Rabu, 03 Desember 2014

He is The One


Allah yang menguasai hati dan membolak-balikkan hati manusia. Sebesar dan sedahsyat apapun makar manusia, jika Allah belum berkehendak, maka makar tersebut sama sekali tak akan pernah terjadi, sekecil apapun. Begitupun sebaliknya. Kunfayakun, jika Allah berkehendak terjadi, maka terjadilah. Wallahu’alam.

Begitupun dengan sepotong kisah hidup manusia. Ada-ada saja hal yang terjadi di luar sana. Entah bahagia, entah duka. Semua berjalan, mengalir, begitu saja. bagi manusia yang berpikir, ada sebuah pola yang sudah mengukir di jagat raya ini. berpikir leluasa tentang kejadian-kejadian saban hari. Bertindak dalam tangan dan kaki mungil, mengharap secercah ridho Illahi. Menebar puing-puing asa dan harapan yang tak kasat mata.

Mereka di sana telah dijamin kehidupannya oleh Allah. Begitu juga dengan kita di sini. Perjuangan tak akan pernah berakhir. Dalam dimensi kehidupan kita diuji sesuai dengan kadar dan takaran masing-masing. Bukankah Allah SWT telah menjanjikan penghidupan bagi manusia, tak akan menguji lebih dari kemampuannya. Allah lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui, karena keterbatasan kita. Barangkali, sesuatu yang telah kita rencanakan matang-matang, tapi nyatanya tak sesuai harapan, bisa jadi, Allah sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik lagi dari itu.

Berjuang dengan hati nurani. Melawan keganasan mentari pagi yang membuai-buai sepi. Bertahan dalam semangat yang akan terus hidup dipupuk oleh ruhiy nan terjaga. Ibadah-ibadah nan baik, amalan nan ikhlas dan bernas, percayalah, tak ada yang sia-sia. Bumi berotasi dan berevolusi dalam pengawasannya. Sekalipun terjadi hal yang tak diingini, percayalah, daun yang jatuh tak pernah membenci angin.

Takdir kita sudah ditentukan. Nasib kita juga sudah ditetapkan. Tinggal bagaimana caranya memoles dan mengusahakan hasil yang maksimal dengan proses yang luar biasa. Ghirah menjalani kehidupan di alam yang damai sentosa, jangan tertipu dengan alunan merdu dan buaian alam fana. Berusahalah, maka Allah, orang mukmin, dan alam sekitar akan melihat dan menilai hasil usaha keras kita. Seriuslah dalam berkehidupan, kawan!

Pertemuan dalam Lapis-lapis Keberkahan


Takdir Allah mempertemukan kita.... Ya, jikalau bukan karena takdirNya, niscaya akan terjadi sebuah pertemuan yang sama sekali tak pernah terpikirkan. Pun tak juga disengajakan, bahkan tak pernah terbersit dalam hati sanubari. Hanya kekuasaanNya-lah yang menjadikan kita bertemu kembali setelah cukup lama terpisah.

Hari ini, tepatnya pagi menjelang siang yang mendung dan sejuk di kota Padang ini, kami bertemu dalam dekapan ukhuwah. Merajut kembali kenangan-kenangan seminar beberapa bulan yang lalu. Kata-kata piawai dan puisi yang meluluhkan hati menjadi pengingat bagiku untuk tak ragu dalam melangkah, bimbang dalam mengambil tindakan. Aku ingin mendapatkan secercah cahaya ilmu yang menenangkan hati, menjadi oasis di padang pasir, menjadi rintik hujan di padang gersang, bersama ustad Salim A Fillah yang selalu disanjung-sanjung oleh temanku, sebut saja namanya N. Dia fans beratnya ustad, sudah 4 kali ikut seminar ustad, tak pernah bosan dan selalu menghayati setiap alunan kata yang keluar dari mulut beliau.

Tak disangka kami bertemu. Aku dan Nia bertemu dengan Olla, seorang teman lama.... Lebih tepatnya, adek yang cukup lama menghilang. Akhirnya, kami bertemu kembali dalam momen yang tak mungkin terjadi tentunya tanpa rencanaNya. Tak sengaja, Nia membaca tweet-nya Zolla di depan ruang seminar. Mulai mengingat dan menyadari kalau Zolla juga ada di sana. Alhamdulillah, lapis-lapis keberkahan Ustad langsung menjadi kenyataan, membawa berkah bagi pertemuan yang tak terkira.

Ya, aku bersyukur bisa bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Apalagi melihatnya saat ini yang sudah berjilbab rapi. Semoga tetap istiqomah ya adek Zolla.... Pertemuan kita Insyaallah berada dalam lapis-lapis keberkahan. Kita tergerak dan berjalan karena ingin meraih berkah yang tiada tara. Berkah yang melekat, bermanfaat, dan bernilai kebaikan serta membawa kebahagiaan bagi sesama umat muslim. Ya, pertemuan yang mengharukan sampai-sampai meneteskan air mata. Air mata bahagia....


Ps: Olla alah lupa aja sama kak Nia, kok bisa ya? Hmm.... Aneh bin ajaib, tapi sama kak Alhamdulillah ya, masih ingat. Haha... Gegara udah lama nggak ketemu, sih.

No One Same


Tiap orang berbeda, tak ada yang sama. Bahkan anak kembar siam identik sekalipun, tak ada yang persis sama. Pasti ada beberapa jengkal yang membedakannya. Begitupun aku dan juga kau. Sukses punya jalan sendiri. berbeda tiap orang. perhatikan dan camkan itu. Jangan pernah samakan aku dengannya. Juga jangan pernah sesuka hatimu menilai dan menjudge seseorang menurut sudut pandangmu. Kau tahu, barangkali orang yang kali ini kau injak-injak harg dirinya, kau buat malu dia di depan orang banyak, suatu saat nanti, entah berpuluh tahun lagi, akan jauh lebih sukses, lebih melejit dari dirimu.

Kau urus saja dirimu sendiri. tak usah sok prihatin dengan keadaan orang lain. Kenapa? Karena hanya ada nada-nada minor penuh sumbang dan kacau yang hadir dalam lisanmu. Jika saja aku tak punya pendirian yang kuat, percaya diri yang hebat, mungkin aku sudah termakan kata-katamu. Sempurna, menambah terpuruk semua yang ada padaku.

Kau tahu, untuk mencapai jalan sukses itu saja sudah berbeda-beda. Apa kau bisa menyamakannya? Ah, barangkali kau saat ini masih miskin fakta dan realita. Di benakmu, hanya ada ruang gelap persegi yang terkotak bak katak dalam tempurung. Duniamu masih sempit, belum seujung cuil pun pahit yang kau rasakan. Belum setitik darah pun yang kau korbankan dan belum sebening air mata pun yang kau alirkan untuk mendapatkannya. Ah, kau terlalu naif, untuk bisa menyamakan semua manusia berdasarkan kacamata kudamu itu.

Kau tahu, betapa susah payah aku berusaha hingga berkali-kali untuk mencapainya. Tak sedikit waktu yang hilang, tak sedikit keringat yang terbuang, hingga detik menjawab waktu yang terukir pilu, aku belum juga mendapatkan apa yang kumau. Di lain waktu, lain ruang dan tempat serta kondisi, tapi masih sama dalam hal keinginan yang sangat diingini, seseorang di luar sana, hanya sekali dua kali sentak, itupun kadang dipenuhi juga dengan keluhan-keluhan yang tak pantas baginya, langsung menuai kenyataan membahagiakan. Bahwa ada orang seperti aku, juga orang seperti dia, dan orang-orang lainnya yang juga berjuang dan berkorban dalam kadarnya masing-masing. Terkadang yang didapatkan sesuai alias pulang pokok, kadang tak sesuai karena banyaknya kemudahan yang didapat, atau malah memiriskan hati karena perjuangan berat yang melelahkan tak juga kunjung berakhir. Ah, dunia!
Kau harus tahu, tak pantas bagimu menilai apalagi membandingkannya dengan orang lain! Kau bandingkan saja dirimu sendiri! kau juga harus tahu, aku tak butuh sama sekali nilai dan perbandingan yang kau berikan. Aku tak butuh semangat palsu darimu. Menjatuhkanku sempurna lalu mengangkatku agar tak lagi berduka! Heh, apa itu rasionalitasmu dalam berpikir? Apa itu metode yang kau gunakan untuk menjatuhkan orang lain? Ah, mungkin aku terlalu sarkatis skeptis padamu!

Terakhir, kau harus tahu. Memberi semangat tak harus dengan menjatuhkan, bukan? Apa kau ingin menjadi orang yang dibenci selamanya? Apa rasamu sudah teramat sulit tuk memahami orang lain? Aku tahu, maksudmu baik. hanya saja, caramu berkelit, membuat hati orang lain yang mendengarkannya sakit. Menjatuhkan harga diri orang di hadapan orang lain lalu mengangkatnya, itukah caramu berbuat baik? pikirkanlah hal itu.

Kehilangan


Bismillah....

Mengambil sebuah pelajaran dari kejadian yang terjadi semalam. Saat raga tak lagi berdaya, saat jiwa tak lagi meraba, peristiwa tak dinyana terjadi begitu saja. Ketika jiwa haus akan peradaban kelam, ketika raga rindu akan pembaringan yang terpampang, ternyata hal lain di luar sana berkata lain. Mencekam, membunuh asa sampai ke dalam jiwa. Membuat bulu kuduk terangkat, sensasi yang tak terbilang jumlah bersatu padu dalam gemerlap malam sunyi.


Adalah aku yang tersentak, kaget. Mendengar berita kehilangan dari kawan di tengah malam buta. Saat mataku sudah bersusah payah menahan kantuk, saat badan sudah tak sadar lagi membentang di sudut ruangan sana, aku terkejut. Ya Rabb, kenapa bisa?


Meski bukan diriku yang kehilangan, tapi sentakan keras di belakang pundakku itu terasa gamang. Mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun yang lalu, persis di kegelapan. Dini hari itu, aku kehilangan benda yang cukup berharga. Dan dini hari itu, aku kehilangan pijakan dunia tuk sementara. Mengais sedikit demi sedikit kenyataan bahwa benda itu hilang, tak akan lagi kembali. Dan selang beberapa tahun kemudian, aku pun kehilangan benda yang serupa. Persis dalam kegelapan malam yang tak kenal kasihan. Bedanya, aku tak lagi menangis sejadi-jadinya seperti dulu. Meski jantungku benar-benar berantakan kembali dibuat olehnya. Memori buruk itu datang lagi dalam benakku. Lengkap dengan dinginnya hari, aroma embun malam, dan rintihan hati mendalam.


Kawan, sungguh aku tahu rasanya kehilangan. Apalagi sesuatu yang lebih dari kehilanganku sebelumnya. Aku tahu, hatimu begitu kesal pada orang yang dengan teganya mengambil hak milik orang lain. Aku tahu, bagaimana sumpah serapah yang bergumul dalam jiwa ingin dimuntahkan seketika itu juga. Ah, kehilangan yang menyakitkan.


Tapi, kawan.... Aku salut padamu. Bagiku kau cukup tegar. Kalau aku yang berada pada posisimu, entahlah. Harus berapa kali aku mengais dan mengumpulkan serpihan-seprihan hati yang hancur berkeping-keping karena kelalaianku. Ah, kalau boleh berandai-andai, andai saja aku tadi tak begini. Atau, andai saja aku lebih hati-hati dan tidak ceroboh. Tapi, itu sudah terjadi, dan tak bisa diulangi lagi.


Kadang, bayang-bayang kehilangan itu selalu datang setiap saat. Ada ikatan batin yang terjalin cukup lama, walau hanya sebuah benda. Meraup kenangan lama yang dibingkai dengan kepedihan. Tapi aku yakin, ini semua pasti ada hikmahnya.


Ya, sejak saat itu aku lebih hati-hati lagi pada semuanya. Berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kehilangan untuk selanjutnya. Aku hanya ingin, tak ada lagi penyesalan yang datang karena kelalaian. Semuanya sudah takdir dari Tuhan. Sepotong episode kehidupan menyakitkan yang kan terkenang sepanjang kehidupan. Pasti ada hikmahnya, aku yakin itu. Barangkali, karena benda itulah pelalaiku. Maka Allah pun tak segan menegurku dengan caraNya. Bukankah Allah mencintai hambaNya sepanjang dia memberikan ujian dan cobaan kepada hambaNya tersebut?

Wallahu’alam

Im Proud to be A Muslim


Ajari aku bermimpi, tentang sebuah pengharapan yang tiada tara....
Ajari aku hidup, tentang sebuah pengorbanan yang mengoyakkan jiwa raga....
Dan,
Ajari aku cara lain, untuk melihat dunia dari sudut pandang lain!


Ini bukan tentang sebuah penyesalan, Kawan. Bukan pula sebuah kesedihan yang terpendam teramat dalam. Ini hanya sebuah keterlambatan dalam proses penyadaran diri sendiri. Memang terlambat. Tapi, selalu ada waktu untuk merubah keadaan. Termasuk bersyukur dan berucap Hamdalah serta tersenyum di sela-sela kegentingan yang entah, masih menyisakan napas-napas cadangan.

