“Sorot matamu, menggelapkan mataku. Andai kau tahu, betapa aku tak ingin, tapi karenamu, kurelakan segalanya, cinta bahkan kematian, hanya untukmu”
Dalam diam, dari jauh kuperhatikan dia dengan tatapan terluka. Hatiku sakit teriris perasaan yang tak tentu. Di satu sisi aku begitu mengaguminya, tapi di sisi lain ada hal prinsipal yang tak bisa kuganggu gugat. Langkah kakinya, tatapan mata, senyumnya yang begitu menawan dan ramah, semuanya lengkap ada pada diri Mark. Mark Christian, nama lengkapnya. Dia kuliah di Melbourne University, sama denganku. Hanya saja kami berbeda jurusan. Dia fokus di bidang ilmu hukum sedangkan aku hubungan internasional. Aku mengenalnya sekadarnya saja. Rasa penasaranku terlebih besar padanya karena kami tinggal di apartemen yang sama.
***
Aku melangkah gontai menuju apartemen. Apartemen yang tak begitu istimewa menurutku. Meski harga sewanya cukup mahal tapi fasilitasnya biasa saja. AC tak ada, apalagi mesin cuci. Kadang harus berjibaku mengurus segalanya. Untungnya apartemen ini gratis, fasilitas beasiswa full kuliah di Australia dari kementerian pendidikan luar negeri Indonesia. “Alhamdulillah, seharusnya aku bersyukur bisa kuliah disini, gratis pula,” lirihku dalam batin. Meski lelah menyerang sepulang dari padatnya aktivitas di kampus, aku tetap berusaha menggerakkan seluruh tubuhku untuk semangat menempuh perjalanan pulang. Memang jarak kampus dan apartemen terbilang jauh, tapi itulah suatu anugerah bagiku, olahraga. “Hmmm... setidaknya aku bisa menurunkan berat badan dan lebih sehat lagi,”ujarku pelan.
Beberapa hari tinggal di apartemen, aku sudah mulai akrab dengan beberapa orang. Ada Sarah, Sophy, dan Marsha, mereka teman sekampusku tapi beda jurusan. Sarah berasal dari Malaysia, Sophy dari New Zealand, dan Marsha dari Rusia. Sebenarnya apartemenku ini tidak mengkhususkan tempat penginapan bagi wanita saja, disini campur wanita dan pria hanya saja berbeda sisi kamarnya. Wanita di sayap sebelah kanan dan pria sayap kirinya. Awalnya aku tak nyaman dengan kondisi apartemen ini, karena aku tak suka berhubungan dengan cowok, titik. Aku punya pengalaman yang tragis dengan seorang cowok, begitu sulit kulupakan, sungguh menyiksa batinku saat mengingatnya.
“Mark, welcome to this apartment, hope you will enjoy it!” teriak seseorang dari kejauhan beberapa saat sebelum aku membuka pintu apartemenku nomor 228. Refleks aku langsung memalingkan pandangan ke sumber suara. Disana kutemukan sesosok pria jangkung, atletis, dan berambut gondrong sedang mengangkat bagasinya, memasuki kamar apartemen tepat di seberang apartemenku. Mataku bergidik ngeri, “Oh no! Jangan sampai cowok itu tinggal disana,” aku memelas, makin lemas. Meski pahit tapi harus juga kukatakan, aku tak suka ada pria yang menempati kamar tepat di depan kamarku, persis. Membayangkannya saja membuat ulu hatiku nyeri, apalagi jika harus melihatnya setiap aku pulang dan pergi. “Oh, how come?!” teriakku dalam hati, kesal yang kutahan-tahan sejak tadi.
Dalam sekejap mata, cowok itu memandangku, mata kami saling berpapasan. Seketika itu ada perasaan gundah yang menyergap hatiku, tak bisa tidak aku membalas pandangan matanya. Tatapan matanya yang begitu hangat, mengingatkanku pada seseorang. Ya, seseorang yang pernah singgah di hatiku dulu, sangat membekas bagiku. Entah apa yang merasukiku sesaat, sehingga aku terpana begitu lama tenggelam dalam tatapan matanya.
