hanya jika aku tak menenggang yang lain dan berbuat sesuka hati saja.

Maka daripada itu, hidup memang aneh bukan?

Entahlah. Saat logika bertubrukan dengan retorika. Lantas pada siapa akan kutanyakan tentang kebenaran?

Pada penilaian yang memaksaku untuk diam. Menerima kenyataan. Saat objektivitas tak tampak. Di pelupuk mata bahkan.

Sudahlah. Tak ada lagi yang bisa kukatakan.

Hey, sudahlah. Ini hanyalah sebagian kecil dari hati-hati yang kurang hati-hati menjaga hatinya.

Sedari dini kukatakan. Hidup ini adalah sekumpulan cerita yang tak berkesudahan. Dan semua gelisah resah tersampaikan pada yang tersurat. Menumpahkan, sekedar mentransfer segala energi negatif dalam diri ke dalam selembar kertas kosong.

Dan aku tersadar pada ceritanya yang biasa-biasa saja. Setelah kujalani dan berada dalam lembar cerita selanjutnya.

"Memang sulit, menerima kenyataan yang seharusnya tak seperti demikian. Sulit sekali. Tapi baiklah. Buat apa berlama-lama disana. Habis hari untuk membuat waktu tak berkesudahan.

Biarlah. Biarkan angin sepoi-sepoi perlahan menghembuskannya. Sehingga ia tak bersisa sedikitpun jua. Entah kapan bila waktunya. Akan ada harinya. Tunggu saja.

Senin, 28 Maret 2016

Perfecto

Ada sejumlah kata yang tersampaikan olehnya. Entah bagaimana aku mencoba untuk memilah dan memilih. Mana yang bisa kuserap, mana yang harus kupantulkan.

Sebab apa? Bagiku, memang mungkin seseorang yang begitu perhatian, keras pikirannya akan kelangsungan sebagian dari kehidupan kita, komentar ini dan itu, ya, pahami saja. Iyakan saja.

Toh, terkadang, menurutku, terlalu banyak bicara, banyak pula yang akan terluka.
Banyak bicara, banyak pula hal yang tak sengaja terlompat.

Apalagi begitu prinsipal sekali. Memberikan judge terhadap seseorang tanpa berpikir ulang. Hidup memang demikian. No body is perfect. Kritik boleh, asal jangan berbicara di belakang. Memandang orang lain sebelah mata. Punya pendapat berbeda boleh. Asal jangan melukai orang lain sering-sering. Bagiku begitu.

Dan sebelum menilai seseorang, pahami betul dia. Bagaimana kondisinya. Apa saja yang sudah dilakukannya. Karena setiap orang berbeda. Bahkan bahasa tubuh seseorang pun, tak bisa menjamin sama dengan apa yang ada dalam benak dan hatinya.

Sekali lagi. Tak bisa tidak kukatakan. Ada banyak detik, menit, jam, dan hari yang akan kulalui disini. Aku juga tak bisa memberikan judge padanya hanya sekilas lalu saja. Ini baru, sangat baru bagiku.

Tunggulah waktu berlalu. Saban hari, dan rasakan, temukan hal yang sesungguhnya.

Rasakan dengan hati, bukan dengan mata.

Minggu, 27 Maret 2016

Post Edition

Aku melihat, menelisik jauh ke dalam diri. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Apalah yang patut dibanggakan pada diri. Tiada. Bahkan hingga detik inipun, tak jua bisa membahagiakan mereka. Jangankan begitu, mandiri untuk diri sendiri secara finansial saja masih belum.

Aku melihat. Sejauh mata memandang, sejauh rasa menerawang. Masih banyak lika-liku perasaan yang telah terkorbankan. Entah itu suka atau tidak. Entah itu ego di masa lama. Ataukah rasa kecewa yang teramat sangat. Sehingga membuatku belum juga berani mengambil keputusan, langkah pasti ke depan.

Padahal dengan itu, setidaknya masih tersisa separuh hari yang berharga. Masih bisa kujalani dengan semangat di usia yang semakin bertambah saja. Masih bisa kutitipkan segala asa pada harapan yang datang karenanya.

Ya, tak ada alasan untuk tak berjuang.
Tak ada alasan untuk bermalas-malasan.
Tak ada alasan untuk menunda kebaikan.