Aku hanyalah perantara kehidupan, Kawan. Terkadang, aku sadar, kehadiranku tak bermakna sama sekali. Lihatlah, bunga-bunga bermekaran, pepohonan tumbuh tinggi menjulang. Dan itu terjadi, tanpa campur tangan manusia. Hanya sepersekian kecil saja, ada faktor keberuntungan manusia untuk bisa mendayagunakannya.

Baiklah, aku akan katakan pada diriku sendiri, juga kepadamu, Kawan. Meski aku tak berarti, atau kadang tak terlihat, tapi aku selalu ada di dunia ini. Membentuk semacam jejaring tak kasat mata yang kau tahu, membuatmu mengingat bahwa aku pernah ada. Aku sadar, Kawan. Dalam rentetan kesibukan kita masing-masing, dalam penghambaan pada diriNya untuk mencapai hakikat kehidupan tertinggi dalam zaman neo-globalisasi ini, akan banyak sekali momen-momen terjadi begitu saja.

Masih segar dalam ingatan, betapa peristiwa demi persitiwa hidup tak terelakkan terjadi. Aku tahu, hanya segelintir saja yang memang menggugah hati. Manusia kadang tak peduli pada nikmat yang dirasakannya detik ini. Hanya kejadian super, dalam algoritma berpikirnyalah yang sukses mengalihkan dunianya. Kau mengalihkan duniaku, Kawan!

Tahukah kau, apa jejaring besar yang tak kasat mata itu? Saling menghubungkan kita satu sama lain. Dalam jarak, frekuensi, dan situasi seperti apa pun. Kau harus tahu, Kawan! Kita dihubungkan nyaris tak tampak oleh takdirNya. Aku dan kamu, kita, dan mereka menjadi sebab akibat terjadinya sebuah perkara. Disadari atau tidak, hanya mereka yang beruntunglah yang diberi tugas olehNya untuk menerjemahkan rangkaian kehidupan yang gamang ini.

Antara aku dan kamu, kita, juga mereka. Terpateri erat dalam lantunan doa sejuta umat. Dari zaman ke zaman, sebagai penghubung erat satu sama lain. Terselubung doa para perindu surga, keselamatan nan adidaya. Kau tahu, aku pun baru menyadarinya beberapa waktu terakhir ini. Dan, keterlambatan ini tak mengapa bagiku. Justru menjadi pintu pembuka jejaring yang lebih besar bagi kita.

Im proud to be a muslim.

Baso Jo Basi


Pepatah lama orang-orang dahulu. Sejak kehidupan bermula. Segalanya serba terbawa tradisi dan adat istiadat. Pantang bagi orang Minang menunjukkan muka atau tampang langsung suka tanpa menimbang-nimbang. Antara alur dan patut. Istilah kerennya, tau baso jo basi. Ah, harusnya orang Minang tulen lebih tahu lah ya.

Dalam dunia makan dan minum, kental sekali budaya baso jo basi ini. kalau belum dipersilakan si tuan rumah untuk makan, pantang untuk memulai makan. Ya, meski perut sudah keroncongan, meski lapar tak tertahankan, tapi demi menjaga yang namanya asas kepatutan dan alur dalam bertindak plus rasa penghargaan tertinggi pada tradisi dan kebudayaan Minangkabau yang telah mendarah daging, maka hal itu tak lagi jadi pikiran.

Sesekali orang Minang begitu halus perasaannya. Muluik manih kucindan murah. Kesan awal seseorang apakah berakhlak atau tidak, lihat saja dari gaya berbicaranya. Dengarkan saja, alunan irama serta pembawaannya. Rangkaikan juga dengan tatapan matanya. Apakah cakap yang dibuatnya itu bersinergis antara mulut dengan hati. hanya perasaan yang sangat lembutlah yang dapat memahami.

Kembali lagi pada baso jo basi. Basa basi ini bukan tanpa makna. Pun juga bukan karena rasa gengsi semata, tapi lebih karena sesuatu yang sudah menjadi landasan hidup orang Minangkabau. Tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, tidak sekejap mata menerima kebaikan orang, dan intinya, lebih berhati-hati. Basa basi, hanya menawarkan sebuah solusi untuk permasalahan yang kini tengah garang menderap pribadi hingga bangsa. Basa basi, juga tidak dapat disamakan dengan si dia yang mau tapi malu atau malu-malu kucing. Sekali-kali tidak sama! Kalian tahu, baso jo basi lebih dari itu.

Baso jo basi juga membentuk pribadi menjadi lebih mandiri. Bukan bermaksud membanggakan diri. ini adalah salah satu dari segelintir media untuk membentuk karakter yang mumpuni. Kalian tahu caranya? Misalkan saja, ada orang yang menawari kalian sesuatu yang baik, berstatus halal dan diperoleh secara thayyib, dan sangat menggiurkan. Sayangnya, cara penawaran orang itu tak sesuai dengan hati nurani kita. Kalian tahu kan, bagaimana (kebanyakan) sikap orang-orang yang berada di atas lalu memberikan sesuatu kepada orang yang kurang beruntung dalam hidupnya? Lantas, apa kalian akan langsung menerimanya? Mengorbankan harga diri yang tercabik-cabik di hadapannya?

Ah, lagi-lagi ini masalah sepele yang tak bisa dipandang enteng. Baso jo basi bukan berarti sok jual mahal, juga bukan berarti menolak rezeki yang telah dianugerahkan oleh Tuhan lewat perantara makhluk ciptaanNya. Sekali lagi, bukan. Lalu, mengapa harus basa-basi?

Diberi makanan enak dan gratis selama seminggu. Lalu setelahnya dengan mudah kita dijadikan “suruhan”nya tanpa ba-bi-bu dan otomatis kita mengangguk sebagai balas jasa. Dikasih sejumput emas berlian lantas kemudian kita disuruh berpisah dengan orang-orang yang dicintai, demi politik balas jasa. Dan, itulah dia!

Ya, sekali lagi orang Minang memang pantang sekali nrimo saja tanpa tahu. Tahu apakah hal itu benar-benar baik, apakah tidak membuat urusan mengeruh di masa mendatang, juga salah satu dari pengetahuan akan tradisi daerah yang saat ini lazim mulai ditinggalkan.

Baiklah, saat ini aku menolak untuk menerima bukan karena aku tak suka atau tak menghargai pemberian orang lain. Hanya saja, sebagai orang Minang yang halus perasaannya, aku tak bisa menerima “gaya” penawaranmu yang kuanggap tidak respect dan mengabaikan orang lain. Kau tahu, tidak hanya aku yang merasakan. Tapi beberapa orang yang ada dalam ruangan ini, terdiam. Awalnya, ada yang merespon, tapi sekali melihat “gaya” tak biasa itu, katakanlah orang lain mengaminkan sikapmu itu karena sudah karakter,, tapi bagi orang awam itu cukup mengganggu.

Ah, sebenarnya bukan urusanku untuk ikut campur masalah ini. Hanya saja, sekali-kali kurasa perlu untuk memberitahunya. Ya, kalian pasti tahu, penolakan-lah yang kuterima. Tak masalah. Hanya saja, kau harus tahu itu. Jika kata-kataku terulang lagi di kehidupanmu mendatang, entah dari bibir siapa atau dari suara siapa, sadarlah segera. Another life from another soul....

Rabu, 22 Oktober 2014

Coretan



Sebuah coretan kecil tentang lika liku kehidupan
life is never flat... tak selamanya hidup berjalan mulus
kadang beban perasaan teramat lebay sukses menjangkiti hati para perasa. Bukan sebuah kekurangan, tapi itu adalah suatu kelebihan yang patut disyukuri. Memiliki indera peraba yang cukup sensitif. Hanya saja, harus berpandai-pandai me-manage perasaan yang amat gamblang itu. Dalam ilmu psikologi, karakter seperti itu sangat cocok menjadi seorang psikolog//

Tanya kenapa?

Itulah betapa penting karakter dididik dan dilatih sejak kecil. Dan, betapa luar biasanya 3 kata yang sanggup membalikkan dunia. Pro kontra, positif negatif. Ah, sekali-sekali cobalah berdamai dengan diri sendiri. Kalau ikut-ikutan seperti karakter orang itu, berarti sama saja kita dengannya!


Maaf
Tolong
Terimakasih

Simpel bukan?

Justru yang simpel ini yang rumit. Hmm.... what is your choice?

Saya sudah pernah mempraktikkannya. Terbukti membuat suasana lebih tenang. Ya, setidaknya tidak memperkeruh keadaan. Walau pun hati sudah terbakar, pikiran sudah menggelegar. Toh, hukum aksi= reaksi masih ampuh kok. Juga hukum pantulan masih teruji. Coba saja, bercermin di depan sebuah cermin, pantulan yang akan kita terima itulah yang sudah kita usahakan, bukan? Seelok secantik apa pun memperhias diri, akan balik pada diri sendiri. Atau, coba pantulkan bola ke dinding! Pastinya dia akan balik lagi ke kita, kan?

Kamis, 02 Oktober 2014

20 things about...


Akhir-akhir ini kayaknya lagi nge-trend ya yang satu ini. apa lagi di ig. kalo di post di sana entah berapa panjang scrolling-annya. So, biar gak ribett, gue post di sini aja, hmmm.

kalo ada yang mau nambah atau kurangin, monggo ya!
its just for fun, bah...

20 things about me, yeah!!!
1. Nama asli gue yessi. Tapi teman gue suka manggil gue yessung or yecung.
2. Gue badannya aja yang besar, tapi gue childish, masih rapuh banget kayak anak kecil.
3. Kata teman gue sih, gue itu tinggi n langsing kayak artis korea. hehe
4. Gue 3 bersaudara. Punya abang dan adek. Gue sering bertengkar sama mereka, menandakan gue sayang sama mereka.
5. Gue hobi banget tidur dan nonton kalo di rumah. Kalo di luar gue suka liat pemandangan alam. Jadi kalo jalan ama gue siap-siap aja banyak dicuekin ya karna gue begitu mengagumi keindahan alam.
6. Kata orang yang gak kenal gue, mereka bilang gue itu judes. But, kalo udah kenal banget mereka gak nyangka gue orangnya heboh juga, hehe.
7. Gue pernah dipanggil kakak sama senior 3 tahun di atas gue. So, apakah tampang gue setua itu ya? Huft
8. Gue ini melankolis flegmatis. Jadi gue itu orangnya rada calm dan easy going. Padahal kadang gue juga suka deg-degan lho.
9. Sejak kecil gue cita-citanya jadi dokter. Sekarang udah lagi dalam perjalanan, doakan aja gue ya.
10. Gue gak suka dikhianati, dicuekin, apalagi dimusuhin sama sohib gue.
11. Gue orangnya deadline banget. Jadi kalo belum kepepet gue belum ngerjain tuh.
12. Gue benci banget menunggu dalam diam dan di php-in. Bener-bener nyesek banget deh.
13. Gue suka tantangan kayak hiking, naik gunung, oubound, dll. Pengen banget mendaki gunung beneran suatu saat nanti.
14. Gaya belajar gue cenderung visual-kinestetik-auditory. So, gue gak bakalan masalah belajar dimana aja, bising sekalipun no problem.
15. Dulu gue perfeksionis. Segalanya harus berjalan sempurna tanpa kesalahan, jadi gue harus selalu mastiin apapun by myself sekalipun itu pekerjaan kelompok. Tapi seiring berjalannya waktu, ya gue mencoba untuk lebih menikmati prosesnya dengan baik.
16. Gue introvert orangnya, gue tertutup banget sama orang lain. Tapi entah kenapa gue lebih suka keramaian daripada sendirian. Coz kalo sendiri gue bisa bikin dunia baru sendiri sampai-sampai gue gak sadar-sadar seharian. Sibuk sendiri aja.
17. Gue orangnya juga abstrak. Makanya jangan heran kalo kamar gue berantakan. Tapi gue tau tata letak barang gue walau berantakan kayak gitu. Kalo ada yang ngerapiin gue bakalan sulit buat ngingat barang gue. So, gue gak suka kalo ada yang ganggu barang gue karna gue bakalan tau kalo ada orang lain yang ganggu privasi gue.
18. Gue pengen jadi penulis dan punya buku terbitan gue sendiri.
19. Gue pencinta online. Jadi kalo sehari aja gak online rasanya ada yang kurang aja.
20. Gue hobi makan dan minum. Pantengannya makan ya makan kepiting, gue alergi. Padahal gue demen banget sama kepiting saus tiram, hmm.

Senin, 25 Agustus 2014

ycallmymind: Perjalanan Ini

ycallmymind: Perjalanan Ini: Setiap orang unik dengan jalan pilihannya masing-masing. Ada yang mengikuti jalan sesuai keinginannya, ada yang tersesat di jalannya, ada p...

Perjalanan Ini


Setiap orang unik dengan jalan pilihannya masing-masing. Ada yang mengikuti jalan sesuai keinginannya, ada yang tersesat di jalannya, ada pula yang stagnan, hanya berjalan disitu saja. Setiap orang unik, dengan keberaniannya memilih jalan baru yang sama sekali belum ditempuh. Setiap risiko yang akan muncul, suka atau tidak suka tetap saja ditempuh. Ya, sekali lagi karena setiap orang unik.