“Hallo, my name is Mark, Mark Christian. Nice to meet you!” sapanya padaku dengan ramah. Membuyarkan lamunan panjangku yang entah berapa lama kurasakan. Aku bingung harus menjawab apa, aku takut padanya. Aku takut jika dia juga akan membunuhku pelan-pelan, sama seperti seseorang dari masa laluku. Dengan sigap segera kubuka pintu apartemen dan langsung masuk ke dalam tanpa mempedulikan Mark. “Oh, namanya Mark,” desahku pelan sambil menarik napas sedalam-dalamnya. Mencoba menghilangkan kepanikan dan kegelisahan yang menyergap relung hatiku. Luka lama itu seolah menganga kembali, Mark mengingatkanku pada seseorang yang dulu kucintai.
Di luar sana Mark tampak bingung. Apa ada yang salah dengan kata-katanya barusan? Tanpa berpikir lama Mark kembali membereskan barang-barangnya, menata kamar barunya. Ini adalah hari paling sibuk bagi Mark, semestinya Mark tak perlu susah-susah dalam hidupnya. Keluarga besar Mark ada di Melbourne, tapi dia memutuskan untuk hidup mandiri dan tak bergantung lagi pada orang tuanya. Jadilah Mark memilih tinggal di apartemen yang paling dekat dengan kampusnya.
***
Seperti biasa setiap Minggu pagi aku selalu jogging keliling kampus dan taman kota sendiri. Aku lebih senang jalan sendiri daripada bersama-sama, lebih bebas dan tak terikat siapapun. Begitupun kehidupanku saat ini, tak terikat siapapun, selain kenangan pahit itu. Sport shoes, botol minuman, handuk, yap sudah siap semuanya, saatnya berangkat jogging. Saat kubuka pintu apartemen, lagi-lagi aku harus berpapasan dengan orang itu. “Huh, sepagi ini sudah merusak mood ku saja,” keluhku lagi-lagi dalam batin. Sepertinya dia hendak pergi ke suatu tempat, style dan dandanannya mengingatkanku pada sesuatu. “Oh, sepertinya dia mau ke gereja, hmmm,” desahku lagi. Ada sedikit kekecewaan dalam nada keluhanku. Entahlah, aku tak tahu pasti apa itu. Yang kutahu dia adalah tetangga baru apartemenku dan seseorang yang berbeda keyakinannya denganku, hanya itu saja.
Lagi-lagi dia melihat ke arahku. Kali ini sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tak langsung menyapaku begitu saja seperti kejadian tempo kemarin. Tiba-tiba saja dia berjalan, mendekat ke arahku, dan berkata,” Good morning, bagaimana kabarmu? Oya, maaf jika kemarin aku mengagetkanmu. Perkenalkan, namaku Mark Christian. Kau bisa memanggilku Mark,” katanya seraya menyodorkan tangan, ingin bersalaman denganku. Hatiku berkecamuk, “Apa aku harus meladeni dia atau tidak?” batinku lagi. Antara iya dan tidak kujawab saja seadanya. “Iya, no problem. Namaku Rena. Oya Mark, aku harus pergi, maafkan aku,”kataku padanya seraya beranjak pergi, tak ingin terlalu lama dekat dengannya.
Sepanjang jogging entah kenapa aku selalu memikirkan Mark. “Ya Tuhan, kenapa ini begitu sulit bagiku? Aku merasa bersalah padanya. Tapi aku juga tak sanggup dekat dengannya, aku tak mau dekat dengan cowok manapun. Apalagi dia, Mark begitu mirip dengannya, sangat mirip. Hanya saja Mark lebih ramah dan cool daripada dia, apalagi sorot tatapan matanya, dan itu membuatku sedikit sulit untuk menolak mengenalinya mentah-mentah. Mark, siapa sebenarnya kau ini? Kenapa kau datang di saat aku luka hatiku sudah mulai membaik? Kenapa?”
***
Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Arus waktu begitu cepat mengalir, namun aku masih saja belum bisa menghilangkan ingatanku dari Mark. Seperti biasa, setiap pergi dan pulang ke apartemen, atau sekedar keluar ingin berkumpul dengan teman-temanku tak jarang ku berpapasan dengan Mark. Awalnya aku begitu dingin padanya. Tapi dia tetap saja berusaha untuk ramah padaku, tak menaruh curiga ataupun benci sedikitpun padaku. Meski tak banyak yang kami bicarakan, dari berbagai pertanyaan Mark padaku, tampak jelas betapa dia ingin mengetahuiku lebih dalam. Dan itulah yang tak kuinginkan, hubungan yang berjalan semakin jauh.
