Impianku adalah menjadi seseorang. Awalnya aku tak tahu persis seseorang itu siapa, seperti apa, dimana tinggalnya, dan sebagainya. Yang jelas, seseorang yang aku impikan itu adalah dia yang punya mimpi besar dan sudah mewujudkannya. Dulu pernah aku berpikir menjadi astronot, menjadi dokter, menjadi pilot, dan menjadi yang lainnya. Dan kini impian itu hampir kugenggam, menjadi seorang dokter.
Namun seiring berjalannya waktu, dengan fakta dan realita yang berserakan di media-media mainstream saat ini cukup pelik bagi profesi dokter. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal dulu profesi dokter begitu wah, begitu dihormati dan mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat. Akankah anggapan masyarakat saat ini juga akan sama terhadap dokter atau berbeda? Atau akankah masyarakat tetap mempercayakan dirinya ‘seutuhnya’ kepada dokter untuk mencapai kesembuhan?
Pergeseran nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan sehari-hari saat ini cukup berpengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan profesi yang dilakoninya. Semakin maju suatu negara maka akan semakin maju pula pola pikir masyarakatnya. Jika dahulu masyarakat sangat percaya pada dokter dengan segala kondisi yang akan terjadi. Kesembuhan mendatangkan ucapan terima kasih dan rasa bangga kepada sang dokter, kemalangan berujung pada kesabaran dan ketabahan keluarga pasien dan menyakini bahwa itu sudah menjadi ajalnya. Akankah dokter akan tetap diterima dengan legowo oleh masyarakatnya saat ini?
Anggap saja sebagian masyarakat masih mempercayakan persoalan kesehatan dan penyembuhannya kepada dokter. Tapi bagaimana dengan sisi lain yang berseberangan, yang dapat dikatakan memiliki motif tertentu yangg berbeda-beda. Media akhir-akhir ini begitu sigap dan lincah memberitakan malpraktik dokter. Apakah malpraktik itu identik dengan dokter yang melakukan kesalahan terapi pada pasien sehingga menyebabkan pasien meninggal atau cacat? Lalu bagaimana dengan kesalahan yang terjadi pada praktik lainnya, semisal praktik bidan, perawat, dll yang masih sealiran dalam bidang kesehatan, atau pada praktik lainnya secara teknis?
Sebenarnya dokter bukanlah manusia yang sempurna, ia hanyalah manusia biasa yang dapat berbuat kesalahan atau kekhilafan. Tapi aku yakin semua dokter pasti berusaha untuk meminimalisir kesalahannya, dengan terus belajar dan belajar dari kesalahan yang ada. Terkadang permasalahan dalam terapi tak serta merta merupakan kesalahan dokter. Dalam prinsip terapi, ada trias terapi yang tak boleh dilupakan oleh siapapun, baik itu si pengobat yakni dokter maupun si penerima obat yakni pasien.
Pertama, dokter harus melakukan pengobatan sesuai dengan protap (prosedur tetap)nya. Mulai dari anamnesis/ mewawancarai pasien terkait dengan keluhannya hingga tatalaksana hingga follow up pada kasus biasa. Beda lagi pada kasus emergensi, tentunya pasien tak perlu ditanya-tanya terlebih dahulu mengingat ‘time is muscle’ pada kondisi kegawatdaruratan.
Kedua, pasien dipastikan mendapatkan terapi yang tepat. Tak jarang terjadi kasus yang mana karena kekhilafan menyebabkan salah pemberian obat, atau salah melakukan pemeriksaan, bahkan salah melakukan tindakan di meja operasi. Hal-hal detail yang kurang diperhatikan tapi berdampak fatal seharusnya bisa diminimalisir. Hendaknya teamwork antara dokter, apoteker, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya dapat mengurangi KTD (Kejadian tidak Diharapkan) di rumah sakit.