Sempat terlintas di pikiran, apa jadinya jika aku, diriku ini memutuskan untuk keluar dari jalan, atau melawan arus. Pernah terbersit juga, seandainya aku melawan arus jalan akankah aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari. Karena selama ini aku hanya berjalan di jalan yang itu itu saja, melewati persimpangan jalan dan kerikil yang itu itu saja. Coba saja kalau aku melewati jalan lain atau stagnan di tengah jalan, apa yang akan terjadi?

Kurenungkan dalam hati, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan jalan ini. andai aku lewat jalan lain, akankah kutemukan jalan pintas atau malah tersesat? Atau kalau aku stagnan di tengah jalan, akankah aku terombang-ambing oleh ribuan massa di jalanan yang tetap berjalan sesuai pilihannya? Atau apakah aku akan menghilang dari jalanan yang menyebalkan itu?

Ah, jalan pikiran ini saja sudah terlalu rumit. Apalagi menempuh jalan kehidupan yang lebih rumit lagi. Aku terlalu banyak berpikir rumit, membiarkan diri tenggelam dalam keasyikan imajinasi yang melenakan dan menakutkan. Sulit bergerak karena takut akan pikiran yang menyesakkan yang bahkan setelah dijalani tak seperti yang dibayangkan. Jalan di tempat, bersiap saja untuk mati di tengah jalan. Ditabrak ribuan pengguna jalan lainnya, atau disingkirkan paksa dari jalanan. Bukankah lebih sulit lagi untuk memasuki jalanan setelah tertimpa trauma yang cukup besar?

Minggu, 24 Agustus 2014

Hanya Permainan


Huft,,, lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas dalam. Telak dalam kekalahan hati. Apa salahnya mereka menyembunyikan kebahagiaan fana mereka itu rapat-rapat. Serapat mereka menyembunyikan yang lainnya. Nyaris tak ada apa-apa, kelihatannya hanya sunyi senyap saja. Tapi kelihatan menusuk dalam, sedalam belati terbelah dua belas. Apa tak bisa mereka menenggang perasaan yang lain? Atau merasakan yang lain rasakan? Atau setidaknya, ikut menyembunyikan yang selama ini memang sudah disembunyikannya sejak awal? Ah, manusia memang begitu.

Apalah itu, sekedar kejutan kecil yang tersingkap di siang hari. Menyejukkan dada sebagian orang, melelehkan keyakinan sebagian orang lain. Melewati batas sensitivitas yang terjangkiti dalam beberapa dekade. Bukankah ini hanyalah sebuah permainan kecil? Ada aku, kamu, dia, dan mereka yang terlibat di dalamnya? Lalu kenapa, kenapa kau bergegasb pergi meninggalkan arena permainan, lalu tiba-tiba saja muncul dengan kemenangan?

Ah, lagi-lagi aku harus berkeluh kesah dengan keadaan yang menyesakkan dada ini. berada dalam kenyataan bahwa kita tak lagi sama. Seolah ada strata lain yang membuat kita berbeda. Bahkan membuat tatapanku padamu terlihat aneh, atau tatapan mereka padaku lain, seolah mengiba. Dan lagi-lagi aku benci dengan keadaan ini.

Salah siapa coba, kuakui memang aku yang salah. Tapi juga tidak sepenuhnya salahku. Aku sadar, selama ini terkungkung dalam dunia lain, dunia yang bukan aku. Apa salahnya aku keluar sejenak dan memandang dengan berbinar-binar dunia luar. Tapi salahnya, aku terlarut tenggelam dalam dunia imajinasi yang kubuat sendiri. Aku terlarut, berlarut-larut dalam kemelut.
Dan akhir kata, aku hanya bisa menelan sendiri kepahitan dunia ini. pahit karena bukan tipikal aku yang harus mengalah dan terkalahkan dalam arena permainan itu. Aku hanya keluar sebentar, mencari permainan lain untuk menghibur diri yang sayangnya membuat efek adiktif tak tertahankan sehingga sulit tuk lepas darinya. Dan kini, aku sudah bersiap tuk kembali lagi dalam arena pertempuran yang sebenarnya. Merebut kembali harga diri, membayar semua kekeliruan mereka dan juga kebodohanku. Saksikan saja, kelak, aku hanya butuh beberapa kejap mata saja tuk mengakhiri permainan lama itu. I will do whatever I want, baiklah, kalau kau mau kutunjukkan bagaimana permainanku. Lihat saja, sebentar lagi aku akan berada disana. Secepatnya.

Kamis, 21 Agustus 2014

Veruka


Veruka mengira-ngira bahwasanya hari itu akan segera datang. Hari yang ditunggu-tunggu, nyaris setahun lamanya. Sembari dalam masa penungguan itu, banyak hal yang sudah terlewati dan terjadi dalam kehidupannya. Untunglah Veruka tak harus bermutasi secepatnya, apalagi menanggapi krisis waktu yang semakin mengikis percaya dirinya, mengobrak-abrik idealisme dan karakternya selama ini.

Adalah garis takdir yang mempertemukan cerita mereka. Awalnya Veruka hanyalah seorang gadis biasa yang mencoba ingin menjadi luar biasa. Entah seperti apa kriteria luar biasa yang ada dalam pikirannya. Apakah menjadi seperti orang lain, atau berusaha mati-matian menjadi sosok yang lain daripada yang lain?

Veruka hanyalah gadis yang polos. Saking polosnya, dia selalu saja gagal move on. Seringkali menganggap semua orang akan baik padanya, akan setia bersama-sama dengannya. Ah, Veruka, khayalanmu terlalu panjang tak berujung. Bayangkan saja, satelit saja lintasan orbitnya enggan berdekatan satu sama lain apalagi sampai bersingggungan, spaghetti dan meatball memang menggiurkan tapi untuk mencampurnya entah bagaimana bentuknya.

Perlukah aku tunjukkan pada dunia sisi gelapmu Veruka? Oh, ya, sebelum menyadarinya aku harus bertanya pada kemungkinan-kemungkinan yang biasa terjadi. Apakah aku harus bertanya pada Mr. Lowenstein Jensen tentang kultur budayamu? Atau pada si penarik hati Mr. Ziehl Neelson tentang warna kesukaanmu? Oh, tentu saja kau bukan Mrs. Tb. Kau hanyalah seorang gadis biasa bukan.

Ya, aku ingat siapa kau sesungguhnya Veruka. Kau adalah satu-satunya orang yang tega mengkhianatiku. Meskipun saat ini kau tengah berbahagia karena dipertemukan dengan lorong waktu penantianmu, tapi sayangnya kebahagiaanmu tak akan bertahan lama. Saat kuhadiahi kau dengan gelar Common Wart, saat itulah matamu bergidik ngeri menatapku. Aku tahu, kau akan takluk padaku suatu saat nanti.

Lets Play!


Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup
Kalau bekerja sekedar bekerja, kera di hutan juga bekerja


Setiap manusia punya perannya masing-masing. Tak peduli apakah orang lain memperhatikannya, tak peduli apakah orang lain memberikan apresiasi padanya, dan tak peduli apakah orang lain akan memujinya. Seperti apapun peran manusia, sekalipun tak kasat mata, seperti menyingkirkan kerikil di tengah jalan, atau menatap langit temaram, yang pastinya akan selalu ada manfaat walau harus sepersekian juta detik lagi hasilnya dirasakan.

Kalau poin penting keberhasilan kita harus seperti mereka, atau seperti dia, apalah artinya seonggok ikan di lautan. Tak semua nelayan akan mendapatkan hasil yang sama, karena ikan teronggok dengan sendirinya, dikendalikan oleh kekuatan alam atau kekuasaan Tuhan. Begitulah kehidupan berjalan. Kadang roda tak selalu berjalan di jalan mulus. Kadang harus melewati jalanan berkelok, penuh kerikil, becek, dan licin. Itulah kehidupan, dan tak semuanya bisa dilihat dengan pikiran-pikiran kasat mata manusia.

Kata Terserak dalam Benak


Ah, harus berapa kali sih makan hatinya?

Siapa juga yang nyuruh makan hati berkali-kali? Nanti bisa sakit sendiri, entah sakit liver atau sakit hati dalam istilah lain. Belati yang bengkok, yang ditajamkan pelan-pelan oleh pusaran waktu, melibas sendi-sendi ketajaman akal. Akal yang tak diasah, membuat bengkok hati. Semua serba salah, serba tak menyenangkan, lebih tepatnya menjengkelkan.

Siapa suruh, cinta diam-diam. Menabur benih kasih dan sayang yang semakin dipupuk semakin tumbuh subur cintanya. Tapi cinta yang teramat sangat, posesif namanya, tak rela dia didekati orang lain. Selalu berharap dia akan memberikan pandangannya hanya pada kita. Ya, hanya kita saja.

Kenapa cinta itu seperti hati? Dan aku harus makan hati karenanya? Karena makan hati itu menyakitkan, menggores dan mencabik-cabik perasaan. Hingga membuat pandangan menjadi sayu dan tak menentu. Ah, barangkali dia yang disana tak merasakan sama sekali.

Kau yang Berasal Dari Mars



Bukan kesukaaanku memperhatikan detail, apalagi yang kuperhatikan ini bukan benda. Dia adalah sejenis makhluk hidup teraneh yang pernah kutemui. Awal pertemuan itu terasa biasa-biasa saja, tak ada yang spesial. Makhluk aneh ini bisa dibilang “Mars” yang konon katanya merupakan pelengkap dari medan magnetnya Venus. Ajaib memang, ada makhluk seaneh itu berkelana di dunia fana ini.

Dari pertemuan yang memang disengajakan itu, dalam waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu, ada beberapa Venus dan Mars yang berkumpul. Ah, ada-ada saja, sejak kapan pula Venus dan Mars jumlahnya lebih dari satu. Atau apa ada langit lain dengan galaksi lain yang susunannya mirip dengan galaksi Milky Way kita ini? Hmm, entahlah, seluas ini jagad raya, yang kutahu hanya kotaku saat ini dan kampungku nan jauh disana.

Aku, si Venus yang calming dan easy going, tak suka rempong dan cuek sekali, benar-benar tak habis pikir. Sebanyak ini Venus dan Mars yang berkumpul, bagaimana cara mengenal mereka satu-persatu? Dari seringnya frekuensi berkumpul dan gelombang yang sama dengan sesama Venus, mungkin tak terlalu sulit untuk saling mengenal, minimal dari mimik wajah dan kesan pertama. Hanya saja, bagiku, Mars umumnya sama saja, bahkan kulihat mereka semua mirip. Sulit membedakannya, belum lagi merapalkan nama mereka satu-persatu. Ah, masa bodohlah. Selagi bisa, menghindari mereka itu lebih baik daripada harus menambah kerempongan mengingat—ingat siapa saja mereka.
Seiring berjalannya waktu, Venus dan Mars dikumpulkan dalam sebuah wadah dunia gemerlap bintang. Cahayanya begitu terang-benderang , kilaunya menyejukkan dilihat dari Gunung sana. Ah, padahal mereka sama saja, tetaplah bintang, dilihat dari sisi manapun di dunia ini tetaplah sama. Hanya saja, sudut pandang yang berbedalah yang membuat kita berbeda.

Terlalu banyak asap rokok dan sepatah dua patah kata pada tuan rumah malam itu yang membingungkan. Diawali dari makan bersama yang diiringi obrolan-obrolan entah apa itu aku tak terlalu mengerti, sambung-menyambung kata-kata minang entah pantun entah petuah, semuanya disampaikan begitu saja dari mereka. Sampai pula ke pembahasan politik dan lainnya yang sedikit banyaknya ada sedikit ketegangan tapi berakhir dingin.

Ah, menurutku, dia sok tahu. Hanya saja, karena bukan bidangku jadi aku tak terlalu paham tentang itu. Setidaknya, aku mengerti apa yang disampaikannya. Mars itu, terlalu gampang emosinya sekedar memberikan contoh kongkrit dari apa obrolan yang dia sampaikan. Ya, terlalu mudah tersulut seperti sebatang rokok.

Mars yang satu ini berbeda, paradoks dari yang lainnya. Kenapa aku memperhatikannya? Entahlah, seiring perjalanan mungkin waktulah yang bisa menjelaskan. Aku tahu dia berbeda, dan itu terpampang nyata dari kata-katanya. Kau tahu, dia biasa saja, malahan menurutku kalau dibandingkan Mars-Mars yang biasa kulihat di jurusanku, dia seperti Mars yang terbuang. Maafkan aku, mungkin itu kesan pertamaku padamu yang tampil urak—urakan, apalagi rambut gondrong yang tak terurus itu.