Mark menanyakan asal daerahku, keluarga, alasanku kuliah di Australia, dan masih banyak lagi pertanyaan enteng lainnya. Aku berusaha untuk tak terlalu terbuka padanya, tapi setiap kali aku berbicara dengannya di saat itulah aku sulit untuk menolak menjawabnya. Seolah setiap kata yang bergulir dari bibirnya dan kesungguhannya dalam bertanya itu adalah hipnotis bagiku. Perlahan tapi pasti, aku mulai menaruh rasa padanya. Rasa yang sama sekali tak kuketahui dengan jelas. Sungguh rasaku bercampur aduk, melihatnya saat ini memaksaku mengingat masa lalu yang kelam. sungguh, aku tak tahu apa ini.
Aku kebingungan dengan perasaanku saat ini. Tersiksa tak menentu, kadang kurasa bahagia, kadang duka. Kadang kutertawa kadang menangis. Kadang kusuka kadang benci. Tak tahan dengan rasa yang aneh ini, kuceritakan saja semuanya pada teman-temanku. Kuceritakan sejak dari kisah tragisku dahulu hingga pertemuanku dengan Mark. Sarah, temanku yang lebih sensitif dan lebih mengerti perasaanku karena kami serumpun, akhirnya memberikan beberapa masukan yang berarti bagiku. Teman-teman yang lain juga tak kalah menyemangatiku. “Rena, sepertinya bukan keanehan yang kau rasakan. Tapi itu adalah cinta, cinta yang kau rasakan pada Mark. Hanya saja kau terbebani karena merasa bersalah pada dirimu sendiri dan tak bisa melupakan masa lalumu. Rena, yang lalu biarlah berlalu, tataplah masa depan. Tak ada gunanya lagi kau ratapi setiap kesalahan masa lalumu. Jadikan pelajaran berharga agar kau tak lagi mengulanginya,” demikian nasehat Sarah yang selalu terngiang-ngiang di telingaku.
Nasehat Sarah tak serta merta kuterima begitu saja. “Begitu mudahkah melupakan masa lalu baginya? Huh, barangkali dia belum pernah merasakan apa yang aku rasakan,” selorohku dalam hati. Lama kutermenung dalam kamar, duduk di samping jendela sambil memandangi langit. Malam ini begitu indah, langit bersih bertaburan bintang. Kuingat-ingat lagi nasehat Sarah tempo hari, sepertinya ada benarnya juga. Sambil menatap bulan, kuteguhkan hatiku bahwa aku akan melawan masa laluku. Tak akan membiarkan bekasnya menghantuiku lagi, tak lagi. Aku harus berani menatap masa depanku, dan dalam lirihku berkata, sepertinya benar, aku mencintaimu, Mark. Sungguh sangat mencintaimu.
***
Sekuat tenaga dan dengan percaya diri yang dipenuh-penuhkan, aku beranikan diriku untuk menghubungi Mark lewat ponsel. Padahal kamar kami bersebelahan, apa salahnya aku berkunjung kesana. Tapi kuurungkan niatku, aku tak ingin tergesa-gesa. Aku takut jika Mark menilaiku aneh, karena belakangan ini aku selalu menolak menjawab pertanyaannya. Dia yang menyatakan perasaannya padaku meski hanya tersirat. Dan malam ini, aku ingin meyakinkan perasaanku padanya. Tapi tiba-tiba saja aku urungkan niatku, ada sesuatu yang terjadi.
Logika dan perasaan ini berperang, tak mau kalah. Malam ini hampir saja aku memenangkan perasaanku pada Mark. Tapi logikaku sekali ini menyusup dalam hatiku, mempertanyakan dimana kuletakkan prinsip hidupku. Prinsip hidup yang kuyakini sejak kecil, bahkan sejak aku masih dalam kandungan. Masalah perbedaan keyakinan yang begitu kutakutkan untuk kunodai. Meski aku bukan penganut agama yang taat, tapi aku tak ingin menyalahi prinsip itu.
Batinku lagi-lagi berontak. Aku tak tahan lagi dengan semua ini, ingin rasanya aku mati saja.
“Mark, akankah perbedaan ini memisahkan kita? Tapi aku tak sanggup menentang prinsip hidupku.”
“Mark, akankah kau mencintaiku seperti apapun keinginanku?”
“Mark, akankah kita bisa bersama walau secara prinsipal ada yang membedakan kita?”
“Mark, sungguh aku tak sanggup hidup tanpamu. Tapi aku juga tak sanggup melawan hati nuraniku.”
