Rabu, 14 Mei 2014

MALIN TAMBANG




“Nak, ingek pasan bundo, satinggi-tinggi tupai malompek pasti jatuah juo. Kok hujan batu di nagari awak, hujan ameh di nagari urang, nagari awak tetap nan utamo. Dek ulah tangan manusia juo,mako tataruang kaki, nan alam takambang indak dipagurui”

***

Pikiran itu berkelebat dalam otakku, nyaris meluluhlantakkan pendirian yang selama ini kubangun. “Tidak, aku tak akan kena dengan pesan sialan yang bertahun-tahun lamanya itu selalu kudengar dari bundo, ibu tiri yang tak kuanggap sama sekali itu bukan ibu kandungku!” cercaku membatin.

Pagi ini aku disuguhkan lagi dengan sarapan basi. Sebasi berita-berita di koran dan televisi yang kian hari kian tak jelas. “Ada-ada saja mereka, baru anak kemarin sore sudah berlagak hebat menyiarkan berita bak profesional, dibumbui info yang tak jelas asal usulnya pula”, sambil melotot geram melihat televisi dan mematikannya.

“Yayaah, kok dimatiin sih tv nya? Kan bental lagi ada film kaltun kesukaanku…”

Anakku satu-satunya yang masih belum sekolah itu pun merengek manja meminta remote tv dan ingin menghidupkannya lagi.

“ Nggak! Pergi sana tempat mamamu! Jangan ganggu Ayah!” bentakku keras padanya.

Dia pun berlari sambil terisak kecil menjauhiku. Aku ayah yang kejam memang. Namun aku seperti ini juga untuk kebaikan dia, agar dia tak lemah dan bergantung kepada orang lain. Itu juga yang diajarkan oleh Abak padaku sejak kecil. Hingga aku bisa seperti ini.

Seolah memecah kesunyian rumah besar mewah yang memang berpenghuni hanya lima orang, aku, istriku Rani, anakku Robi, si bibik yang mengurus rumah, dan pak Olga yang merangkap kerja sebagai tukang kebun dan sopir pribadiku. Tak sebanding memang dengan kehidupanku dulu saat masih di kampung Padang Lamo. Tapi di ibukota metropolitan inilah kehidupan yang kujalani saat ini, aku dengan segenap kekuatan dan kerja kerasku, akan aku lakukan untuk mendapatkannya.

Lagi-lagi sepagi ini ponselku berdering. Seseorang nan jauh disana, aku berbicara dengannya lewat sinyal dan gelombang yang sama.

“Bos, maaf mengganggu sepagi ini. Bos sudah lihat berita di tv dan koran beberapa hari ini? Sepertinya ini akan berbahaya bagi posisi kita Bos. Apa perlu kita segera mengambil tindakan, Bos?”

“Hmm… kau tunggu sampai esok hari dulu Bondan. Kalau media itu masih saja macam-macam, besok tanpa babibu langsung saja kau tindak mereka.”

“Oke, siap Bos! Saya pamit dulu, selamat pagi Bos!”

***

“Malin, janganlah sering-sering kau tebang pohon itu, nanti rusak tanah pandam nagari kita,” kata bundo suatu hari.

“Tidak bundo, apa hak bundo melarang Malin. Bundo bukan ibu kandung Malin. Lagipula kayu-kayu kurus kering ini akan Malin jual ke pembuat karupuak sanjai, Malin butuh uang bundo, bundo mana bisa kasih Malin uang?!”

Tatkala itu, siang tak hingar bingar, malam sepi tanpa kelakar. Hanya di sudut-sudut surau saja di kampungku itu yang malamnya dipenuhi anak-anak bujang yang tinggal di surau. Ada yang belajar mangaji, berbalas pantun, pencak silat, atau hanya sekedar numpang tidur saja sambil berkelakar dengan teman sebayanya. Maklum, para anak bujang dulunya punya raso jo pareso kalau masih saja tidur di rumah orang tua.