Jarang menemukan seseorang yang aneh dalam kehidupan nyataku. Kali ini, Mars yang satu ini, masih dengan tampilannya yang urak-urakan mengingatkanku pada sesuatu. Ah, pada siapa ya? Yang pastinya, pertemuan yang tak dapat disangkal itu membuat frekuensi kami untuk saling berjumpa meningkat. Aku hanya tahu namanya saja, sekilas. Lalu jurusannya, dan juga rumahnya dimana. Kenapa aku tahu rumahnya? Ya, karena tempat tinggalnya memang cukup strategis dan punya plat namanya. Sudah beberapa kali aku lewat disana, tapi baru beberapa hari itu aku tahu. Selebihnya, tak ada yang kutahu, dan aku juga tak ingin tahu.

Menarik memang, melalui media yang digandrungi remaja tanggung saat ini. tak lewat mata ini memandang dan membaca tulisannya, lebih tepatnya update terbaru statusnya. Aku bingung saja, statusnya selalu panjang dan sulit dimengerti. Bahkan beda jauh dari orang-orang kebanyakan yang tak harus ambil pusing memikirkan status yang harus ditulisnya. Ya, biasanya berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini. Tapi beda dengannya, Mars yang satu ini sulit ditebak, dan aku penasaran.

Puisi Kolaborasi Lapang dan Sempit

Malam
Hanya ada satu malam, satu bintang, dan satu bulan
Bernaung di bawah rintisan cahaya kelabu
Bersatu padu memecah dimensi waktu
Tak tahu malu

Aku tergugu menatap langit
Membiaskan perasaan kerlap kerlip
Hingga tak sadar
Satu cahayanya berpendar terang
Menebas gemerlap malam tanpa sadar

Ah, bagiku semua malam sama saja
Sama pekatnya sepekat pikiran
Yang kini tengah mencabik-cabik ke dalam
Perih, remuk redam

Mentari
Aku bersikukuh dengan jalan cerita ini
Mengais puing-puing kesempatan
Cerita kita yang tak menentu
Mengharu biru

Kuperdaya lirik tajam matanya
Tuk menatap hangatnya mentari pagi
Tapi apa daya
Sekali lagi
Harus menyaksikan mentari terbit dari ufuk barat

Ah, lagi-lagi aku harus mengalah
Aku benci dengan ketidakpastian ini
Yang pelan-pelan membunuhku dalam diam
Ya, hanya terdiam

Lalu mati, tak bernyawa

Sajak dari Percakapan Singkat Malam Ini


Tak ada yang bisa membantu dirimu sebaik dirimu sendiri
Ah, orang hanya bisa berkata, tanpa apresiasi atau empati, kalaupun ada mungkin hanya secuil
Bukan apa-apa, aku berkata begini bukan karena kecewa
Hanya karena memang itu adanya.
Ah, lagi-lagi begini, selalu saja begini.

Pertanyaan-pertanyaan yang datang seolah menghakimi.
Bisa jadi si penanya berada dalam beberapa kondisi, bertanya karena tak tahu dan ingin tahu
Bertanya asal-asal bertanya saja, tak ada topik menarik awal pembuka percakapan (ah, lebih baik tak usah saja bertemu dengan orang tipikal begini)
Atau dia yang bertanya sekedar memastikan bahwa yang ditanya tidak lebih baik dari si penanya
Or, ingin bertanya untuk memastikan, apakah yang ditanya baik-baik sajakah
Atau, atau, atau, dan masih timbul atau yang lainnya

Yah, beginilah
Tenggelam dalam arus pusaran waktu
Saat kuda lain berlari kencang menerobos awan
Saat kuda tetap tertinggal di kandang
Atau kuda yang jalan terseot-seot karena ada apa-apanya

Ah, dunia
Tak cukupkah sekedar bercerita saja
Ceritakan yang baik-baik dari sekian banyak cerita naif
Tentang kepedulian, tentang kepedulian

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pilih Saja Duniamu


Hanya lewat untaian huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang bersatu padu membentuk sebuah cerita, aku bisa mengungkapkan segalanya. Saat mulut tak lagi sanggup berbicara, saat mata tak mampu lagi menatap, dan saat jiwa berjauhan meski raga dekat, di saat itulah, keteguhan hati yang dapat menjawab.

Setiap manusia punya pilihan. Bahkan untuk lahir ke dunia inipun memilih. Memilih untuk terlahir normal, terlahir cacat, atau mati sebelum menjajaki dunia. Ah, pilihan ini terkadang begitu mudah tuk diucapkan, tapi sulit dilakukan bagi beberapa orang. Pilihan setiap kita berbeda, sama seperti halnya kepala yang sama hitam tapi beda pikiran, sekalipun anak kembar siam. Dari sekian banyak planet yang ada di jagad raya ini pun, bumi dipilih untuk ditinggali oleh manusia. Yang konon katanya gemar sekali membuat kerusakan di muka bumi. Tapi apa daya, pilihan telah ditetapkan, sekalipun tak ideal sama sekali.

Pilihan yang tak layak tuk dipilih. Tidak memilih pun termasuk pilihan. Urusan ini memang tidak sederhana, tidak juga terlalu rumit. Hanya pikiran-pikiran yang teracuni lingkungan saja yang membuat segalanya terasa sangat sulit. coba saja kau lakukan tanpa terlalu berpikir panjang. Ah, bukankah pikir itu pelita hati. Tapi kalau kelamaan mikir tanpa aksi, juga tidak benar.

Alangkah indahnya dunia realita dalam sebuah pilihan. Apalagi kalau bisa memilih sesuai kehendak hati. Tapi sayang, tak semua yang nyata itu enak, tak semua yang menjijikkan itu buruk. Kadang , saat berada di posisi terpojok, di saat itulah muncul kekuatan lain. Orang bilang semacam emosi kekalutan. Emosi yang membuncah keluar setelah tertahan lama. Sama halnya dengan orang yang sedang patah hati, kekuatan dendam kesumat yang tak berkesudahan, apalah lagi yang bisa mendatangkan seribu watt kekuatan selain emosi yang tersulut.
Hanya sepersekian detik saja, pilihan yang tak dipilih menjadi bumerang menyakitkan. Gagal pilih lebih tepatnya. Atau menunda untuk memilih, lebih menyakitkan lagi karena jelas-jelas pilihan itu terpampang nyata. Waktu yang bisa berkata kenapa semuanya terasa memedihkan mata.

Jumat, 01 Agustus 2014

Cerita Kita (Part 2) Missing You



Tak perlu mengeluarkan sedikit tenaga untuk berjalan ke pohon seri, pun tak perlu bersusah payah mendaki bukit kecil di depan rumah abak. Hanya berdiam diri saja di sudut kamar kecil ini, tuk dapatkan kualitas tinggi sinyal internet.

Tak perlu mengeluarkan sumpah serapah pada sinyal telepon genggam, tak perlu bersabar hati saat tethering tak tercukupi. Kini tinggalah kenangan yang menjadikan segalanya serba mungkin, tuk diulang lagi.

Ah, aku hanya orang bodoh yang tak tahu rasa bersyukur. Aku merindukan suasana dimana segalanya serba butuh kreativitas tuk mendulang keinginan, butuh ide tuk mendapatkan sesuatu. Bukan hanya duduk manis di depan laptop lalu berselancar sesukanya, tak perlu banyak pikiran.

Ah, lagi-lagi saat kerinduan ini datang, aku harus tega membunuhnya dengan mengacuhkannya. Menganggap segalanya hanyalah rotasi waktu yang berjalan sesuai garis edarnya, dan suatu saat nanti akan kembali lagi pada titik asalnya menjadi sebuah kenangan biasa-biasa saja, ingatan ulang tahun.

Bukankah pernah kubisikkan pada semilir angin Gunung, atau pada gemerisik air di sungai dekat jembatan, bahkan pada anjing yang melolong tengah malam, bahwasanya suatu saat nanti, perlahan tapi pasti, aku akan meninggalkan kalian disini, dan kita akan bertemu lagi entah pada episode mana lagi.

Ah, aku hanya bisa menebak, betapa simpelnya sebuah pertemuan dan rumitnya perpisahan, yang kadang membuat hilang akal waras untuk beberapa saat.

Masih dalam memori seminggu yang lalu, tepat jam segini, aku mencurahkan segalanya, masih terpampang nyata dalam girus ingatan.

Ah, acapkali sesaat sebelum bangun tidur aku tersentak. Terbayang wajah-wajah mereka, ibu dan abak Gunung juga 12 laskar merah maroon.

Entah sampai kapan, cerita kita adanya akan bertahan. Entah pada malam, bintang, atau bulan yang mana cerita kita akan berakhir.

Sabtu, 26 Juli 2014

Cerita Kita (Part 1) Dini Hari Nan Dingin



Hanya ada satu malam, satu bintang, dan satu bulan. Ini bukan tentang sesuatu, tapi tentang cerita kita adanya. Banyak hal bodoh yang terjad dan berkecamuk sendiri dalam hati. Tapi di luar sana tetap saja berusaha untuk bersahaja, menjadi sesuatu yang luar biasa. Padahal, di dalam entah seperti apa.

Dalam puing-puing kata, tersemat sejuta rasa. Sihir untaian kalimat demi kalimatnya yang mengalir deras begitu saja, membangkitkan lagi perasaan tak menentu. Ingin kuakhiri saja semua ini, tapi aku berada dalam posisi yang salah. Bukan apa-apa, bukan aku menyalahkan suasana, atau tak berpikir tentang logika. Hanya saja aku yang kurang beruntung, terjebak sendiri dalam ketidakpastian, salah karena membiarkan segalanya terapung, tercabik dalam asa.

Percikan asa tercerai berai, riuh rendah sorak sorai terpecah belah, melambung tinggi ke udara, terbang disapu angin, tenggelam dalam percikan air embun dini hari. Aku termangu sendiri, menyadari yang hilang.
Bukan cerita namanya jika tak ada yang hilang. Setiap kenyataan yang tampak, akan ada kehilangan walau secuil. Sejarah pun telah membuktikan, betapa sulit mengumpulkan cerita lama yang termakan zaman, terserak begitu saja dalam kehidupan manusia. Betapa banyak sejarah yang faktanya diputarbalikkan semata demi kepentingan elite tinggi. Ah, dunia, selalu saja begitu.

Cerita kita, ya, cerita kita lagi. Masih berbusa-busa dengan cerita. Tersusun rapi dalam arus waktu, tertata indah dalam kotak kehidupan. Ditambah ketawa disana sini, bernyanyi apa saja asal bisa. Abadikan momen dalam foto-foto. Kisah biasa saja yang disulap jadi luar biasa. Aku terpaku lama, membayangkan betapa kerasnya kehidupan. Butuh pengorbanan untuk pembuktian, butuh kesabaran untuk kebersamaan, butuh lawan untuk bisa jadi kawan. Bukan cerita yang asli adanya, mengalir begitu saja seperti air.

Dan kini masih saja sama. Ada cerita lain dalam cerita kita. Ibarat dia dan mereka, aku, kamu, dan kita bersama. Ada satu hati yang menyatu, ada raga yang bersama tapi tak bermakna. Ada senyuman palsu yang terpasang, ada gelak riang yang tertuang demi pembuktian jati diri masing-masing. Sifat dasar manusia yang butuh pengakuan dalam komunitas.

Mereka sama, kami sama, merasakan kedinginan malam disusupi panasnya bara api unggun. Nyalanya aneh, berpendar-pendar puing beterbangan. Indah tapi menyakitkan. Kumainkan saja sedikit bara api perlahan menusuk kulit, panas, meleleh di tangan. Biarlah jagung saja yang terbakar, jangan biarkan fisik bahkan hati terbakar aroma neraka kecil.

Biarkan, yang merasa kreatif dengan idenya. Tapi membiarkan temannya sendiri tenggelam beberapa hari dalam ketidakpastian. Membiarkan yang lain menjadi korban hati yang menyakitkan, salah paham teramat lagi.
Biarkan, yang membuat poros kehidupan lain. Merasa pahlawan menjadi sesuatu yang beda, tapi tak menenggang pada mereka yang terbawa duka, hanya mampu menangis dalam hati saja. Ingat kawan, betapapun kerasnya kehidupan, lebih teramat keras nada-nada sumbang yang terdengar di telinga. Lebih menyakitkan daripada kata-kata kasar yang terucap, yang akan hilang sesaat meski meninggalkan kesan lama, bahkan seumur hidup. Biarkan kreativitas mereka saja untuk menyampaikannya tanpa menyinggung yang lain. Bukankah kita diberi logika dan hati untuk sama-sama merasakan yang alur dan patut?

Cerita ini barangkali berakhir dalam formalitas belaka. Tak akan pernah berakhir selama badan masih bersama jiwa. Tentang kita, mereka, dan kita semua. Bukan bumbu pemanis yang aromanya bisa kucium jelas. Sekedar beretorika atau menjadi yang utama, hanya dia yang tau jawabnya.

Gamang, emosi, dan semua rasa bersatu padu, bercampur sesukanya. Hal yang tak logis lagi dalam pikiran kadang muncul menganak sungai. Kalau bukan kita yang berkeras-keras pada diri sendiri, lantas siapa lagi. Daripada terombang-ambing dalam gelombang pemecah sunyi.