“Mark, akankah cinta ini membunuhku, membunuhmu atau membunuh kita?”
‘Mark, akankah cinta ini, seperti kebanyakan kisah-kisah cinta lainnya berujung pada kematian?”
“Mark, apakah setelah kematian yang dilewati, kita dapat hidup bersama dan saling mencinta?”
Oh tidak, sungguh naifnya diriku.
“Tuhan, maafkan aku yang mencintai dia, dan rela mati untuknya.”
Tangisku meledak mengalir kencang, tak dapat kutahan lagi. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Akankah dia bisa menerimaku apa adanya? Akankah aku bisa menerima dia apa adanya? Dalam hening malam, kutitipkan saja perasaan dan logika ini sejenak padaNya, aku bingung, cinta ini sangat rumit.
***
Mark mengetuk kamar apartemenku pagi ini. Aku kaget, tak pernah sekalipun dia mencoba mendekatiku, apalagi datang ke kamarku. Aku tak ingin beranjak dari atas kasur, aku malu padanya. Kurasakan mataku masih bengkak dan tampak merah. Jelas sekali karena menangis semalaman. Tapi aku khawatir nanti Mark menyangka ada apa-apa denganku. Segera saja aku ambil ponsel yang tak jadi kugunakan tadi malam, dan kukirim message padanya. “Mark, ada apa? Maaf aku tak bisa menemuimu saat ini, badanku kurang enak,” smsku pada Mark. Seketika itu juga tak lagi kudengar dia di depan kamarku.
Selang beberapa saat kudapati pesan singkat darinya. Dia khawatir padaku, sepertinya dia punya firasat yang tak enak semalaman. Hmm, entah itu benar atau tidak, tapi firasatnya sungguh tepat. Aku benar-benar bingung dan terpuruk saat ini. “Maafkan aku Mark. Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa memilikimu Mark. Aku tahu kau juga mencintaiku. Apa yang sebaiknya kita lakukan?”
“Oh, beginikah rasanya pungguk yang merindukan bulan?”
“Saat pungguk mencapai bulan namun harus melepaskannya.”
“Apakah seperti ini kisah cintaku? Tak lepas dari ketakutan dan kehilangan yang sangat?”
“Wahai cinta, kenapa kau begitu tega padaku dan dia?”
“Apakah tak ada lagi jalan lain bagiku, ataukah ini memang jalan takdirku?”
Lagi-lagi buliran syair mengalir deras dari relung hatiku. Kurasa hanya inilah yang dapat mengobati rasa di jiwa ini, saat ini. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Kenapa semua ini seperti mimpi buruk bagiku? Tuhan, salahkah jika aku mencintainya? Ataukah lebih baik jika aku mencintainya dalam diam saja?
Aku menangis dan tetap saja menangis. Aku merasa lemah dan letih. Lelah rasanya menghabiskan energi dengan menangis dan mengeluh. Tapi air mata ini tak bisa berhenti keluar. Mengalir deras dan deras hingga membanjiri kasurku. Aku basah, terendam oleh air mataku yang menganak sungai.
Oh, tidak. Kenapa air mataku mengalir separah ini? “Ya Tuhan, apalagi ini?”
Tiba-tiba aku mendengar jeritan suara, tak jelas suara apa. Telingaku samar-samar mendengar suara, lama-kelamaan semakin jelas, semakin nyata. Aku berusaha mencari asal suara itu, gerakanku seolah tertahan, terhimpit sesuatu yang berat sekali. Kemudian nampak secercah cahaya, semakin terang dan nyata. Dan aku terbangun dari mimpi burukku. “Wah, ternyata mimpi, ah, benar-benar nyesek banget sih,” aku menyumpah serapah lantang, tak lagi tertahan dalam hati.
Kubuka jendela kamar apartemen, kuhirup udara segar dalam-dalam. Kulihat sekeliling jalanan masih sepi, tapi mataku tertuju pada seseorang yang sedang jogging. “Hah, bukankah dia Mark yang di mimpiku?”
Namaku Yessi Arsurya, nama penaku Waishi. Aku tinggal di Jati Padang. Untuk informasiku lebih lanjut bisa menghubungiku di 081803173265, atau media sosial fb yessi arsurya. Oh ya, aku juga punya twitter @yessiarsurya. Yang mau kirim surel bisa lewat emailku yessiarsurya@rocketmail.com. Terima kasih.