Sebab, waktu berhenti tanpa pamit.
Jantung berhenti tanpa izin.
Nafas tertahan tak berkesudahan.

Dan aku malah merajut semuanya menjadi hal yang tak berkesudahan.

Aku ingin kembali. Kembali padanya dalam keadaan siap. Tak menyesal karena telah menyiakan arti kehidupan dalam laga yang tak berkesudahan.

Aku ingin mengabari pada hati-hati mereka yang menaruh janji suci. Bahwa aku akan berusaha untuk menyanggupinya.
Apapun tantangannya.
Apapun kesulitannya.
Dan apapun risikonya.
Sebab kuyakin semuanya akan berakhir dan menuju ke tempat yang sama.

Senin, 21 Maret 2016

Tonight

Setelah kupikir-pikir, banyak hal yang harus kupikirkan untuk ke depannya. Karena kusadari, kini, dalam lembaran hari demi hari yang terbentang luas dalam rutinitas, ada hal yang tak boleh kulupakan.

Sesuatu yang terlewatkan walau terkadang teringat, walau sepintas lalu.

Itulah dia. Yang entah kenapa, tak bisa tidak jika tak kupikirkan sejak saat ini.

Terkadang, hari demi hari yang sibuk pun tak mampu kujalani dalam arti kata lain.

Walau kusadar sesadarnya, namun rasa itu tak kunjung datang seutuhnya. Masih banyak keraguan, kebimbangan.

Padahal aku sadar, waktu tak banyak. Hari berlalu tanpa iba. Meninggalkanku jauh, sangat jauh.

Dan aku terlalu mengiba pada diri ini. Yang terbuai dalam asa dan rasa yang tak bisa diajak kompromi.

Dan entahlah, jutaan klise ingatan itu datang dengan cepat. Dia yang tiba-tiba saja terpintas dalam ingatan. Lupakan masa lalu, dan sudah seperti itu pun melupakanku begitu saja.

Memang, dunia seperti itu. Namun orang baik takkan seperti itu, kawan. Ingatlah, ilmu alam. Ilmu padi yang kian berisi kian merunduk. Kian ia berilmu, ahli dalam sesuatu hal, kian ia menghargai orang lain, malahan untuk melihat ke arahku saja kau enggan. Sudah kusapa dan kusentuh dengan lembut, kau pun berlalu dengan pasti.

Sama seperti hari-hari yang berlalu, tanpa izin sedikitpun. Datang sesukanya, pergi sekehendak hatinya.

Dan kini tinggallah kenangan menyakitkan yang tak perlu diingat. Hanya akan menghabiskan waktu.

Baiklah. Mari kembali ke tema awal.

Malam ini, tepat sekali, menjelang memejamkan mata, ingin bermuhasabah diri. Sudah lama sekali tak seperti ini. Walau diiringi oleh untaian lagu yang jarang sekali diputar karena ini mengingatkan pada saat-saat penuh emosi. Saat segala rasa saling berkumpul dan bersatu padu memorak-porandakan segalanya.

Dan aku merasa ada sesuatu pada diriku. Yang entah seperti apa, terus mengikutiku.

Walau aku merasa ada, aku selalu berusaha untuk tak memikirkannya.

Awalnya aku takut dan khawatir. Namun lama-kelamaan, ini terasa biasa saja. Tak lagi kupikirkan, walau terkadang sering membuatku kehabisan napas dalam tidur.

Ah, sudahlah. Cerita malam ini terasa aneh. Sekelebat memori yang harusnya tersusun dengan rapi dalam file-file terganggu karena tak ada waktu tidur yang berkualitas sebagai perantaranya.

Sekali lagi, semoga aku bisa melakukannya dan merasakannya dengan sebaik-baiknya.

Just Remember on Something

Okay, this time to kill the time. Tak tahu harus bagaimana lagi. Panas, gerah. Menghilangkan mood weekend yang memang tak berjatah. Bukan apa-apa. Hanya saja, membaca sebagian kecil dari kisah kehidupan membuat kita tak mampu bergerak. Membuat kita hanya diam sejenak. Tahu bahwa kita tak bisa berbuat apa-apa sama sekali.