Cerita ini hanya cukup sampai disini, kita akhiri saja saat ini. Muncul lagi ide untuk membuang semuanya, menguap begitu saja perbincangan kita malam ini di udara. Ada lagi keinginan membakar dan menguburnya dalam-dalam, tak berbekas. Intinya, tak lagi nyata di mata.

Biarkanlah saja, semua kalau terjadi memang akan terjadi. Kadang kita terlalu lebay menyikapi sesuatu hal, bahkan berlebihan dalam mengambil peran poros kehidupan. Tak ada satu pun kesamaan manusia bahkan anak kembar identik. Bukan kita saja yang berperan, tapi kita semua.

Rabu, 28 Mei 2014

Cinta Siang Bolong





“Sorot matamu, menggelapkan mataku. Andai kau tahu, betapa aku tak ingin, tapi karenamu, kurelakan segalanya, cinta bahkan kematian, hanya untukmu”

Dalam diam, dari jauh kuperhatikan dia dengan tatapan terluka. Hatiku sakit teriris perasaan yang tak tentu. Di satu sisi aku begitu mengaguminya, tapi di sisi lain ada hal prinsipal yang tak bisa kuganggu gugat. Langkah kakinya, tatapan mata, senyumnya yang begitu menawan dan ramah, semuanya lengkap ada pada diri Mark. Mark Christian, nama lengkapnya. Dia kuliah di Melbourne University, sama denganku. Hanya saja kami berbeda jurusan. Dia fokus di bidang ilmu hukum sedangkan aku hubungan internasional. Aku mengenalnya sekadarnya saja. Rasa penasaranku terlebih besar padanya karena kami tinggal di apartemen yang sama.

***
Aku melangkah gontai menuju apartemen. Apartemen yang tak begitu istimewa menurutku. Meski harga sewanya cukup mahal tapi fasilitasnya biasa saja. AC tak ada, apalagi mesin cuci. Kadang harus berjibaku mengurus segalanya. Untungnya apartemen ini gratis, fasilitas beasiswa full kuliah di Australia dari kementerian pendidikan luar negeri Indonesia. “Alhamdulillah, seharusnya aku bersyukur bisa kuliah disini, gratis pula,” lirihku dalam batin. Meski lelah menyerang sepulang dari padatnya aktivitas di kampus, aku tetap berusaha menggerakkan seluruh tubuhku untuk semangat menempuh perjalanan pulang. Memang jarak kampus dan apartemen terbilang jauh, tapi itulah suatu anugerah bagiku, olahraga. “Hmmm... setidaknya aku bisa menurunkan berat badan dan lebih sehat lagi,”ujarku pelan.

Beberapa hari tinggal di apartemen, aku sudah mulai akrab dengan beberapa orang. Ada Sarah, Sophy, dan Marsha, mereka teman sekampusku tapi beda jurusan. Sarah berasal dari Malaysia, Sophy dari New Zealand, dan Marsha dari Rusia. Sebenarnya apartemenku ini tidak mengkhususkan tempat penginapan bagi wanita saja, disini campur wanita dan pria hanya saja berbeda sisi kamarnya. Wanita di sayap sebelah kanan dan pria sayap kirinya. Awalnya aku tak nyaman dengan kondisi apartemen ini, karena aku tak suka berhubungan dengan cowok, titik. Aku punya pengalaman yang tragis dengan seorang cowok, begitu sulit kulupakan, sungguh menyiksa batinku saat mengingatnya.

“Mark, welcome to this apartment, hope you will enjoy it!” teriak seseorang dari kejauhan beberapa saat sebelum aku membuka pintu apartemenku nomor 228. Refleks aku langsung memalingkan pandangan ke sumber suara. Disana kutemukan sesosok pria jangkung, atletis, dan berambut gondrong sedang mengangkat bagasinya, memasuki kamar apartemen tepat di seberang apartemenku. Mataku bergidik ngeri, “Oh no! Jangan sampai cowok itu tinggal disana,” aku memelas, makin lemas. Meski pahit tapi harus juga kukatakan, aku tak suka ada pria yang menempati kamar tepat di depan kamarku, persis. Membayangkannya saja membuat ulu hatiku nyeri, apalagi jika harus melihatnya setiap aku pulang dan pergi. “Oh, how come?!” teriakku dalam hati, kesal yang kutahan-tahan sejak tadi.

Dalam sekejap mata, cowok itu memandangku, mata kami saling berpapasan. Seketika itu ada perasaan gundah yang menyergap hatiku, tak bisa tidak aku membalas pandangan matanya. Tatapan matanya yang begitu hangat, mengingatkanku pada seseorang. Ya, seseorang yang pernah singgah di hatiku dulu, sangat membekas bagiku. Entah apa yang merasukiku sesaat, sehingga aku terpana begitu lama tenggelam dalam tatapan matanya.

“Hallo, my name is Mark, Mark Christian. Nice to meet you!” sapanya padaku dengan ramah. Membuyarkan lamunan panjangku yang entah berapa lama kurasakan. Aku bingung harus menjawab apa, aku takut padanya. Aku takut jika dia juga akan membunuhku pelan-pelan, sama seperti seseorang dari masa laluku. Dengan sigap segera kubuka pintu apartemen dan langsung masuk ke dalam tanpa mempedulikan Mark. “Oh, namanya Mark,” desahku pelan sambil menarik napas sedalam-dalamnya. Mencoba menghilangkan kepanikan dan kegelisahan yang menyergap relung hatiku. Luka lama itu seolah menganga kembali, Mark mengingatkanku pada seseorang yang dulu kucintai.

Di luar sana Mark tampak bingung. Apa ada yang salah dengan kata-katanya barusan? Tanpa berpikir lama Mark kembali membereskan barang-barangnya, menata kamar barunya. Ini adalah hari paling sibuk bagi Mark, semestinya Mark tak perlu susah-susah dalam hidupnya. Keluarga besar Mark ada di Melbourne, tapi dia memutuskan untuk hidup mandiri dan tak bergantung lagi pada orang tuanya. Jadilah Mark memilih tinggal di apartemen yang paling dekat dengan kampusnya.

***
Seperti biasa setiap Minggu pagi aku selalu jogging keliling kampus dan taman kota sendiri. Aku lebih senang jalan sendiri daripada bersama-sama, lebih bebas dan tak terikat siapapun. Begitupun kehidupanku saat ini, tak terikat siapapun, selain kenangan pahit itu. Sport shoes, botol minuman, handuk, yap sudah siap semuanya, saatnya berangkat jogging. Saat kubuka pintu apartemen, lagi-lagi aku harus berpapasan dengan orang itu. “Huh, sepagi ini sudah merusak mood ku saja,” keluhku lagi-lagi dalam batin. Sepertinya dia hendak pergi ke suatu tempat, style dan dandanannya mengingatkanku pada sesuatu. “Oh, sepertinya dia mau ke gereja, hmmm,” desahku lagi. Ada sedikit kekecewaan dalam nada keluhanku. Entahlah, aku tak tahu pasti apa itu. Yang kutahu dia adalah tetangga baru apartemenku dan seseorang yang berbeda keyakinannya denganku, hanya itu saja.

Lagi-lagi dia melihat ke arahku. Kali ini sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tak langsung menyapaku begitu saja seperti kejadian tempo kemarin. Tiba-tiba saja dia berjalan, mendekat ke arahku, dan berkata,” Good morning, bagaimana kabarmu? Oya, maaf jika kemarin aku mengagetkanmu. Perkenalkan, namaku Mark Christian. Kau bisa memanggilku Mark,” katanya seraya menyodorkan tangan, ingin bersalaman denganku. Hatiku berkecamuk, “Apa aku harus meladeni dia atau tidak?” batinku lagi. Antara iya dan tidak kujawab saja seadanya. “Iya, no problem. Namaku Rena. Oya Mark, aku harus pergi, maafkan aku,”kataku padanya seraya beranjak pergi, tak ingin terlalu lama dekat dengannya.

Sepanjang jogging entah kenapa aku selalu memikirkan Mark. “Ya Tuhan, kenapa ini begitu sulit bagiku? Aku merasa bersalah padanya. Tapi aku juga tak sanggup dekat dengannya, aku tak mau dekat dengan cowok manapun. Apalagi dia, Mark begitu mirip dengannya, sangat mirip. Hanya saja Mark lebih ramah dan cool daripada dia, apalagi sorot tatapan matanya, dan itu membuatku sedikit sulit untuk menolak mengenalinya mentah-mentah. Mark, siapa sebenarnya kau ini? Kenapa kau datang di saat aku luka hatiku sudah mulai membaik? Kenapa?”

***
Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Arus waktu begitu cepat mengalir, namun aku masih saja belum bisa menghilangkan ingatanku dari Mark. Seperti biasa, setiap pergi dan pulang ke apartemen, atau sekedar keluar ingin berkumpul dengan teman-temanku tak jarang ku berpapasan dengan Mark. Awalnya aku begitu dingin padanya. Tapi dia tetap saja berusaha untuk ramah padaku, tak menaruh curiga ataupun benci sedikitpun padaku. Meski tak banyak yang kami bicarakan, dari berbagai pertanyaan Mark padaku, tampak jelas betapa dia ingin mengetahuiku lebih dalam. Dan itulah yang tak kuinginkan, hubungan yang berjalan semakin jauh.

Mark menanyakan asal daerahku, keluarga, alasanku kuliah di Australia, dan masih banyak lagi pertanyaan enteng lainnya. Aku berusaha untuk tak terlalu terbuka padanya, tapi setiap kali aku berbicara dengannya di saat itulah aku sulit untuk menolak menjawabnya. Seolah setiap kata yang bergulir dari bibirnya dan kesungguhannya dalam bertanya itu adalah hipnotis bagiku. Perlahan tapi pasti, aku mulai menaruh rasa padanya. Rasa yang sama sekali tak kuketahui dengan jelas. Sungguh rasaku bercampur aduk, melihatnya saat ini memaksaku mengingat masa lalu yang kelam. sungguh, aku tak tahu apa ini.

Aku kebingungan dengan perasaanku saat ini. Tersiksa tak menentu, kadang kurasa bahagia, kadang duka. Kadang kutertawa kadang menangis. Kadang kusuka kadang benci. Tak tahan dengan rasa yang aneh ini, kuceritakan saja semuanya pada teman-temanku. Kuceritakan sejak dari kisah tragisku dahulu hingga pertemuanku dengan Mark. Sarah, temanku yang lebih sensitif dan lebih mengerti perasaanku karena kami serumpun, akhirnya memberikan beberapa masukan yang berarti bagiku. Teman-teman yang lain juga tak kalah menyemangatiku. “Rena, sepertinya bukan keanehan yang kau rasakan. Tapi itu adalah cinta, cinta yang kau rasakan pada Mark. Hanya saja kau terbebani karena merasa bersalah pada dirimu sendiri dan tak bisa melupakan masa lalumu. Rena, yang lalu biarlah berlalu, tataplah masa depan. Tak ada gunanya lagi kau ratapi setiap kesalahan masa lalumu. Jadikan pelajaran berharga agar kau tak lagi mengulanginya,” demikian nasehat Sarah yang selalu terngiang-ngiang di telingaku.

Nasehat Sarah tak serta merta kuterima begitu saja. “Begitu mudahkah melupakan masa lalu baginya? Huh, barangkali dia belum pernah merasakan apa yang aku rasakan,” selorohku dalam hati. Lama kutermenung dalam kamar, duduk di samping jendela sambil memandangi langit. Malam ini begitu indah, langit bersih bertaburan bintang. Kuingat-ingat lagi nasehat Sarah tempo hari, sepertinya ada benarnya juga. Sambil menatap bulan, kuteguhkan hatiku bahwa aku akan melawan masa laluku. Tak akan membiarkan bekasnya menghantuiku lagi, tak lagi. Aku harus berani menatap masa depanku, dan dalam lirihku berkata, sepertinya benar, aku mencintaimu, Mark. Sungguh sangat mencintaimu.

***
Sekuat tenaga dan dengan percaya diri yang dipenuh-penuhkan, aku beranikan diriku untuk menghubungi Mark lewat ponsel. Padahal kamar kami bersebelahan, apa salahnya aku berkunjung kesana. Tapi kuurungkan niatku, aku tak ingin tergesa-gesa. Aku takut jika Mark menilaiku aneh, karena belakangan ini aku selalu menolak menjawab pertanyaannya. Dia yang menyatakan perasaannya padaku meski hanya tersirat. Dan malam ini, aku ingin meyakinkan perasaanku padanya. Tapi tiba-tiba saja aku urungkan niatku, ada sesuatu yang terjadi.

Logika dan perasaan ini berperang, tak mau kalah. Malam ini hampir saja aku memenangkan perasaanku pada Mark. Tapi logikaku sekali ini menyusup dalam hatiku, mempertanyakan dimana kuletakkan prinsip hidupku. Prinsip hidup yang kuyakini sejak kecil, bahkan sejak aku masih dalam kandungan. Masalah perbedaan keyakinan yang begitu kutakutkan untuk kunodai. Meski aku bukan penganut agama yang taat, tapi aku tak ingin menyalahi prinsip itu.

Batinku lagi-lagi berontak. Aku tak tahan lagi dengan semua ini, ingin rasanya aku mati saja.

“Mark, akankah perbedaan ini memisahkan kita? Tapi aku tak sanggup menentang prinsip hidupku.”
“Mark, akankah kau mencintaiku seperti apapun keinginanku?”
“Mark, akankah kita bisa bersama walau secara prinsipal ada yang membedakan kita?”
“Mark, sungguh aku tak sanggup hidup tanpamu. Tapi aku juga tak sanggup melawan hati nuraniku.”
“Mark, akankah cinta ini membunuhku, membunuhmu atau membunuh kita?”
‘Mark, akankah cinta ini, seperti kebanyakan kisah-kisah cinta lainnya berujung pada kematian?”
“Mark, apakah setelah kematian yang dilewati, kita dapat hidup bersama dan saling mencinta?”

Oh tidak, sungguh naifnya diriku.

“Tuhan, maafkan aku yang mencintai dia, dan rela mati untuknya.”

Tangisku meledak mengalir kencang, tak dapat kutahan lagi. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Akankah dia bisa menerimaku apa adanya? Akankah aku bisa menerima dia apa adanya? Dalam hening malam, kutitipkan saja perasaan dan logika ini sejenak padaNya, aku bingung, cinta ini sangat rumit.

***
Mark mengetuk kamar apartemenku pagi ini. Aku kaget, tak pernah sekalipun dia mencoba mendekatiku, apalagi datang ke kamarku. Aku tak ingin beranjak dari atas kasur, aku malu padanya. Kurasakan mataku masih bengkak dan tampak merah. Jelas sekali karena menangis semalaman. Tapi aku khawatir nanti Mark menyangka ada apa-apa denganku. Segera saja aku ambil ponsel yang tak jadi kugunakan tadi malam, dan kukirim message padanya. “Mark, ada apa? Maaf aku tak bisa menemuimu saat ini, badanku kurang enak,” smsku pada Mark. Seketika itu juga tak lagi kudengar dia di depan kamarku.

Selang beberapa saat kudapati pesan singkat darinya. Dia khawatir padaku, sepertinya dia punya firasat yang tak enak semalaman. Hmm, entah itu benar atau tidak, tapi firasatnya sungguh tepat. Aku benar-benar bingung dan terpuruk saat ini. “Maafkan aku Mark. Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa memilikimu Mark. Aku tahu kau juga mencintaiku. Apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Oh, beginikah rasanya pungguk yang merindukan bulan?”

“Saat pungguk mencapai bulan namun harus melepaskannya.”

“Apakah seperti ini kisah cintaku? Tak lepas dari ketakutan dan kehilangan yang sangat?”

“Wahai cinta, kenapa kau begitu tega padaku dan dia?”

“Apakah tak ada lagi jalan lain bagiku, ataukah ini memang jalan takdirku?”

Lagi-lagi buliran syair mengalir deras dari relung hatiku. Kurasa hanya inilah yang dapat mengobati rasa di jiwa ini, saat ini. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Kenapa semua ini seperti mimpi buruk bagiku? Tuhan, salahkah jika aku mencintainya? Ataukah lebih baik jika aku mencintainya dalam diam saja?

Aku menangis dan tetap saja menangis. Aku merasa lemah dan letih. Lelah rasanya menghabiskan energi dengan menangis dan mengeluh. Tapi air mata ini tak bisa berhenti keluar. Mengalir deras dan deras hingga membanjiri kasurku. Aku basah, terendam oleh air mataku yang menganak sungai.

Oh, tidak. Kenapa air mataku mengalir separah ini? “Ya Tuhan, apalagi ini?”

Tiba-tiba aku mendengar jeritan suara, tak jelas suara apa. Telingaku samar-samar mendengar suara, lama-kelamaan semakin jelas, semakin nyata. Aku berusaha mencari asal suara itu, gerakanku seolah tertahan, terhimpit sesuatu yang berat sekali. Kemudian nampak secercah cahaya, semakin terang dan nyata. Dan aku terbangun dari mimpi burukku. “Wah, ternyata mimpi, ah, benar-benar nyesek banget sih,” aku menyumpah serapah lantang, tak lagi tertahan dalam hati.

Kubuka jendela kamar apartemen, kuhirup udara segar dalam-dalam. Kulihat sekeliling jalanan masih sepi, tapi mataku tertuju pada seseorang yang sedang jogging. “Hah, bukankah dia Mark yang di mimpiku?”


Namaku Yessi Arsurya, nama penaku Waishi. Aku tinggal di Jati Padang. Untuk informasiku lebih lanjut bisa menghubungiku di 081803173265, atau media sosial fb yessi arsurya. Oh ya, aku juga punya twitter @yessiarsurya. Yang mau kirim surel bisa lewat emailku yessiarsurya@rocketmail.com. Terima kasih.

Rabu, 21 Mei 2014

Semua Akan Indah pada Waktunya



Semua akan indah pada waktunya... begitulah hal yang akan dan terus selalu bergema di hati para ikhwan dan akhwat yang mulai memasuki masa-masa penantian. Memang demikian adanya, sebuah penantian panjang yang tak menentu, tapi isyarah nabi Muhammad seolah menjadi hawa sejuk di tengah padang pasir, memberikan keoptimisan bahwa janji Allah itu benar. Layaknya masa kejayaan Konstantinopel dahulu berhasil ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih setelah penantian panjang lebih kurang 800 tahun hingga akhirnya masa itu menjadi kenyataan yang tak terelakkan.

Begitu juga dengan perrmasalahan hati. Sejak dalam rahim sebelum roh ditiupkan oleh melalui perantara malaikat, sudah ditentukan takdirnya. Apakah janin ini hidup atau mati sebelum dilahirkan, kelak saat lahir apakah ia akan lahir sempurna atau cacat, lalu apakah ia akan menjadi orang baik atau sebaliknya, rezeki, jodoh, dan mautnya sudah ditentukan sebelumnya. Sungguh, tiada usaha kita untuk dapat menidakkan takdir yang sudah terpateri dalam Lauhul Mahfuzh ini, dengan ikhtiar, doa, dan tawakkal semoga kita dapat menjemput takdir yang terbaik, aamiin.

Rasa yang tumbuh saat ini bukanlah rasa yang harus dibabat mati, apalagi dibunuh dan dikubur dalam-dalam. Kalau sudah mampu dan siap lahir bathin apa salahnya menikah saja. Tapi selalu ada-ada saja halangannya, namanya juga bersegera dalam kebaikan dan menyempurnakan separuh agama pastinya ada yang menghalangi. Membisikkan nada-nada minor dalam hati sampai ragu dan bimbang. Merasa selalu saja ada yang kurang atau yang belum bisa. Hmm, namanya juga usaha pasti butuh keoptimisan dan tidak asal memilih saja.

Perlu digarisbawahi disini, perasaan galau itu jika datang sesekali tak apa. Pertanda sinyal-sinyal tertentu tengah tumbuh dalam fase siklus kehidupan manusia normal. Hanya saja jika rasa galau tersebut datang tak jemu-jemu, sampai-sampai menguras pikiran dan kalbu, ini jelas berbahaya. Bahasa kerennya sekarang itu virus merah jambu (VMJ). Kenapa harus virus yang disalahkan? Toh, virus tak bersalah menularkan racun-racun cinta pada hati manusia. Tapi sekali lagi, virus ini meski ukurannya kecil sekali bahayanya luar bidahsyat.

Oke, awalnya hanya ingin menjaga hati agar tak terkotori dengan pikiran-pikiran aneh. Tapi memimpikan si dia yang kelak menjadi calon imam kita, atau diam-diam menyimpan rasa dengannya karena luar biasanya dia, apa salahnya? Coba pikirkan, kalaulah saja sempat pikiran kita dipenuhi oleh si dia, mau ini ingat dia, itu ingat dia, lalu kapan ya ingat Allah? Kapan ingat zikir pada Allah? Sibuk sajalah memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Illahi, Insha Allah jodoh yang baik, yang soleh tak akan lari. Aamiin.

Masih ingatkah di Al-Quran QS An-Nuur ayat 26 jelas diterangkan bahwa “wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” . Jadi ukhty-ukhty, marilah kita sibuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, dan otomatis segala gundah gulana dan galau itu akan hilang dengan sendirinya. Bukankah Allah SWT telah berjanji dalam QS Al Ashr ayat1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, yang saling nasehat-menasehati dalam kebaikan, dan saling nasehat-menasehati dalam kesabaran”. Insha Allah, semua akan indah pada waktunya. Semoga bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis dan dapat diamalkan dengan sebaik-baiknya.

Rabu, 14 Mei 2014

MALIN TAMBANG




“Nak, ingek pasan bundo, satinggi-tinggi tupai malompek pasti jatuah juo. Kok hujan batu di nagari awak, hujan ameh di nagari urang, nagari awak tetap nan utamo. Dek ulah tangan manusia juo,mako tataruang kaki, nan alam takambang indak dipagurui”

***

Pikiran itu berkelebat dalam otakku, nyaris meluluhlantakkan pendirian yang selama ini kubangun. “Tidak, aku tak akan kena dengan pesan sialan yang bertahun-tahun lamanya itu selalu kudengar dari bundo, ibu tiri yang tak kuanggap sama sekali itu bukan ibu kandungku!” cercaku membatin.

Pagi ini aku disuguhkan lagi dengan sarapan basi. Sebasi berita-berita di koran dan televisi yang kian hari kian tak jelas. “Ada-ada saja mereka, baru anak kemarin sore sudah berlagak hebat menyiarkan berita bak profesional, dibumbui info yang tak jelas asal usulnya pula”, sambil melotot geram melihat televisi dan mematikannya.

“Yayaah, kok dimatiin sih tv nya? Kan bental lagi ada film kaltun kesukaanku…”

Anakku satu-satunya yang masih belum sekolah itu pun merengek manja meminta remote tv dan ingin menghidupkannya lagi.

“ Nggak! Pergi sana tempat mamamu! Jangan ganggu Ayah!” bentakku keras padanya.

Dia pun berlari sambil terisak kecil menjauhiku. Aku ayah yang kejam memang. Namun aku seperti ini juga untuk kebaikan dia, agar dia tak lemah dan bergantung kepada orang lain. Itu juga yang diajarkan oleh Abak padaku sejak kecil. Hingga aku bisa seperti ini.

Seolah memecah kesunyian rumah besar mewah yang memang berpenghuni hanya lima orang, aku, istriku Rani, anakku Robi, si bibik yang mengurus rumah, dan pak Olga yang merangkap kerja sebagai tukang kebun dan sopir pribadiku. Tak sebanding memang dengan kehidupanku dulu saat masih di kampung Padang Lamo. Tapi di ibukota metropolitan inilah kehidupan yang kujalani saat ini, aku dengan segenap kekuatan dan kerja kerasku, akan aku lakukan untuk mendapatkannya.

Lagi-lagi sepagi ini ponselku berdering. Seseorang nan jauh disana, aku berbicara dengannya lewat sinyal dan gelombang yang sama.

“Bos, maaf mengganggu sepagi ini. Bos sudah lihat berita di tv dan koran beberapa hari ini? Sepertinya ini akan berbahaya bagi posisi kita Bos. Apa perlu kita segera mengambil tindakan, Bos?”

“Hmm… kau tunggu sampai esok hari dulu Bondan. Kalau media itu masih saja macam-macam, besok tanpa babibu langsung saja kau tindak mereka.”

“Oke, siap Bos! Saya pamit dulu, selamat pagi Bos!”

***

“Malin, janganlah sering-sering kau tebang pohon itu, nanti rusak tanah pandam nagari kita,” kata bundo suatu hari.

“Tidak bundo, apa hak bundo melarang Malin. Bundo bukan ibu kandung Malin. Lagipula kayu-kayu kurus kering ini akan Malin jual ke pembuat karupuak sanjai, Malin butuh uang bundo, bundo mana bisa kasih Malin uang?!”

Tatkala itu, siang tak hingar bingar, malam sepi tanpa kelakar. Hanya di sudut-sudut surau saja di kampungku itu yang malamnya dipenuhi anak-anak bujang yang tinggal di surau. Ada yang belajar mangaji, berbalas pantun, pencak silat, atau hanya sekedar numpang tidur saja sambil berkelakar dengan teman sebayanya. Maklum, para anak bujang dulunya punya raso jo pareso kalau masih saja tidur di rumah orang tua.

Tapi siang itu tak seperti biasanya. Ada sedikit keributan kecil yang terjadi antara orang tua dengan anaknya. Di samping rumah gadang yang namanya tidak seluas kondisi sebenarnya itu, bersiteganglah antara bundo dengan Malin. Malin tetap saja menumpuk kayu hasil tebangannya di lorong bawah rumah gadang tanpa segan pada bundonya. Bundo hanya bisa bersabar dengan sikap Malin, lagi-lagi. Entah sampai kapan pertahanan seorang bundo akan hancur luluh oleh sikap kasar dan keras kepala anaknya Malin.