Ketiga, pasien merupakan faktor utama penentu dalam keberhasilan terapi. Jika saja pasien tidak mematuhi nasehat dokter, jadwal minum obat, dosisnya, kapan follow upnya, maka terapi akan sulit bagi pasien. Pasien yang kurang kooperatif kadangkala tidak patuh berobat karena berbagai faktor, bisa saja karena kondisi ekonomi, anggapan bahwa harapan hidupnya yang kecil, bahkan kurangnya perhatian keluarga terutama pasien lansia. Untuk itu, perlu dicermati lagi ketiga hal di atas agar segala duduk persoalan dapat clear.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa jumlah dokter yang masih kurang dan kondisi serta sumber daya pendidikan kedokteran di tiap daerah yang berbeda itulah yang membuat kualitas pendidikan dirasakan kurang begitu ‘mengena di hati’. Saya sengaja menggunakan istilah roman tersebut karena barangkali tak semuanya juga yang merasakan hal yang sama dengan saya dan beberapa teman sejawat lainnya. Pendidikan saat ini yang ditargetkan selesai dalam jangka waktu tertentu, dengan sistem yang menurut saya masih semrawut karena mencontoh langsung sistem pendidikan di negara barat sedangkan belum seluruh mahasiswa di Indonesia ini cocok dengan sistem yang seperti itu. Pelajaran yang terkotak-kotak dalam sistem blok sehingga sulit untuk mengintegrasikannya dengan bidang ilmu lain yang seharusnya tak boleh dipisahkan, ibarat anak ayam dengan induknya.
Sebenarnya patut juga diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada lembaga pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia. Setiap pilihan sistem yang akan diambil dan diterapkan di negeri ini tak mungkin lahir hanya dalam satu malam. Saya yakin, setiap dokter memiliki niat yang ikhlas dan mengharapkan ridho Allah semata dalam menjalankan misi kemanusiaannya. Mendayagunakan asas kebermanfaatan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sebab di dunia ini hanya sedikit saja manusia yang beruntung, salah satunya adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang kehadirannya selalu dinantikan, ketiadaannya selalu dirindukan. Suluah bendang dalam nagari, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito.
Sistem merupakan sekelompok elemen yang disatupadukan menjadi satu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan yang baik dan hasil yang baik maka diperlukan sebuah sistem pendidikan yang baik pula. Sekali lagi, sistem tak serta merta menghasilkan tujuan awal dengan mulus tanpa hambatan. Sistem yang baik sekalipun belum tentu menjamin akan tujuan dan hasil yang baik pula yang akan tercapai. Sistem tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah alat, dan manusia adalah pelakon utamanya. Bagaimana mungkin hasilnya akan baik sedangkan banyak yang dipotong dan dipangkas disana-sini, apakah itu dalam bentuk dana pendidikan, gaji, dsb.
Akar permasalahannya tak muluk-muluk. Lihat dan berkaca saja pada diri sendiri, hal sekecil apa yang tak boleh dilakukan tapi kita lakukan, malahan sudah menjadi kebiasaan. Contohnya saja mencontek saat ujian, tidak mau antri, bolos, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Simpel bukan? Tapi mental semacam inilah yang jika dipelihara terus-menerus akan membentuk kepribadian yang ‘semau gue’, asal senang semua boleh diembat. Tak masalah.
Saya berharap, termasuk diri pribadi ini dapat mengambil kesimpulan yang ajaib dari sepenggal impian di atas. Ajaib jika saya dan yang membaca langsung berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Sehingga semakin banyak yang membaca tulisan ini semoga semakin banyak yang sadar bahwa hidup ini tak lebih dari sebuah pola. Pola kehidupan manusia mulai dari janin hingga meninggal dunia. Begitupun nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat, sekali tercoreng muka maka akan sulit untuk dipercaya selanjutnya. Akan lebih baik lagi jika kita saling mempercayai satu sama lain, dan yang diberikan kepercayaan juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan. Kepercayaan adalah amanah dan wajib dijaga. Sebagai dokter yang diberi amanah oleh masyarakat hendaknya dapat menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Apapun risiko yang terjadi masyarakat akan mengerti.
Tetaplah berjuang dokter-dokter sekalian, teman-teman sejawat kelak. Luruskan kembali niat kita, semoga profesi dokter tak lagi menjadi sorotan utama karena kasus malpraktiknya, tapi dapat menunjukkan prestasi yang gemilang. Asaku, asamu, asa kita semua. Mimpimu dan mimpi sejuta manusia di dunia demi kebermanfaatan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar