Kenangan demi kenangan itu datang, melesat jauh dalam memori ingatan. Saat itu, aku masih kecil. Kecil sekali. Hanya setinggi lutut orang dewasa. Kalaulah berlutut di depan cermin, hanya tampak kepala saja.
Cermin itu sangat besar. Membuatku tampak jelas berada di dalamnya. Terkadang, aku usil mencoretnya dengan spidol yang tak permanen. Menuliskan apapun disana. Menggambar juga disana. Setelah penuh, dihapus. Penuh lagi, hapus lagi. Ya, begitu seterusnya.
Sesekali, aku juga sering menempelkan mulutku disana. Memonyongkan bibir yang sudah memerah karena lipstik ama yang kupakai. Compang-camping. Membuat cermin semakin buram dan tak jelas kelihatannya.
Dan sesekali, kuhempaskan bedak tabur putih disana. Terkadang kucampur dengan air, seperti masker. Tapi, sekali lagi, itu mengotori cermin. Belepotan.
Dan pernah juga, aku berdiri tegak di depan cermin. Lama sekali. Aku melihat seseorang di dalamnya.
Dan aku bertanya. Pertanyaan yang sampai sekarang tak dapat kutemukan jawabannya. Pertanyaan sepele anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa. Lantas saat dewasa, masih sama saja.
Pertanyaannya adalah, kenapa aku ada? Kenapa bentukku seperti ini? Kalau aku tak ada, apa yang akan terjadi? Kalau bentukku berbeda, bagaimana?
Itulah pertanyaan yang melintas, saat itu. Dan entah kenapa, aku ingat sekali. Sangat ingat malah.
Dan aku takut untuk menyadarinya. Bahwa aku diciptakan olehNya, sebagai manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Yang mengemban amanah yang sangat berat. Yang saat ia dilimpahkan pada gunung, ia menolak. Pada laut, juga menolak. Lantas, pada manusia, ia menerimanya. Sebuah beban yang sangat besar.
Tapi manusia diberikan kelebihan, juga kekurangan. Tinggal bagaimana kita memaknai keberadaan kita dalam kehidupan. Apakah ingin menjadi manusia pada umumnya. Atau ingin menjadi manusia yang memegang amanah dengan sebaik-baiknya.
Memaknai setiap kehidupan dalam kedalaman pemikiran. Menelisik hingga jauh, jauh sekali. Untuk apa aku ada, dan aku dilahirkan seperti ini, berada dalam lingkungan yang seperti ini. Lantas, bijakkah jika hanya menjalani kehidupan dalam ketidaksadaran? Alias hanya berambisi pada dunia dan tak terlalu berpusing-pusing dengan akhirat?
Ya, banyak sekali kekurangan yang kumiliki. Bahkan dari dulu sampai sekarang, tak ada kemajuan dalam mempelajari Alquran. Hanya sebatas pendidikan formal saja. Itupun beberapa tahun yang lalu.
Dan kini, semuanya terasa begitu asing. Seolah ada gap yang tak kasat mata terbentang di depan mata. Antara ada dan tiada. Seperti cermin yang memantulkan tapi tak keseluruhan isinya terlihat. Ada sisi yang berkebalikan dari yang seharusnya.