Tapi siang itu tak seperti biasanya. Ada sedikit keributan kecil yang terjadi antara orang tua dengan anaknya. Di samping rumah gadang yang namanya tidak seluas kondisi sebenarnya itu, bersiteganglah antara bundo dengan Malin. Malin tetap saja menumpuk kayu hasil tebangannya di lorong bawah rumah gadang tanpa segan pada bundonya. Bundo hanya bisa bersabar dengan sikap Malin, lagi-lagi. Entah sampai kapan pertahanan seorang bundo akan hancur luluh oleh sikap kasar dan keras kepala anaknya Malin.

Ternyata Malin tak hanya menebang pohon saja, apapun dia lakukan untuk mendapatkan keinginannya. Merambah hutan pun dia lakukan, menambang pasir di sungai bahkan memikul batu-batu besar untuk bangunan pun dikerjakannya juga. Sekalipun harus berkali-kali bersikukuh dengan bundonya. Tak jarang orang kampung sekitar juga turut andil menasehati, tapi apalah daya. Hingga akhirnya oleh orang kampungnya dia dijuluki “Malin Tambang”, karena memang hobinya menambang apapun yang ada di alam sekitar kampungnya. Andai saja Abak Malin masih hidup, mungkin Malin masih bisa menerima nasehat dari Abaknya.

“Malin, sampai kapan wa’ang mau seperti ini? Bundo sudah berusaha kerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup kau Malin. Tapi kenapa wa’ang masih saja merambah alam sembarangan Malin?”

“Malin, dengarlah nasehat bundo ini, sekali ini saja Malin. Pesan bundo yang akan berguna sampai nanti, pesan nan alah turun temurun dari nenek moyang. Alam takambang jadikan guru, tando-tando nan patuik wa’ang inok manuangkan, sabab ndak salamonyo alam tampek awak bapijak kini sarancak dan samanih isi nan dikanduangnyo."

***

Secepat kilat kusambar jas kebanggaanku, tak lupa tas dan sepatu kulit hitam branded keluaran negara Eiffel. Konon kabarnya, barang tersebut diproduksi limited edition. Akupun bergegas melesat menuju kantor untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Meski suasana hati tak mendukung, tapi apapun yang terjadi, masalah ini harus segera beres. Jangan sampai mengancam keberlangsungan perusahaannya, apalagi terhadap para investor yang tak tanggung-tanggung merogoh kocek sedalam-dalamnya untuk sekedar menanam uang di tanah subur.

Ya, proyek yang saat ini tengah menjadi sorotan media massa. Padahal tinggal sedikit lagi dan aku yakin investor lain akan berdatangan membanjiri perusahaanku. Perusahaanku yang bergerak di bidang pertambangan bahan-bahan alam yang nilai jual ekspornya membumbung tinggi. Negara tetangga bahkan Eropa dan Amerika tak luput dari sasaran pasar global perusahaanku.

“Bagaimana perkembangan terakhir proyek kita di kampung Padang?” selidikku pada sekretaris proyek.

“Mohon maaf Bos. Jika ini bukanlah kabar yang diharapkan, tim kami sudah berusaha maksimal, namun ternyata terjadi sedikit kesalahan pengkalkulasian dalam proyek kita ini Bos. Tapi yang tak saya mengerti akibatnya cukup fatal, persis seperti yang diberitakan.”

“Tak becus kau! Lihat berapa kerugian perusahaan ini! Nyawa kau pun tak sanggup menebusnya. Keluar kau!”

“Sekali lagi maafkan saya Bos. Ini murni kesalahan tim kami. Tapi Bos, ada kabar yang lebih tak enak dari ini Bos. Akibat penebangan pohon di hutan Padang, pengerukan pasir dan batu, apalagi di musim hujan ini menimbulkan banjir yang sebelumnya tak pernah terjadi disana Bos.”

“Ah, itu bukan urusanku! Lagian toh, itu salah kau. Kau yang buat ulah disana, jangan ngawur kalau aku yang harus ganti rugi itu semua,” pelototku padanya.

“Tapi Bos, tapi….”

“Gak ada tapi-tapian. Keluar!”

***

“Bundo, Malin sudah besar, tak betah lagi Malin tinggal berlama-lama disini. Malin ingin pergi merantau bundo, ikut dengan Mak Pono ke Jakarta. Katanya disana kehidupannya lebih mudah dan enak daripada disini.”

“Bundo tak akan melarangmu Nak. Pergilah, kejarlah cita-citamu. Bundo hanya bisa mendoakanmu dari sini Malin, semoga kau sukses jadi orang yang berhasil, Nak.”