Bertahanlah. Bagaimanapun, kita memang lelah. Lelah di atas lelah lebih tepatnya. Menghabiskan waktu. Hey, waktu. Bagaimana pula caranya menghabiskan waktu yang waktu itupun dari dahulu sejak sekarang selalu begitu-begitu saja. Tak ada yang berubah. Detik demi detiknya selalu begitu saja. Hanya saja, momen yang terisi di dalamnya-lah yang menjadi pembeda. Entah disadari, entah tidak. Itulah yang terjadi saat ini.

Sudahlah. Lupakan saja. Mungkin dalam konteks waktu ini, sesekali kita perlu merasa berada dalam putaran roda pedati. Sesekali berada di bawah. Terinjak-injak dalam gerakannya yang bertubi-tubi. Tak perlu disesali. Sebab setelah itu ada kelapangan yang datang menghampiri. Terserah kita, mau menanggapinya seperti apa.

Dan aku menghabiskan sisa-sisa waktu yang tak biasa ini dalam mata yang masih terbuka lebar. Walau kantuk yang berkesangatan datang menyerang. Kukatakan tidak. Tidak untuk menyerah pada panasnya malam. Apalagi pada gerahnya keheningan malam yang semakin menjadi-jadi. Membuat bulu roma semakin meninggi.

Seperti apapun, aku takkan menyerah pada waktu. Sekalipun ia dekat, dekat sekali padaku. Walaupun ia menatapku, namun tetap diam. Tak menawarkan apa-apa, yang jika tidak terlalu kupikirkan itu takkan berpengaruh apa-apa.

Aku terdiam, lagi-lagi. Dalam kantuk yang datang menyerang, lebih gencar lagi dari dunia perang. Aku akan tetap bertahan, walau aku tak tahu sampai kapan batas itu kan terlampau.

Sudahlah. Badai pasti berlalu. Ya, benar. Seperti status yang pernah kubuat sebelumnya.

Rabu, 16 Maret 2016

I Know

Setiap jejak langkah dan jejal nafas, aku sadar. Tersadar ataukah disadarkan. Atau malah sadar bahwa masih belum juga sadar sepenuhnya. Putih. Putih demi putih bergelayut tak berisi. Kosong. Banggakah dengan kekosongan yang hampa?

Padahal hanya baru segitu.
Lelah memang.
Serba kekurangan.
Emosi labil menjadi-jadi tak tahu lagi kemana.
Kemana kan diarahkan.

Entahlah.

Minggu, 06 Maret 2016

Cold

Dingin, dan akan tetap dingin. Seperti ini. Tak masalah. Tak apa. Aku sadar diri. Tahu betul diri ini. Kau hanya membutuhkanku saat kau butuh. Selebihnya, kau hanya diam. Tak tahu bagaimana keadaanku. Tak tahu apakah aku butuh tempat berbicara, atau hanya sekedar menyampaikan keluh kesah semata.

Dingin, dan akan tetap dingin. Perlahan-lahan keadaan ini memaksaku untuk kembali ke masa itu. Haruskah? Haruskah aku? Namun tidak dapat tidak. Persis sudah kau melakukannya padaku. Dan aku hanya bisa bertahan dengan diri sendiri. Saat ini.

Dingin. Benar. Kau butuh dan aku selalu berusaha. Dan kini saat kau berada entah dimana, kitapun terpisah tanpa sepatah kata. Hey, bukan. Bukan aku cemburu. Hanya saja, aku merasa. Perasaan ini yang memaksa.

Padalah apa kan kukatakan. Kau yang hanya dekat saat membutuhkan. Persis pada titik seperti ini, kau, kalian, bertubi-tubi melayangkan pertanyaan. Lantas aku apa? Apakah aku hanya tempat pelarian? Apa aku hanya tempat untuk mengisi kekosonganmu?

Kau dan segala yang tak sempat terpikirkan. Ingin kuacuhkan saja semua. Tapi entah kenapa, rasa aneh ini memaksaku untuk berkata lain. Haruskah aku berdiri dan berpijak pada dinginnya malam? Bekunya pagi?

Banyak hal yang berkecamuk. Dalam penantian dan ketidakjelasan. Dan kau baru menemuiku saat ini. Saat segalanya memusingkan kepala. Tidak, tidak mengapa. Pertanyaanmu itu tidak relevan dengan yang kuharapkan.

Dan biarlah semuanya berjalan. Seperti apa adanya. Pasrah dan lain halnya, sudah kucurahkan. Sudahlah. Dingin dan akan tetap dingin.