Ternyata Malin tak hanya menebang pohon saja, apapun dia lakukan untuk mendapatkan keinginannya. Merambah hutan pun dia lakukan, menambang pasir di sungai bahkan memikul batu-batu besar untuk bangunan pun dikerjakannya juga. Sekalipun harus berkali-kali bersikukuh dengan bundonya. Tak jarang orang kampung sekitar juga turut andil menasehati, tapi apalah daya. Hingga akhirnya oleh orang kampungnya dia dijuluki “Malin Tambang”, karena memang hobinya menambang apapun yang ada di alam sekitar kampungnya. Andai saja Abak Malin masih hidup, mungkin Malin masih bisa menerima nasehat dari Abaknya.

“Malin, sampai kapan wa’ang mau seperti ini? Bundo sudah berusaha kerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup kau Malin. Tapi kenapa wa’ang masih saja merambah alam sembarangan Malin?”

“Malin, dengarlah nasehat bundo ini, sekali ini saja Malin. Pesan bundo yang akan berguna sampai nanti, pesan nan alah turun temurun dari nenek moyang. Alam takambang jadikan guru, tando-tando nan patuik wa’ang inok manuangkan, sabab ndak salamonyo alam tampek awak bapijak kini sarancak dan samanih isi nan dikanduangnyo."

***

Secepat kilat kusambar jas kebanggaanku, tak lupa tas dan sepatu kulit hitam branded keluaran negara Eiffel. Konon kabarnya, barang tersebut diproduksi limited edition. Akupun bergegas melesat menuju kantor untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Meski suasana hati tak mendukung, tapi apapun yang terjadi, masalah ini harus segera beres. Jangan sampai mengancam keberlangsungan perusahaannya, apalagi terhadap para investor yang tak tanggung-tanggung merogoh kocek sedalam-dalamnya untuk sekedar menanam uang di tanah subur.

Ya, proyek yang saat ini tengah menjadi sorotan media massa. Padahal tinggal sedikit lagi dan aku yakin investor lain akan berdatangan membanjiri perusahaanku. Perusahaanku yang bergerak di bidang pertambangan bahan-bahan alam yang nilai jual ekspornya membumbung tinggi. Negara tetangga bahkan Eropa dan Amerika tak luput dari sasaran pasar global perusahaanku.

“Bagaimana perkembangan terakhir proyek kita di kampung Padang?” selidikku pada sekretaris proyek.

“Mohon maaf Bos. Jika ini bukanlah kabar yang diharapkan, tim kami sudah berusaha maksimal, namun ternyata terjadi sedikit kesalahan pengkalkulasian dalam proyek kita ini Bos. Tapi yang tak saya mengerti akibatnya cukup fatal, persis seperti yang diberitakan.”

“Tak becus kau! Lihat berapa kerugian perusahaan ini! Nyawa kau pun tak sanggup menebusnya. Keluar kau!”

“Sekali lagi maafkan saya Bos. Ini murni kesalahan tim kami. Tapi Bos, ada kabar yang lebih tak enak dari ini Bos. Akibat penebangan pohon di hutan Padang, pengerukan pasir dan batu, apalagi di musim hujan ini menimbulkan banjir yang sebelumnya tak pernah terjadi disana Bos.”

“Ah, itu bukan urusanku! Lagian toh, itu salah kau. Kau yang buat ulah disana, jangan ngawur kalau aku yang harus ganti rugi itu semua,” pelototku padanya.

“Tapi Bos, tapi….”

“Gak ada tapi-tapian. Keluar!”

***

“Bundo, Malin sudah besar, tak betah lagi Malin tinggal berlama-lama disini. Malin ingin pergi merantau bundo, ikut dengan Mak Pono ke Jakarta. Katanya disana kehidupannya lebih mudah dan enak daripada disini.”

“Bundo tak akan melarangmu Nak. Pergilah, kejarlah cita-citamu. Bundo hanya bisa mendoakanmu dari sini Malin, semoga kau sukses jadi orang yang berhasil, Nak.”

“Tak usahlah Bundo meragukan Malin. Malin bisa melakukan apapun yang Malin mau tanpa bundo. Malah bundo yang selama ini menyusahkan Malin. Malin ingin mandiri, tak mau lagi bergantung dengan orang lain, apalagi bundo. Jadi tak usahlah bundo mencemaskan Malin.”

“Indak banyak pinto bundo Malin, jan wa’ang terlalu maninggikan diri, sabaiak—baiak urang nan cadiak pandai, kian barisi kian marunduak, bak padi nan boneh.”

“Nak, ingek pasan bundo, satinggi-tinggi tupai malompek pasti jatuah juo. Kok hujan batu di nagari awak, hujan ameh di nagari urang, nagari awak tetap nan utamo. Dek ulah tangan manusia juo,mako tataruang kaki, nan alam takambang indak dipagurui.”

“Hentikan bundo, panek Malin mendengar kata-kata aneh bundo itu. Seperti tak ada kata-kata lain saja. Malin pamit dulu bundo, jadi bundo tak usah cari-cari Malin lagi karena Malin merantau jauh. Suatu saat Malin akan buktikan Malin akan jadi orang sukses, Malin ingin jadi penambang yang kaya raya seperti di koran-koran, dan terkenal.”

***

“Hotnews diberitakan langsung dari kampung Padang bahwa sejak pagi ini hujan lebat terus mengguyur kawasan kampung Padang dan sekitarnya. Terjadi longsor dan banjir bandang yang meluluhlantakkan satu kampung yaitu di kawasan kampung Padang Lamo. Dilaporkan korban yang meninggal mencapai 56 orang, belum ditemukan 47 orang. Hingga saat ini tim SAR beserta polisi masih berada di lokasi kejadian untuk mengevakuasi korban. Medan yang licin dan terjal menyulitkan pencarian korban.”

Aku yang tak berselera melakukan apapun di ruangan setelah marah-marah tadi pagi, sontak kaget dan tak percaya dengan apa yang aku lihat di tv. Kampung Padang Lamo, satu kampung luluh lantak oleh longsor dan banjir bandang. Oh tidak, itu adalah kampung halamanku. Secepat bermacam aliran entah listrik kilat atau apapun itu menyambar di sekujur tubuhku. Segera aku panggil kembali sekretaris yang sudah kusuruh pergi jauh-jauh sejak tadi. Aku, bagaimanapun itu aku seperti merasa tetap tak sanggup menghadapinya jika berita itu benar.

“Apa kau sudah lihat berita terakhir? Apa kau tau itu?”

“Mohon maaf, Bos. Tadi saya ingin menyampaikan hal itu, tapi saya sungguh tak sanggup.”

“Oh Tuhan, apa lagi yang terjadi ini? Kau, cek keadaan bundo segera! Dan yang lainnya, laporkan padaku secepat yang kau bisa!”

***

“Nak, ingek pasan bundo. Nak…. Malin, jan kau rusak alam itu semau kau….Malin….” tak terasa kata-kata bundo itu kini terafirmasi dalam benakku. Memori yang kuingat tentang bundo hanya itu, tak lebih. Ingat hanya karena terlalu sering diucapkan bundo tanpa aku turuti. Mataku memberat, cairan hangat setitik demi setitik membanjiri pipiku. Tak sanggup lagi kubendung.

“Bundo, anak macam apa aku ini, maafkan aku bundo, aku…aku… sungguh belum siap kehilangan bundo. Aku durhaka bundo, pada bundo dan juga orang kampung. Aku…aku…pelan-pelan telah membunuh orang kampungku sendiri. Maafkan aku, oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” lirihku mengiba.

Malin, meski harus kehilangan bundo dan beberapa orang kampung yang dikenalnya dengan baik, akhirnya ia dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Kini, ia hanya dapat menyesali yang sudah terjadi, nasi sudah jadi bubur. Malin sekeluarga memutuskan untuk pindah ke kampung kecil di kampung Aceh. Meski hati kecilnya ingin sekali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, namun kedatangannya hanya akan menjadi musibah penolakan yang bertubi-tubi bagi keluarganya.


Selasa, 13 Mei 2014

MIXTURASI CINTA



by: Yessi Arsurya


Hawa itu menelisik di sudut-sudut hatiku, seolah-olah ingin mencabik jiwaku. Pagi sesunyi dan sedingin ini, seolah mereka kompak untuk semakin menenggalamkanku dalam kesedihan yang teramat dalam. Aku yang sejak entah berapa lama sudah berdiri di sudut kamar dekat jendela yang sengaja kubuka lebar, mematung menatap kilau gemerlap dunia. Padahal ini masih pagi, seharusnya aku mulai hari yang berkah ini dengan bismillah dan senyuman terbaik. Pun Rasulullah seringkali mengingatkan betapa pentingnya suasana shubuh. Mengawali pagi dengan kesungguhan dan rencana terbaik. Bahkan kata sebagian orang kalau pagi buta saja masih bermalas-malasan maka jangan salahkan rezeki dipatok ayam.

“Aku tau itu semua, tak usah lagi kau ceramahi aku sepagi ini”,kataku berontak dengan hati kecil. Sudah kucoba untuk melupakan kejadian kemarin, tapi tetap saja. Dengan langkah gontai kuayunkan kaki sekuat tenaga untuk berwudhuk, hampir beberapa pintu yang harus kulalui menghabiskan seluruh tenagaku. Padahal aku sudah bangun jauh sebelum adzan shubuh berkumandang, tapi tetap saja. Dengan sisa-sisa tenaga itu kukuatkan hati dan berharap semoga setelah sholat mungkin aku bisa mendapatkan jawabannya. Ya, jawaban yang membingungkan dan membuatku bahkan tak lagi mengenali siapapun.

Ribuan kilometer terasa perjalanan yang kutempuh hingga aku bisa kembali ke kamar dan sholat. Nyaris saja aku beberapa kali tertilang karena ketidakmampuanku. Ektremitas yang kaku menyulitkanku, tapi sekali lagi, aku gunakan sisa-sisa yang ada itu hanya untuk tetap melaksanakan kewajiban pagi ini. Sesunyi atau setemaram apapun suasana perasaanku pagi ini. Di kamarku yang kecil mungil, hanya sepertiga bagian dekat pintu saja yang biasa aku gunakan untuk sholat. Seharusnya kalau aku tidak begini, sedari tadi aku sudah melesat menuju surau dekat rumahku yang letaknya hanya sejangkal dengan jarak tempuh beberapa menit untuk sholat berjemaah. Tapi sekali lagi, tak kuasa aku melakukannya.

Tak terasa pipiku sudah basah sekali, pelupuk mataku memberat sehingga aliran deras cairan hangat itu tak kuasa kutahan. Masih dalam doaku pagi ini, aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Dalam pagi yang berkah ini, aku berharap bisa mendapatkan jawaban yang pasti walau tak langsung kudapatkan. Sungguh, perasaan ini seperti membunuhku perlahan-lahan, menganestesi rasa yang sudah lama kubangun dan akhirnya harus roboh dalam sekejap.

Dia yang dulu tak lagi dia yang kini. Aku yang dulu, kini, masih saja sama, terlalu rapuh. Rapuh menjalani hidup yang keras ini jika tanpa dukungan dan motivasi dari dia. Sulit bagiku untuk mempercayai bahwasanya dia yang dulu kukenal kuat kini menjadi sangat rapuh, tak sanggup melawan jutaan bahan-bahan kimia yang setiap hari diinjeksikan ke tubuhnya. Bahkan untuk melakukan aktivitas kecil saja seperti berjalan atau ke kamar mandi dia tak bisa. Yang membuatku kecewa, kenapa aku harus jadi orang terakhir yang tahu kondisinya? Kenapa dia tak pernah jujur padaku tentang satu hal itu saja? apa aku begitu rapuhnya hingga hal seperti itu tak boleh kuketahui barang sedikitpun?

“Apa artinya persahabatan atau ukhuwah yang selama ini dibangun antara kau dan aku?” lirihku dalam hati. Yang kubutuhkan saat ini adalah jawabmu, jawaban yang keluar dari bibir kelu dan pucatmu itu, tidak, aku tak ingin mendengarnya. Atau aku ingin tau jawabmu dari wajah dan pancaran matamu, tidak, aku juga tak sanggup melihatnya. Bahkan aku tak bisa melakukan apa-apa untukmu sahabatku. Kenapa kau, kenapa kau begitu tega membuat aku seperti ini?

Dari diagnosa dokter, sahabatku divonis menderita limfoma maligna stadium akhir. Dan kini dia harus menjalani kemoterapi yang memang sungguh menyakitkan baginya. Tak ada pilihan lain selain memasukkan cairan beracun tersebut untuk membunuh sel-sel kanker di tubuhnya, yang tak ayal juga perlahan membunuh sel-sel yang sehat. Aku tak sampai hati melihat keadaannya saat ini. Ya Allah, kenapa harus dia? Kenapa tidak aku saja yang memang rapuh ini menderita penyakit yang bersarang di tubuh sahabatku? Jika saja aku dapat menggantikannya.

Dan hal yang paling kusesali hingga pagi ini, betapa naifnya aku. Harusnya aku tak lari kabur begitu saja meninggalkannya tadi malam. Begitu naifnya aku yang seharusnya menguatkan dia yang setiap hari selalu menguatkan aku, dan menemaninya tapi apa yang aku lakukan? Aku, ada apa denganku?! Kenapa aku begini? Ya Allah, sungguh aku tak bermaksud apapun terhadapnya, tak ingin membuatnya sedih atau kecewa. Hanya saja ya Allah, kenapa semua ini terasa begitu mendadak? Seperti kilatan petir yang menyambar di depan mataku, dan membutakan perasaanku? Ya Allah, kenapa ini harus terjadi? Ya Allah, kuatkanlah dia, sembuhkanlah dia, aku…, aku belum siap kehilangan dia secepat ini. Ukhuwah ini sudah terjalin begitu erat, antara aku dan dia. Walau tak terikat apapun, tapi aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Ukhuwah yang begitu indah ini tak ingin berakhir tragis seperti ini. Kabulkanlah doaku ini ya Allah….

Lamunanku terbuyarkan, jantungku berdegup kencang. Meski aku tak terkejut dengan alunan lagu Paradise dari Maher Zain yang samar-samar berbunyi dari ponsel, aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sepagi ini, jarang ada telpon, kalaupun ada itu hanya sms. Tapi, aku merasakan ada getaran yang mengalir di sekujur tubuhku, yang membuat kebekuan pagi ini bertambah parah. Terlintas di pikiranku sesuatu yang aku takutkan. Tanpa berpikir panjang aku langsung meraih ponsel dan berbicara dengan seseorang di tempat lain.

Tanpa berpikir panjang aku bersiap-siap secepat yang aku bisa dan melesat segera ke rumah sakit tempat sahabatku dirawat. Perjalanan terasa sangat lambat, aku takut hal yang tak baik itu terjadi. Bayang-bayang itu berkelabat dalam pikiranku, membuyarkan konsentrasiku untuk tetap fokus. Aku, bagaimanapun rapuhnya aku, kali ini aku harus terlihat kuat dihadapannya. Sekali ini saja, aku harus membuktikan kepadanya bahwa aku bisa, aku kuat, aku tak mudah goyah, dan aku sudah berubah. Ya, untuk kali ini dan seterusnya, aku ingin berubah untuk tidak menjadi gadis rapuh lagi.

Derap langkah terseok-seok di lantai berkeramik putih rumah sakit, ditambah aroma khas rumah sakit yang menusuk hidungku. Membuat aku berada di alam transisi antara kehidupan dunia dan akhirat. Masih dengan sisa-sisa tenaga kupercepat langkah kaki menuju kamar pasien di lantai 2 yang mana untuk menemukannya harus melewati beberapa lorong yang sesak dengan keluarga pasien dan penjajal makanan. Akhirnya aku menemukan kamar rawat yang pernah kulihat sekali sebelumnya, kamar yang begitu enggan untuk kumasuki lagi, karena aku takut tak dapat lagi keluar dari sana dengan akal sehatku. Tapi, ya Allah, aku harus kuat demi sahabatku, ya, aku harus kuat demi dia.

Tampak sahabatku yang diam membeku di sudut kamar. Tak sanggup melihat keadaannya yang membuat hatiku sangat miris. Tapi di sudut bibirnya aku masih bisa melihat senyuman kekuatan yang tetap bergulir dari dirinya. Aku merasakan kehangatan sambutan kedatanganku darinya yang tidak berdaya. Aku mendekat padanya dan berbisik lembut di telinga.

“Assalamu’alaikum, ukhty. Maafkan aku, sahabatmu ini yang tak berguna di saat kau membutuhkan seorang sahabat”, jawabku lirih sambil menggigit bibir, menahan isak tangis yang sedari tadi ingin memuntahkan segalanya.

“Sahabatku, aku ingin sekali lagi mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu ukhty, aku sungguh mencintaimu karena Allah. Allah yang telah mempertemukan dan menguatkan kita, dalam cinta dan kasih sayangnya. Oleh karena itu, ukhty, kau harus berjuang untuk sembuh demi orang-orang yang engkau kasihi…” kataku perlahan padanya.

Senyumnya semakin mengembang dan perlahan-lahan mulai memudar. Dia tak bisa berkata apa-apa padaku. Pancaran matanya menandakan keikhlasan dan ketulusan, dan kesabaran atas sakit yang dirasakannya. Baru kusadari, kau memang kuat wahai sahabatku. di tengah kelemahanmu kau tetap kuat menghadapinya, bahkan menguatkan bagi orang yang melihatmu. Sungguh, aku malu pada diriku sendiri. Sekali lagi maafkan aku sahabatku.

Innalillah, Allah sungguh sayang padamu sahabatku. dalam senyuman terindahmu kau mengakhiri segalanya dengan indah. Aku mengerti, aku tak butuh jawaban apa-apa lagi saat ini sahabatku, maafkan aku yang terlalu naif menilaimu malam itu. Ya Allah, limpahkanlah rahmatmu kepada sahabatku, mudahkanlah dia ya Allah. Dalam pelukan ukhuwah dan cinta terakhir ini kuakhiri kerapuhanku, aku akan kuat ukhty, aku berjanji.



Melukis Cita dalam Asa




Impianku adalah menjadi seseorang. Awalnya aku tak tahu persis seseorang itu siapa, seperti apa, dimana tinggalnya, dan sebagainya. Yang jelas, seseorang yang aku impikan itu adalah dia yang punya mimpi besar dan sudah mewujudkannya. Dulu pernah aku berpikir menjadi astronot, menjadi dokter, menjadi pilot, dan menjadi yang lainnya. Dan kini impian itu hampir kugenggam, menjadi seorang dokter.

Namun seiring berjalannya waktu, dengan fakta dan realita yang berserakan di media-media mainstream saat ini cukup pelik bagi profesi dokter. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal dulu profesi dokter begitu wah, begitu dihormati dan mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat. Akankah anggapan masyarakat saat ini juga akan sama terhadap dokter atau berbeda? Atau akankah masyarakat tetap mempercayakan dirinya ‘seutuhnya’ kepada dokter untuk mencapai kesembuhan?

Pergeseran nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan sehari-hari saat ini cukup berpengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan profesi yang dilakoninya. Semakin maju suatu negara maka akan semakin maju pula pola pikir masyarakatnya. Jika dahulu masyarakat sangat percaya pada dokter dengan segala kondisi yang akan terjadi. Kesembuhan mendatangkan ucapan terima kasih dan rasa bangga kepada sang dokter, kemalangan berujung pada kesabaran dan ketabahan keluarga pasien dan menyakini bahwa itu sudah menjadi ajalnya. Akankah dokter akan tetap diterima dengan legowo oleh masyarakatnya saat ini?

Anggap saja sebagian masyarakat masih mempercayakan persoalan kesehatan dan penyembuhannya kepada dokter. Tapi bagaimana dengan sisi lain yang berseberangan, yang dapat dikatakan memiliki motif tertentu yangg berbeda-beda. Media akhir-akhir ini begitu sigap dan lincah memberitakan malpraktik dokter. Apakah malpraktik itu identik dengan dokter yang melakukan kesalahan terapi pada pasien sehingga menyebabkan pasien meninggal atau cacat? Lalu bagaimana dengan kesalahan yang terjadi pada praktik lainnya, semisal praktik bidan, perawat, dll yang masih sealiran dalam bidang kesehatan, atau pada praktik lainnya secara teknis?

Sebenarnya dokter bukanlah manusia yang sempurna, ia hanyalah manusia biasa yang dapat berbuat kesalahan atau kekhilafan. Tapi aku yakin semua dokter pasti berusaha untuk meminimalisir kesalahannya, dengan terus belajar dan belajar dari kesalahan yang ada. Terkadang permasalahan dalam terapi tak serta merta merupakan kesalahan dokter. Dalam prinsip terapi, ada trias terapi yang tak boleh dilupakan oleh siapapun, baik itu si pengobat yakni dokter maupun si penerima obat yakni pasien.

Pertama, dokter harus melakukan pengobatan sesuai dengan protap (prosedur tetap)nya. Mulai dari anamnesis/ mewawancarai pasien terkait dengan keluhannya hingga tatalaksana hingga follow up pada kasus biasa. Beda lagi pada kasus emergensi, tentunya pasien tak perlu ditanya-tanya terlebih dahulu mengingat ‘time is muscle’ pada kondisi kegawatdaruratan.

Kedua, pasien dipastikan mendapatkan terapi yang tepat. Tak jarang terjadi kasus yang mana karena kekhilafan menyebabkan salah pemberian obat, atau salah melakukan pemeriksaan, bahkan salah melakukan tindakan di meja operasi. Hal-hal detail yang kurang diperhatikan tapi berdampak fatal seharusnya bisa diminimalisir. Hendaknya teamwork antara dokter, apoteker, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya dapat mengurangi KTD (Kejadian tidak Diharapkan) di rumah sakit.

Ketiga, pasien merupakan faktor utama penentu dalam keberhasilan terapi. Jika saja pasien tidak mematuhi nasehat dokter, jadwal minum obat, dosisnya, kapan follow upnya, maka terapi akan sulit bagi pasien. Pasien yang kurang kooperatif kadangkala tidak patuh berobat karena berbagai faktor, bisa saja karena kondisi ekonomi, anggapan bahwa harapan hidupnya yang kecil, bahkan kurangnya perhatian keluarga terutama pasien lansia. Untuk itu, perlu dicermati lagi ketiga hal di atas agar segala duduk persoalan dapat clear.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa jumlah dokter yang masih kurang dan kondisi serta sumber daya pendidikan kedokteran di tiap daerah yang berbeda itulah yang membuat kualitas pendidikan dirasakan kurang begitu ‘mengena di hati’. Saya sengaja menggunakan istilah roman tersebut karena barangkali tak semuanya juga yang merasakan hal yang sama dengan saya dan beberapa teman sejawat lainnya. Pendidikan saat ini yang ditargetkan selesai dalam jangka waktu tertentu, dengan sistem yang menurut saya masih semrawut karena mencontoh langsung sistem pendidikan di negara barat sedangkan belum seluruh mahasiswa di Indonesia ini cocok dengan sistem yang seperti itu. Pelajaran yang terkotak-kotak dalam sistem blok sehingga sulit untuk mengintegrasikannya dengan bidang ilmu lain yang seharusnya tak boleh dipisahkan, ibarat anak ayam dengan induknya.

Sebenarnya patut juga diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada lembaga pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia. Setiap pilihan sistem yang akan diambil dan diterapkan di negeri ini tak mungkin lahir hanya dalam satu malam. Saya yakin, setiap dokter memiliki niat yang ikhlas dan mengharapkan ridho Allah semata dalam menjalankan misi kemanusiaannya. Mendayagunakan asas kebermanfaatan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sebab di dunia ini hanya sedikit saja manusia yang beruntung, salah satunya adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang kehadirannya selalu dinantikan, ketiadaannya selalu dirindukan. Suluah bendang dalam nagari, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito.

Sistem merupakan sekelompok elemen yang disatupadukan menjadi satu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan yang baik dan hasil yang baik maka diperlukan sebuah sistem pendidikan yang baik pula. Sekali lagi, sistem tak serta merta menghasilkan tujuan awal dengan mulus tanpa hambatan. Sistem yang baik sekalipun belum tentu menjamin akan tujuan dan hasil yang baik pula yang akan tercapai. Sistem tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah alat, dan manusia adalah pelakon utamanya. Bagaimana mungkin hasilnya akan baik sedangkan banyak yang dipotong dan dipangkas disana-sini, apakah itu dalam bentuk dana pendidikan, gaji, dsb.
Akar permasalahannya tak muluk-muluk. Lihat dan berkaca saja pada diri sendiri, hal sekecil apa yang tak boleh dilakukan tapi kita lakukan, malahan sudah menjadi kebiasaan. Contohnya saja mencontek saat ujian, tidak mau antri, bolos, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Simpel bukan? Tapi mental semacam inilah yang jika dipelihara terus-menerus akan membentuk kepribadian yang ‘semau gue’, asal senang semua boleh diembat. Tak masalah.

Saya berharap, termasuk diri pribadi ini dapat mengambil kesimpulan yang ajaib dari sepenggal impian di atas. Ajaib jika saya dan yang membaca langsung berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Sehingga semakin banyak yang membaca tulisan ini semoga semakin banyak yang sadar bahwa hidup ini tak lebih dari sebuah pola. Pola kehidupan manusia mulai dari janin hingga meninggal dunia. Begitupun nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat, sekali tercoreng muka maka akan sulit untuk dipercaya selanjutnya. Akan lebih baik lagi jika kita saling mempercayai satu sama lain, dan yang diberikan kepercayaan juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan. Kepercayaan adalah amanah dan wajib dijaga. Sebagai dokter yang diberi amanah oleh masyarakat hendaknya dapat menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Apapun risiko yang terjadi masyarakat akan mengerti.

Tetaplah berjuang dokter-dokter sekalian, teman-teman sejawat kelak. Luruskan kembali niat kita, semoga profesi dokter tak lagi menjadi sorotan utama karena kasus malpraktiknya, tapi dapat menunjukkan prestasi yang gemilang. Asaku, asamu, asa kita semua. Mimpimu dan mimpi sejuta manusia di dunia demi kebermanfaatan bersama.