“Tak usahlah Bundo meragukan Malin. Malin bisa melakukan apapun yang Malin mau tanpa bundo. Malah bundo yang selama ini menyusahkan Malin. Malin ingin mandiri, tak mau lagi bergantung dengan orang lain, apalagi bundo. Jadi tak usahlah bundo mencemaskan Malin.”

“Indak banyak pinto bundo Malin, jan wa’ang terlalu maninggikan diri, sabaiak—baiak urang nan cadiak pandai, kian barisi kian marunduak, bak padi nan boneh.”

“Nak, ingek pasan bundo, satinggi-tinggi tupai malompek pasti jatuah juo. Kok hujan batu di nagari awak, hujan ameh di nagari urang, nagari awak tetap nan utamo. Dek ulah tangan manusia juo,mako tataruang kaki, nan alam takambang indak dipagurui.”

“Hentikan bundo, panek Malin mendengar kata-kata aneh bundo itu. Seperti tak ada kata-kata lain saja. Malin pamit dulu bundo, jadi bundo tak usah cari-cari Malin lagi karena Malin merantau jauh. Suatu saat Malin akan buktikan Malin akan jadi orang sukses, Malin ingin jadi penambang yang kaya raya seperti di koran-koran, dan terkenal.”

***

“Hotnews diberitakan langsung dari kampung Padang bahwa sejak pagi ini hujan lebat terus mengguyur kawasan kampung Padang dan sekitarnya. Terjadi longsor dan banjir bandang yang meluluhlantakkan satu kampung yaitu di kawasan kampung Padang Lamo. Dilaporkan korban yang meninggal mencapai 56 orang, belum ditemukan 47 orang. Hingga saat ini tim SAR beserta polisi masih berada di lokasi kejadian untuk mengevakuasi korban. Medan yang licin dan terjal menyulitkan pencarian korban.”

Aku yang tak berselera melakukan apapun di ruangan setelah marah-marah tadi pagi, sontak kaget dan tak percaya dengan apa yang aku lihat di tv. Kampung Padang Lamo, satu kampung luluh lantak oleh longsor dan banjir bandang. Oh tidak, itu adalah kampung halamanku. Secepat bermacam aliran entah listrik kilat atau apapun itu menyambar di sekujur tubuhku. Segera aku panggil kembali sekretaris yang sudah kusuruh pergi jauh-jauh sejak tadi. Aku, bagaimanapun itu aku seperti merasa tetap tak sanggup menghadapinya jika berita itu benar.

“Apa kau sudah lihat berita terakhir? Apa kau tau itu?”

“Mohon maaf, Bos. Tadi saya ingin menyampaikan hal itu, tapi saya sungguh tak sanggup.”

“Oh Tuhan, apa lagi yang terjadi ini? Kau, cek keadaan bundo segera! Dan yang lainnya, laporkan padaku secepat yang kau bisa!”

***

“Nak, ingek pasan bundo. Nak…. Malin, jan kau rusak alam itu semau kau….Malin….” tak terasa kata-kata bundo itu kini terafirmasi dalam benakku. Memori yang kuingat tentang bundo hanya itu, tak lebih. Ingat hanya karena terlalu sering diucapkan bundo tanpa aku turuti. Mataku memberat, cairan hangat setitik demi setitik membanjiri pipiku. Tak sanggup lagi kubendung.

“Bundo, anak macam apa aku ini, maafkan aku bundo, aku…aku… sungguh belum siap kehilangan bundo. Aku durhaka bundo, pada bundo dan juga orang kampung. Aku…aku…pelan-pelan telah membunuh orang kampungku sendiri. Maafkan aku, oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” lirihku mengiba.

Malin, meski harus kehilangan bundo dan beberapa orang kampung yang dikenalnya dengan baik, akhirnya ia dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Kini, ia hanya dapat menyesali yang sudah terjadi, nasi sudah jadi bubur. Malin sekeluarga memutuskan untuk pindah ke kampung kecil di kampung Aceh. Meski hati kecilnya ingin sekali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, namun kedatangannya hanya akan menjadi musibah penolakan yang bertubi-tubi bagi keluarganya.


Tidak ada komentar: